Hmmm, Ternyata Begini Prosedur KPK Menyadap Telepon

Selasa, 12 September 2017 – 23:02 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo mengikuti RDP dengan Komisi III DPR, Jakarta, Senin (11/9). Rapat tersebut membahas sistem pengawasan terhadap pengelolaan dan manajemen aset hasil tindak pidana korupsi di lembaga tersebut. Foto : Ricardo

jpnn.com, JAKARTA - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencecar para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang cara melakukan penyadapan. Masalah itu mencuat karena kebanyakan operasi tangkap tangan (OTT) KPK berawal dari hasil sadapan.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, penyadapan tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurutnya, ada mekanisme yang mengaturnya.

BACA JUGA: KPK Akan Minta IDI Cek Kesehatan Papa Novanto

Agus menjelaskan, penyadapan diawali usul Direktorat Penyelidikan KPK setelah melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket). Usul itu disampaikan ke pimpinan KPK.

Jika  lima pimpinan setuju dan menandatangani surat perintah penyadapan (sprindap), intersepsi baru bisa dilakukan. “Yang menyadap bukan Direktorat Penyelidikan, tapi Direktorat Monitoring di bawah Deputi Informasi dan Data KPK,” kata Agus saat rapat dengar pendapat di Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Jakarta, Selasa (12/9).  

BACA JUGA: Ini Permintaan KPK pada Parpol

Dia menegaskan, penyadapan itu juga diawasi oleh Direktorat Pengawasan Internal (PI) di bawah Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) KPK. “Jadi, Direktorat PI yang selalu memeriksa log book penyadapan tadi,” katanya.

Agus menegaskan, penyadapan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan tanpa melalui prosedur resmi di KPK. Karena itu bidang penyelidikan, informasi dan data serta PI saling terkait dalam melakukan penyadapan.
 
Pada RDP itu Deputi Bidang Informasi dan Data (Inda) KPK Hary Budiarto menjelaskan lebih detail ihwal penyadapan. Dia mengakui bahwa penyadapan dilakukan oleh tiga kedeputian di KPK.

BACA JUGA: Hasil Survei, Publik Yakin Pemerintah Memperkuat KPK

Menurutnya, Deputi Penindakan KPK sebagai user. Untuk itu, Deputi Penindakan menyerahkan nomor target yang akan disadap dan menerima hasil sadapan.

Selanjutnya Deputi Inda melakukan penyadapan. Sedangkan Deputi PIPM melakukan audit dari seluruh rangkaian kegiatan penyadapan.
 
Hary menegaskan, meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tidak berwenang mengaudit penyadapan oleh KPK pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu bukan berarti kegiatan intersepsi tidak diawasi. “Kami diaudit (oleh PIPM), setiap tiga bulan sekali,” katanya.  
 
Dia menjelaskan lagi, sebelum ada surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang ditandatangani lima komisioner KPK maka penyadapan tidak bisa dilakukan.  Deputi Inda tidak boleh memasukkan nomor yang akan disadap ke mesin.  “Sprindap (surat perintah penyadapan, red) tidak bisa dibuat kalau tidak ada sprinlidik,” ujarnya.
 
Hary menjelaskan, nomor yang disadap juga harus ada kaitannya dengan proses penegakan hukum. Dengan demikian tidak sembarang nomor bisa disadap.

Selain itu, mesin penyadap juga punya keterbatasan. Karena itu, nomor hanya bisa berada di dalam mesin selama 30 hari.

“Nomor yang disadap itu untuk 30 hari. Ketika 30 hari terlampaui maka mesin akan cancel dan nomor lain masuk. Jadi, seperti antrean,” tegasnya.
 
Karena itu usurat izin penyadapan hanya berlaku 30 hari pertama. Jika selama 30 hari pertama tidak ada hasil maka untuk kembali menyadap nomor yang sama harus mendapatkan surat perintah yang ditandatangani lima komisioner.

“Jika tidak ada surat perintah penyadapan lagi, akan kami hentikan. Kalau mau diulang, harus diterbitkan sprindap baru,” katanya.

Sedangkan ketika penyadapan selesai, maka Deputi Inda membuat rangkuman. Sebab, tidak semua kata dari mesin sadapan bisa diterjemahkan.

Menurutnya, ada beberapa hal yang tidak dimasukkan karena dianggap sebagai privasi pihak yang disadap. “Jadi, yang ada hubungan dengan penegakan hukum saja,” katanya.

Selama ini, kata dia, hasil audit dari PIPM menyatakan tidak pernah ada nomor yang tak masuk dalam sprindap disadap. “Kami tidak boleh sembarangan,” katanya.
 
Pada RDP itu Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo menanyakan kemungkinan penyadapan yang menggandeng provider seluler. Namun, Hary menegaskan bahwa penyadapan tidak ada sangkut pautnya dengan provider.

Menurut dia, provider tidak tahu dengan penyadapan yang dilakukan KPK. “Mereka tidak tahu ada nomor yang disadap. Nomor bisa diketahui hanya di log file KPK. Log file inilah  yang akan diaudit,” katanya.

Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menanyakan ihwal batas waktu perpanjangan penyadapan jika 30 hari pertama dan seterusnya habis. Menurut KPK, perpanjangan itu unlimited alias tidak ada batas waktu.

“Ini harus menjadi catatan,” kata Masinton politikus PDIP itu dalam RDP yang sama.(boy/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... KPK Bantah Borgol Jaksa Pamekasan


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler