jpnn.com, JAKARTA - Pengamat sosial UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, menyambut baik rencana penyesuaian harga BBM diimbangi dengan jaminan pemerintah mengucurkan bansos agar ekonomi masyarakat tetap terjaga.
Menurutnya, pemerintah memang harus menyesuaikan harga BBM agar terhindar dari krisis dan kebangkrutan negara.
BACA JUGA: Istri Polisi yang Digerebek di Hotel Bintang 5 Buka Suara, Pernah Laporkan Suami ke Propam, Tetapi
"Seperti yang terjadi di Amerika Serikat yang terpaksa berkali-kali menerapkan aturan ketat terhadap warganya karena likuiditas keuangan terganggu," ujar Azyumardi dalam keterangan yang diterima, Minggu (4/9).
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Marsudi Syuhud menuturkan, penyesuaian harga BBM diberlakukan demi kemaslahatan dan kebaikan masyarakat.
BACA JUGA: PKS Tolak Keras Kenaikan Harga BBM, Ruhut Sitompul Senyum, Tertawa, Lalu Bereaksi Keras
Pasalnya, BBM bersubsidi yang selama ini berlaku tidak tepat sasaran dan justru dinikmati oleh golongan yang tidak seharusnya menikmati subsidi.
"Ini sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu mengutamakan kemaslahatan rakyat banyak," katanya.
BACA JUGA: Pria yang Digerebek Bareng Istri Polisi di Hotel Bintang 5 Bukan Orang Sembarangan, Dia Ternyata
Dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, jelas diatur bahwa Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yakni Pertalite merupakan BBM bersubsidi.
Namun, pada kenyataannya kendaraan roda empat pribadi justru mencapai 70-80 persen yang menggunakan Pertalite.
Jadi, porsi terbanyak pengguna Pertalite bukan sepeda motor atau kendaraan umum yang semestinya mendapatkan BBM bersubsidi.
Dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik, disebutkan total alokasi kompensasi pertalite Rp93,5 triliun yang dianggarkan di APBN, sebesar 86 persen atau Rp80,4 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya 14 persen atau Rp13,1 triliun dinikmati dunia usaha.
Namun, dari nilai yang dinikmati rumah tangga, ternyata sebesar 80 persen dinikmati rumah tangga mampu.
Begitu juga dengan Solar, dari total subsidi dan kompensasi Rp143,4 triliun, sejumlah 11 persen atau Rp15 triliun dinikmati rumah tangga dan sisanya yaitu 89 persen atau Rp127,6 triliun dinikmati dunia usaha.
Oleh kata itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai, keputusan pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM ke bantuan sosial sudah tepat.
"Subsidi energi yang selama ini dikucurkan makin membengkak sementara penggunaan subsidi tidak tepat sasaran," ujar Agus.
Dia pun tidak mempermasalahkan besaran bansos yang akan diberikan pemerintah yang pada hakikatnya pasti memiliki manfaat.
"Besaran mau berapa saja tetap bisa kurang, kan tujuan pemerintah memberikan bantuan agar yang miskin tidak bertambah miskin," ucap Agus.
Agus memberikan catatan agar Kementerian Sosial memastikan data yang dimiliki sudah diperbarui sehingga penyaluran bansos tepat sasaran.
Ekonom Faisal Basri juga menuturkan, pengalihan subsidi BBM sudah seharusnya dilakukan.
Situasi geopolitik, perang Rusia-Ukraina yang memicu krisis energi dan kelangkaan minyak bumi menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat.
Konsumsi BBM Indonesia kira-kira 1,4 juta barel per hari. Sebanyak 700 ribu barel di antaranya adalah dari impor dan dibayar menggunakan mata uang dolar.
"Jadi kita beli US$ 18 miliar atau sekitar 267 triliun rupiah," kata Faisal.
Menurutnya, uang negara yang berasal dari rakyat itu dihabiskan untuk membeli bahan bakar dan subsidinya justru dinikmati golongan kaya.
Akan lebih baik jika anggaran subsidi dipakai untuk pembangunan di sektor lain.
"Jangan cengeng dan selalu berpikir harga BBM naik, besok bagaimana cara beli bensin untuk ke kampus. Saya dulu pakai mobil besar lalu harga bensin naik, ya saya jual mobil dan pakai mobil lebih kecil. Tapi sekarang lebih sering pakai transportasi umum. Sudah nyaman kok pakai angkutan umum," tutur Faisal.
Indonesia sudah semestinya belajar dari negara lain. Misalnya Timor Leste justru lebih bijak mengelola cadangan minyaknya kendati menjadi negara eksportir migas.
Faisal melanjutkan, cenderung lebih mahal dari Indonesia.
"Mereka tidak mau kasih subsidi suka-suka. Mereka sisihkan 30 persen dari pendapatan minyaknya itu dalam bentuk oil fund," ucapnya.
Pemerintah Timor Leste mampu memanfaatkan dana yang diperoleh dari penjualan minyak mentah itu untuk kepentingan masyarakat lebih luas.
"Dana minyak itu untuk beasiswa, sekolah, bangun infrastruktur, EBT (energi baru dan terbarukan) energi solar, dan sebagainya," ucap Faisal.
Kepala BIN Budi Gunawan mengomentari, pengalihan subsidi merupakan keputusan tepat di tengah tekanan ekonomi yang dialami hampir semua negara di dunia.
Intelijen akan memastikan pengalihan subsidi ini tepat sasaran dan diterima oleh masyarakat yang kurang mampu.
"Data analisis intelijen ekonomi menunjukkan situasi global masih akan memberikan tekanan ekonomi ke seluruh negara. Pemerintah telah menyiapkan bantalan sosial untuk menolong masyarakat yang membutuhkan," tuturnya.
BACA JUGA: Info Terbaru Soal Istri Polisi Digerebek di Hotel Bintang 5, Pengakuan Suami Bikin Elus Dada
"Pengalihan subsidi ini juga akan mendorong proses transisi energi Indonesia menuju energi berkelanjutan yang mandiri," pungkas Budi. (mcr18/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Mercurius Thomos Mone