HNW: Sejak Awal Pancasila Menyerap Keberagaman

Mengatasi Terorisme, Radikalisme dan Separatisme dengan Memahami Pancasila secara Benar

Rabu, 01 Agustus 2018 – 13:50 WIB
Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nur Wahid pada acara Sosialisasi Empar Pilar di Aula Student Centre Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (31/7/2018). Foto: Humas MPR

jpnn.com, TANGERANG SELATAN - Terorisme, radikalisme dan separatisme tak akan menjadi masalah bagi bangsa Indonesia jika satu syarat terpenuhi. Syarat itu adalah memahami Pancasila dengan baik dan benar.

Wakil Ketua MPR RI, Dr. Hidayat Nur Wahid menegaskan hal itu ketika membuka Sosialisasi Empar Pilar di Aula Student Centre Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (31/7/2018).

BACA JUGA: Sindiran Prof Mahfud MD untuk Pendukung Khilafah dan 212

Salah satu upaya untuk memberikan pemahaman yang baik dan benar terkait nilai Pancasila maka MPR RI menyelenggarakan Sosialisasi Empat Pilar. “Selama ini mungkin ada hal yang ditutupi-tutupi sehingga menimbulkan saling curiga,” tutur Hidayat.

BACA JUGA: Indonesia Perlu Negarawan yang Mampu Mempertahankan 4 Pilar

Sosialisasi yang diselenggarakan oleh MPR RI bekerja sama dengan Senat Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah itu mendapat sambutan antusias dari para mahasiswa. Sebanyak 400 kursi yang disediakan, tak mampu menampung mahasiswa yang hadir, sehingga tidak sedikit yang harus berdiri atau lesehan.

Hadir pula sebagai namasumber, Ketua Fraksi PKS DPR RI, Dr. Jazuli Djuwaini dan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UIN Prof. Dr. Jusron Dayat Rozak.

BACA JUGA: HNW: Pemimpin Mencerminkan Siapa yang Dipimpin

Hidayat menjelaskan, banyak yang melupakan sejarah relasi antara Islam dan negara. Padahal Pancasila lahir dari kesepakatan bersama antara founding father yang berwawasan nasionalisme dan tokoh-tokoh Islam, dan non-Islam. Itu tergambar ketika penyusunan Pancasila sebagai dasar negara.

Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno yang ditugaskan untuk menyusun dasar negara (Pancasila) sudah mempertimbangkan keberagaman itu. Dari sembilan orang Panitia Sembilan itu terdiri dari 4 orang nasionalis, empat orang tokoh Islam, dan satu orang non-Islam. Panitia Sembilan ini kemudian menyusun Pancasila yang selanjutnya disebut Piagam Jakarta, di mana Sila pertamanya, Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Tapi sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, atau bertepatan dengan 9 Ramadan 1364 H, atau menjelang sidang BPUPKI untuk pengesahaan UUD 1945 , datanglah utusan dari Indonesia Timur yang dipimpin Latuharhari melalui Mohammad Hatta menyampaikan keberatan dengan Sila I Pancasila itu.

Setelah melakukan perundingan, akhirnya keberatan itu diterima, sehingga Sila I Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila I ini menunjukkan adanya relasi antara negara dan agama.

“Jadi, sejak awal Pancasila menyerap keberagaman yang luar biasa,” ungkap Hidayat.

Karena Pancasila pula, lanjut Hidayat, negara Indonesia tetap utuh, tidak pecah. Meski ada reformasi Indonesia tetap utuh. Bandingkan dengan negara Uni Soviet. Sebagai negara yang sangat maju, adikuasa, intelijennya sangat kuat, dan ekononomi juga maju, tapi Uni Soviet bisa hilang dan pecah menjadi 10 negara pada 1990-1991. Itu terjadi pada 1990-1991 ketika Presiden Uni Soviet, Michail Gorbachev, melakukan reformasi di negaranya, yang dikenal dengan istilah Glasnost dan Perestroika.

Kenapa Uni Soviet bisa bubar? Karena ideolgi mereka, yaitu komunisme, datang dari luar sehingga tidak mampu mempersatukan negara-negara di bawah Uni Soviet. Sedang Pancasila dihasilkan atas dasar kesepakatan.

“Maka, meski punya potensi untuk pecah, saat Reformasi, Indonesia tetap utuh," papar Hidayat.

Terkait terorisme dan radikalisme, lanjut Hidayat, tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan kekuasaan negara. Misalnya, membuat aturan melarang mahasiswi bercadar, karena dikaitkan dengan terorisme dan radikalisme. Padahal cadar hanyalah persoalan menutup aurat bagi kaum perempuan muslimah.

“Jadi, Tidak ada kaitannya dengan terorisme atau radikalisme,” tegas Hidayat.

Menurutnya, terorisme dan radikalisme harus diselesaikan secara komprehensif. Dan, tentunya, juga harus berkeadilan.

“Kalau aksi kekerasan dilakukan oleh orang Islam disebut aksi terorisme atau radikalisme, tapi kekejaman yang dilakukan oleh Organisiasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, tak pernah dikatakan aksi terorisme. Sekali lagi, negara harus hadir menyelesaikan masalah secara komprehensif dan berkeadilan,” pungkasnya.(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Generasi Muda tak Paham Nilai-nilai Luhur Bangsanya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler