Homestay Desa Wisata buat Kawasan Perbatasan

Jumat, 02 Desember 2016 – 20:20 WIB
Menteri Pariwisata Arief Yahya. Foto: dokumen JPNN.Com

jpnn.com - JAKARTA –  Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya melontarkan ide penting pada Forum Bisnis dan Investasi di Daerah Perbatasan di Jakarta, Kamis (1/12). Menteri yang lama menggeluti marketing itu menyinggung soal homestay di desa wisata serta cross border tourism yang diyakini punya daya ledak luar biasa untuk memajukan pariwisata di daerah perbatasan.

Arif sudah membuktikannya di Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Hal itu untuk mengejar tagret 20 juta wisatawan mancanegara (wisman) pada 2019 mendatang.

BACA JUGA: Semen Indonesia di Rembang Beroperasi, DPR Beri Apresiasi

“Saya selalu berawal dari akhir. Berangkat dari target 20 juta wisman di 2019. Untuk menuju target itu, harus menggunakan cara apa, bagaimana, kapan, mengapa harus menggunakan cara itu, dimulai kapan dan dari mana,” ucap Arief.

Sedangkan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) PDTT Eko Putro Sanjojo terlihat serius mendengarkan paparan koleganya di Kabinet Kerja itu. Kepala BKPM Tom Lembong juga fokus mendengarkan paparan Arief  seputar cara menjadikan daerah perbatasan sebagai wajah republik.

BACA JUGA: Network Sharing, Pemerataan Akses TIK ke Wilayah Timur Indonesia

Dari paparan Arief, kawasan perbatasan  punya opportunity tinggi untuk dikembangkan. Yang tadinya kawasan jarang disentuh pembangunan karena menjadi beranda belakang negeri, justru kini daerah perbatasan bisa disulap menjadi wilayah yang mendatangkan income tinggi.

Biayanya  ternyata tidak terlalu mahal. Dengan low-cost tourism (LCT) pun bisa. Lantas bagaimana caranya?

BACA JUGA: Hindari Aksi 212, Calon Penumpang Pilih Datang ke Bandara Lebih Pagi

“Simpel. Ciptakan attraction, access, dan accommodation yang terjangkau dengan memanfaatkan kelebihan kapasitas yang ada. Bangun sebanyak mungkin homestay di desa-desa wisata seluruh pelosok Tanah Air. Cost-nya pasti murah karena harga penyewaan homestay sangat terjangkau dan pengelolaannya dilakukan secara mandiri oleh masyarakat,” ujar Arief.

Dan jangan takut tidak laku. Saat ini, Kemenpar sudah menerapkan konsep Go Digital. Ada Indonesia Travel Exchange (ITX) yang bisa dimanfaatkan untuk memasarkan potensi pariwisata melalui digital.

Dengan inisiatif seperti itu, Menpar Arief Yahya pn berani berambisi untuk memosisikan Indonesia sebagai negara yang memiliki homestay terbanyak di dunia. Desainnya pun beragam dan keren-keren. Gambarannya sudah bisa dilihat dari hasil lomba desain homestay Arsitektur Nusantara yang digelar Kemenpar, akhir Oktober 2016.

Arsitektur bergaya Mandalika, Labuan Bajo, Danau Toba, Morotai, Tanjung Kelayang, Wakatobi, Bromo-Tengger-Semeru, Borobudur, Tajung Lesung serta Kepulauan Seribu dan Kota Tua, kembali diperlihatkan. “Ini sekaligus untuk memenuhi kebutuhan akomodasi yang sangat besar dalam rangka mewujudkan visi mendatangkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara di tahun 2019,” ujar Arief.

Yang dibutuhkan tentu banyak. Dari estimasi peraih penghargaan Marketeer of The Year 2013 itu, Indonesia setidaknya butuh 100 ribu kamar di berbagai destinasi wisata utama.

Dampaknya tentu bisa sangat dahsyat. Semuanya bisa langsung menyentuh ke masyarakat.

Dari estimasi Arief, andai satu hotel memiliki 100 kamar, maka maka untuk mewujudkan target di atas dibutuhkan setidaknya 1000 hotel. Waktu pembangunannya juga lama karena bisa sekitar 5 tahun.

“Dan biasanya, hotel-hotel yang punya brand tinggi tak mau membangun hotel di sembarang lokasi. Yang dibidik biasanya hanya kota-kota besar dengan pasar yang sudah terbentuk,” katanya.

Solusi terbaiknya adalah membangun homestay. Pembangunan homestay bisa tersebar di berbagai destinasi wisata di seluruh pelosok Tanah Air. Dan nantinya, homestay tersebut bisa dimiliki masyarakat di sekitar destinasi wisata.

“Membangun 100 homestay relatif lebih mudah dibandingkan membangun satu hotel 100 kamar. Misalnya kita memerlukan lahan sekitar satu hektar. Katakan sekitar 30 persen dari lahan tersebut disisihkan untuk fasilitas umum, maka masih ada 7.000 m2 yang bisa dikapling-kapling untuk dijadikan 100 homestay type LT/LB berukuran 70/36 m2. Pembangunannya-pun dapat dilakukan secara bertahap,” ujarnya.

Efeknya tidak hanya sampai di situ. Kehadiran homestay-homestay nantinya juga bisa ‘dikawinkan’ dengan desa wisata. Program Desa Wisata, kata Arief, juga terkoneksi dengan rencana membangun 100.000 homestay yang bakal dimulai 2017 nanti.

Desain arsitektur rumah nusantara di homestay juga semakin relevan untuk segera diimplementasi. “Saat Desa Wisata itu sudah siap jual, akan langsung dipromosikan, lalu selling platform-nya juga dimasukkan dalam Digital Market Place. Fungsinya bisa ganda. Bisa sebagai amenitas dengan homestay, akomodasi di rumah penduduk yang sudah sadar wisata. Juga bisa sebagai atraksi, karena berada dalam atmosfer kehidupan masyarakat desa yang hommy, kaya dengan sentuhan budaya, dan nuansa kekeluargaan yang belum tentu bisa ditemukan di negara lain,” katanya.

Di Desa Wisata, masyarakat juga bisa tetap melakukan aktivitas menanam padi, palawija, hortikultura bahkan mengurus ternak. Service dan prosesnya menjadi bagian atraksi wisata. “Suasana desa wisata yang ramah, gotong royong, penuh dengan rasa kekeluargaan, kaya budaya itu yang dijual sebagai atraksi di destinasi desa wisata,” katanya.

Poin lain yang tak kalah dahsyatnya adalah cross border tourism. Membangun pariwisata dari wilayah perbatasan. Potensinya sangat besar. Selain menguntungkan bagi negara, masyarakat sekitar juga ikut mendapatkan benefit.

Kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat menjadi lebih hidup. Benchmarking-nya pun banyak. Negara-negara Eropa yang teritorinya bisa ditempuh dengan jalan darat, pariwisatanya pasti lebih sukses dan jumlah wisman yang hadir lebih banyak.

“Turis ke Paris bisa menembus 60 juta, Madrid 50 juta, London 40 juta dalam setahun. Singapura 15 juta, Malaysia 25 juta, dan Thailand 30 juta, saya yakin sumbangan terbesar juga dari borderland tourism, jalur darat tidak tergantung pada flight lagi," kata Arief.

Potensi wilayah perbatasan itu juga ikut dikomentari Mendes PDTT  Eko Putro Sanjojo. Menurutnya, pembangunan daerah perbatasan tidak cukup hanya dengan pendekatan keamanan dan kesejahteraan. Pendekatan ekonomi juga perlu diperkuat dengan mendorong tumbuhnya investasi di daerah perbatasan. 

“Investasi di perbatasan tentu harus sesuai dengan potensi dan peluang yang dimiliki. Utamanya, investasi yang masuk harus memerhatikan kelestarian lingkungan dan kearifan lokal. Perlu dibuat regulasi khusus yang dapat menarik dan memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha di daerah perbatasan,” ujarnya.

Sementara Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu Kemendes PDTT Suprayoga Hadi mengatakan, penyelenggaraan forum bisnis dan investasi daerah perbatasan tahun ini diikuti lebih banyak perusahaan swasta dan BUMN, pengusaha, asosiasi usaha, hingga kedutaan besar negara-negara sahabat.

Forum Bisnis dan Investasi Daerah ini juga diisi dengan expo potensi perbatasan. Expo tersebut menampilkan aneka komoditas dan produk unggulan dari daerah perbatasan yang layak untuk dijual.

“Kami menargetkan terjalin kesepakatan antara pemerintah daerah dan pelaku usaha dari BUMN dan pihak swasta untuk menindaklanjuti rencana bisnis dan investasi yang telah ada. Kesepakatan dapat dilakukan melalui pembukaan bisnis baru (business start-up) maupun kesepakatan untuk mendukung investasi dalam jangka panjang,” ujar Suprayoga.(adv/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lakukan Rights Issue, Modal PT PP Makin Kuat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler