jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mendesak Presiden Joko Widodo alias Jokowi membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Dia menilai kenaikan harga BBM akan memunculkan masalah-masalah sosial dan inflasi serta lonjakan angka kemiskinan yang lebih besar.
BACA JUGA: Syarief Hasan Sentil Jokowi soal Kenaikan Harga BBM, Kata-katanya Jleb Banget!
“Presiden Jokowi sendiri yang pernah menjamin tidak ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun dan mengakui bahwa bansos alih subsidi BBM tidak akan sepenuhnya tepat sasaran," kata HNW melalui keterangannya, Minggu (4/9).
Politikus senior PKS itu menyampaikan seharusnya pemerintah terlebih dahulu membahasnya dengan DPR sebelum memutuskan menaikkan harga BBM.
BACA JUGA: BBM Naik, Anak Buah AHY Sebut Rakyat Sulit, Tetapi Pemerintah Boros
Selain itu, mencerna masukan para pakar untuk menghindarkan pembebanan terhadap APBN dengan tidak menambah kesusahan rakyat.
"Misalnya dengan menunda proyek-proyek yang tidak prioritas dan tidak menjadi hajat rakyat banyak, seperti proyek IKN, KCJB, dan infrastruktur, serta memprioritaskan pembangunan kilang agar Indonesia tidak lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali dari Singapura," sebutnya.
BACA JUGA: Pengalihan Subsidi BBM Dinilai Keputusan Tepat Demi Perekonomian Indonesia
HNW juga menyoroti kebijakan pemerintah terkait pengalihan subsidi BBM ke bantuan sosial.
Dia menyebutkan adanya indikasi dini tidak tepatnya sasaran bansos sebagai pengalihan dari subsidi BBM.
Menurutnya, ketidaktepatan sasaran penerima bansos akibat ketidakakuratan semakin terlihat nyata dari penjelasan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Mensos menyampaikan adanya data 18.486.756 keluarga penerima manfaat (KPM) yang sudah siap salur. Sisanya, yakni 313.244 masih dalam proses cleansing atau pembersihan data.
Kedua data tersebut jika ditotal baru berjumlah 18,8 juta KPM, jauh lebih rendah dari total penerima yang berhak dan sudah diumumkan Presiden Jokowi, yaitu 20,65 juta KPM.
Jadi ada 1,85 juta lebih data yang tak jelas statusnya dan ketepatan sasarannya, dan potensial kembali jadi temuan BPK, serta tidak efektif menjadi solusi atas dinaikkannya harga BBM bersubsidi.
“Ini berbahaya dan bisa jadi temuan KPK, jika tiba-tiba masuk data siluman atau data yang diada-adakan, hanya demi pencitraan pemerintah yang seolah-olah peduli pada masyarakat yang sedang kesulitan atas kenaikan harga BBM, tapi hakikatnya malah menyusahkan rakyat," ujar HNW.
HNW juga mengatakan klaim Mensos bahwa 18,8 juta sudah siap salur juga patut dibuktikan ketepatannya.
Pasalnya data-data seperti ini selama ini selalu ditemukan penyimpangan, mulai dari masih dicantumkannya warga yang sudah meninggal, tetapi masih masuk data, tidak tercantum datanya di DTKS, NIK invalid, KPM sudah non-aktif tapi masih diberikan, dan banyaknya penerima ganda.
Seperti disampaikan presiden, bantuan langsung tunai alih-subsidi BBM memakan anggaran Rp 12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga dengan besaran Rp 150 ribu per bulan selama 4 bulan.
Bansos tersebut merupakan bagian dari skema anggaran alih-subsidi BBM sebesar Rp 24,17 triliun.
Sementara itu nilai kebutuhan tambahan anggaran subsidi untuk menahan harga BBM tidak naik adalah Rp 198 triliun, jauh lebih besar dari angka bansos.
Dampaknya, efek negatif kenaikan harga BBM pasti lebih besar dari efek pertahanan daya beli sesaat akibat pemberian bansos.
“Dari jomplangnya angka subsidi dan bansos tersebut bisa dilihat bahwa bansos hanya berperan sebagai pelipur lara sesaat saja," ungkapnya.
HNW menegaskan jika pemerintah memang serius membantu masyarakat dan mengalihkan subsidi BBM menjadi bansos, maka nilai bansosnya harus setara dengan nilai kebutuhan tambahan subsidi, yakni Rp 198 triliun.
Pendataan bansos juga harus disiapkan dengan matang dan akurat agar tepat sasaran.
Selain itu, pemberiannya tidak hanya beberapa bulan, tetapi sepanjang waktu terdampak akibat dinaikkannya harga BBM. (mrk/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi