Hmmm, Rizieq Shihab sedang Mencoba Memainkan Emosi Publik

Rabu, 24 Maret 2021 – 16:48 WIB
Habib Rizieq Shihab dan Munarman di Polda Metro Jaya. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Krimininolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menilai saat ini Rizieq Shihab berusaha memainkan emosi publik dalam kasusnya.

Dalam sejumlah sidangnya yang digelar di pengadilan,  Rizieq dinilai membangun citra seolah-olah sedang dizalimi.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Moeldoko Akhirnya Bertindak, Ini Jadi Pelajaran untuk Semua, Ungkap Kelemahan PPPK

"Ini strategi yang mungkin efektif memainkan psikologi massa. Massa bisa semakin marah atas dimunculkannya persepsi bahwa HRS (Rizieq Shihab) dizalimi melalui  'drama' ini. Ada juga kemungkinan, orang yang bukan pendukungnya ikut-ikut simpati," kata Adrianus di Jakarta pada Rabu (24/3).

Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan menggelar sidang kasus Rizieq secara offline.

BACA JUGA: Akhirnya Majelis Hakim Mengabulkan Permohonan Habib Rizieq Shihab, Tetapi Ada Syaratnya

Majelis tidak ingin kehadiran Rizieq di ruang pengadilan menimbulkan kerumunan massa.

Perma Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Pidana Secara Elektronik menjadi landasan keputusan tersebut.

BACA JUGA: Video Hoaks Jaksa Terima Suap Perkara Habib Rizieq, F Akhirnya Dibebaskan

Namun, Rizieq dan penasihat hukumnya menolak sidang virtual atau online. Rizieq merasa diperlakukan tidak adil, lalu meninggalkan sidang.

Beberapa kali dia dan kuasa hukum meluapkan emosi dalam sidang. Setelah beberapa kali drama, majelis hakim akhirnya mengambulkan keinginan Rizieq untuk hadir langsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Adrianus menyebut sidang offline akan lebih menguntungkan Rizieq secara taktis.

Apabila digelar secara offline dikhawatirkan massa akan berbondong ke pengadilan untuk memberikan dukungan.

"HRS sendiri bisa mengeluarkan kemampuannya sebagai orator. Karena pilihan ini sempat digagalkan hakim, maka muncul situasi drama yang kemudian dieksploitasi," ungkapnya.

Menurut Adrianus, Perma Nomor 4 Tahun 2020 tidak mengabaikan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Bagi saya, pertanyaannya bukanlah dasar hukum sudah cukup kuat atau tidak, tetapi mengapa kita harus mempertanyakan dasar hukum mengingat pandemi masih ada saat ini," tutur Adrianus. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler