HNW Sesalkan Generalisasi Larangan Salat Idulfitri

Kamis, 21 Mei 2020 – 18:50 WIB
Hidayat Nur Wahid. Foto: Humas MPR

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid memahami kekesalan umat Islam akibat terjadinya ketidakadilan dan tindakan tendensius terhadap kaum muslimin terkait kebijakan pemerintah mengatatasi Covid-19.

Terakhir, ketidakadilan dan tindakan tendensius yang dimaksud Hidayat adalah generalisasi pelarangan salat Idulfitri di masjid meskipun wilayah tersebut masuk zona hijau.

BACA JUGA: HNW: Tidak Semestinya Menanggalkan TAP MPRS Larangan Ideologi Komunisme Dalam Draf RUU HIP

Sebelumnya, muncul survei Komnas HAM terkait sanksi kepada masjid terkait Covid-19.

Saat itu, Hidayat menyoroti pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menegaskan bahwa umat Islam yang melaksanakan salat Idulfithri di masjid atau lapangan dalam kondisi pandemi Covid-19 melanggar undang-undang. Ia menegaskan bahwa Fatwa MUI tidak melakukan generalisasi seperti yang dilakukan oleh pemerintah.

BACA JUGA: HNW: Komnas HAM Seharusnya Menghormati Hak Umat Islam, Jangan Tendensius

“Itu katanya sesuai dengan Fatwa MUI. Padahal MUI dalam Fatwa No. 28/2020 tidak menggeneralisasi pelarangan mutlak salat Idulfitri. Salat Idulfitri dilaksanakan di rumah, di seluruh kawasan yang oleh pemerintah dimasukkan dalam kategori zona merah karena diberlakukannya PSBB,” kata Hidayat dalam siaran pers yang disampaikan di Jakarta, Kamis (21/5).

Menurut HNW, Fatwa MUI No 28/2020 memperbolehkan umat Islam menyelenggarakan salat Idulfitri di tanah lapang, masjid, dan musala, bila berada di kawasan zona hijau. Yakni kawasan yang penyebaran Covid-19 nya sudah terkendali atau yang diyakini tidak terjadi penyebaran Covid-19," katanya.

BACA JUGA: Wakil Ketua MPR RI Kasih Komentar Tajam soal Pernyataan Jokowi

"Namun, apabila penyebaran Covid-19 masih belum terkendali atau berada di zona merah PSBB, maka Fatwa MUI umat boleh menyelenggarakan salat Idulfitri di rumah. Dalam kedua kondisinya, Fatwa MUI menyebutkan bahwa tetap dengan harus melaksanakan protokol penanganan Covid-19,” imbuh HNW.

Menurut HNW, generalisasi pelarangan salat Idulfitri, menjadi bukti bahwa pemerintah tidak mengindahkan Fatwa MUI. Dan itu tidak bijaksana, tidak mencerminkan keadilan.

Tidak sesuai dengan text tersurat Fatwa MUI. Kesalahan memahami Fatwa MUI terkait Covid-19, kata HNW telah mengakibatkan masalah tersendiri di lapangan.

Ada masjid yang digembok, tidak terdengar kumandang azan, dan umat tidak bisa melaksanakan salat di masjid sekalipun mereka berada di luar zona merah, bahkan sudah memberlakukan seluruh ketentuan penanganan Covid-19.

HNW juga mempersoalkan ketidakadilan dari pejabat negara, karena mereka hanya tajam melakukan pelarangan kepada umat terkait pelaksanaan salat di masjid.

Namun, tumpul untuk lakukan pelarangan terhadap objek hukum lainnya yang melangar aturan terkait PSBB di berbagai tempat dan rumah ibadah selain masjid.

Menurut HNW, pemerintah memiliki dasar hukum, yakni Pasal 59 ayat (3) huruf b UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang menyatakan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) meliputi pembatasan kegiatan keagamaan.

Lalu, ketentuan itu diperkuat dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangkat Percepatan Penanganan Covid-19.

Namun, Hidayat mengingatkan, aturan tersebut perlu dilaksanakan secara objektif.

“Memang betul harus ada pembatasan, tapi tentunya pembatasan itu juga berdasarkan keputusan hukum bahwa daerah tersebut memang diberlakukan PSBB. Sementara daerah yang tidak diberlakukan PSBB tentunya tidak bisa serta merta diberlakukan ketentuan pembatasan tersebut,” ujarnya.

Apalagi, tambah HNW, pemerintah seringkali menyampaikan soal relaksasi seperti untuk moda transportasi dan kegiatan ekonomi, bahkan di kawasan yang sudah diberlakukan PSBB sekalipun dengan tetap melaksanakan protokol penanganan Covid-19.

“Nah kalau ini bisa dilaksanakan, kenapa tidak bisa diberlakukan bagi Umat Islam terutama yang berada zona hijau, zona penyebaran Covid-19 yang terkendali atau bahkan yang diyakini tidak terjadi penyebaran Covid-19,” ujarnya.

Umat Islam yang berada di luar zona PSBB, sebagaimana difatwakan oleh MUI, kata HNW, mereka lebih layak mendapatkan keadilan dan relaksasi tersebut.

Bila kebijakan ini yang dipilih pemerintah, maka pemerintah memberlakukan hukum secara adil, dan itu lebih menenteramkan Umat. Dan menjauhkan umat dari mencurigai keputusan pemerintah sebagai menzalimi umat dan tendensius terhadap umat.

HNW menjelaskan apabila merujuk kepada tujuan hukum, maka selain kepastian hukum, ada pula keadilan dan kemanfaatan.

“Apabila kebijakan digenerasilasi seperti itu, tentunya tidak menghadirkan keadilan bagi umat yang tinggal di wilayah zona hijau, karena mereka diperlakukan secara sama dengan yang tinggal di zona merah,” tambahnya.

Selain itu, Anggota Komisi VIII DPR RI, ini mengingatkan bahwa dalam Rapat Kerja Komisi VIII pada Senin (11/5) lalu, pemerintah diwakili Kementerian Agama menyepakati untuk mempertimbangkan kebijakan relaksasi pembatasan ibadah di tempat ibadah, khususnya di daerah yang tidak termasuk zona merah.

“Lebih baik pemerintah melaksanakan kesepakatan yang sudah dicapai tersebut, dengan mengedukasi dan mengadvokasi Umat, agar keinginan mereka melaksanakan sholat Id dapat terwujud, dan tujuan pemerintah agar warga selamat dan penyebaran covid-19 tak terjadi, juga dapat terlaksana,” jelasnya.

HNW mengharap pemerintah jangan hanya menyasar masjid, dan tidak mempermasalahkan tempat ibadah lain juga lokasi kerumunan lain yang melanggar ketentuan PSBB, bahkan menjadi claster penyebaran covid-19.

“Dalam UU Karantina Kesehatan dan Permenkes itu disebut ketentuan pembatasan kegiatan keagamaan, jadi kegiatan keagamaan dari semua agama, bukan hanya kegiatan keagaamaan Islam saja,” tambahnya.

“Harusnya hukum berlaku untuk semua secara obyektif dan adil. Apalagi selama ini terbukti telah terjadi kerumuman yang tidak sesuai dengan UU dan pelaksanaan PSBB di lokasi-lokasi dan kegiatan-kegiatan di luar keagamaan seperti di mal, pasar, dan jalanan yang sudah mulai macet lagi. Penyebaran Covid-19 juga terbukti bisa terjadi di kegiatan keagamaan selain Islam seperti di seminar Gereja Bethel (Petamburan Jakarta) dan lain-lain," tuturnya.

"Seharusnya Pemerintah juga melakukan hal yang adil. Tindak tegas pelanggaran-pelanggaran itu, juga sampaikan ancaman sanksi hukum karena melanggar UU. Jangan hanya tegas menyampaikan ancaman itu semua hanya untuk Umat Islam. Karena Umat Agama yang lain juga perlu diselamatkan agar tak terkena covid-19,” ujar HNW.

Dia menambahkan, pemerintah harusnya melaksanakan aturan UU secara adil baik dan benar. Serta melaksanakan Fatwa MUI secara benar dan utuh, jangan dipotong-potong. Umat jangan dibuat cemas dengan teror ancaman sanksi tapi berasal dari pemahaman tak benar terhadap UU dan Fatwa MUI.

“Justru yang perlu dilakukan adalah Pemerintah menjadi contoh dan teladan melaksanakan aturan hukum secara adil dan benar, tidak tebang pilih, dan melaksanakan Fatwa MUI secara utuh, agar Umat bisa percaya dan mentaatinya. Dan itu lebih sesuai dengan semangat ‘damai dengan covid-19 yang disampaikan presiden Jokowi’,” kata Hidayat.

“Bagi Umat yang berada di zona hijau, zonai yang tak terjadi penyebaran covid-19, dan diizinkan sholat Idul Fithri di Masjiddan dan lapangan , agar menjaga kepercayaan dan amanat. Menjaga agar mereka benar-benar sehat dan selamat dari penyebaran covid-19. Dan waspadai provokasi dan penyelundupan. Agar tak jadi fitnah,” pungkasnya. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler