jpnn.com - JAKARTA -- Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada warga negara yang mendedikasikan jiwa raganya demi tegaknya NKRI.
Kemarin Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa sudah menyebut, ada empat orang yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, salah satunya adalah HR Mohamad Mangoendiprodjo.
BACA JUGA: Kalau Merasa Terancam, Amien Bisa Minta Perlindungan LPSK
Pemberian gelar ini menjelang peringatan Hari Pahlawan, yang digelar di Istana Negara pada Jumat (7/11) pukul 14:00 WIB.
HR Mohamad Mangoendiprodjo adalah cicit Setjodiwirjo atau Kyai Ngali Muntoha, keturunan Sultan Demak dan Prabu Brawidjaja. Setjodiwirjo bersama-sama Pangeran Diponegoro melawan Belanda, ke daerah Kertosono, Ngawi dan Banyuwangi di Jawa Timur.
BACA JUGA: Ini 4 Tokoh yang Akan Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Lulus dari OSVIA pada 1927, Mohamad Mangoendiprodjo menjadi Pamong Pradja. Sebenarnya, ia bisa hidup dengan berkecukupan, sebagai Wakil Kepala Jaksa dan kemudian Asisten Wedana, di Jombang. Hanya saja, rasa kebangsaannya dan keinginan membela negara, pada 1944, ketika berusia 38 tahun, ia bergabung menjadi Tentara Pembela Tanah Air (PETA).
Lulus pendidikan, Mohamad ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon di Sidoardjo. Setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, maka Bung Karno membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di seluruh Indonesia, termasuk Surabaya.
BACA JUGA: FPKS Protes Pengosongan Identitas Agama di e-KTP
Saat tentara sekutu bersama pemerintah Sipil Belanda (NICA) ingin menjajah kembali Indonesia dan melakukan pendaratan di Surabaya pada 25 Oktober 1945, Mohamad bersama para pemimpin TKR lainnya yang telah dididik PETA, seperti Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab, Drg Moestopo, melakukan perlawanan terhadap para penjajah baru.
Akhir Oktober, pertempuran antara pemuda dan tentara Sekutu, terjadi di seluruh Kota Surabaya. Pimpinan Sekutu meminta pertemuan untuk melakukan gencatan senjata dengan Bung Karno dan Bung Hatta pada 29 Oktober 1945, di Surabaya.
Lantas Muhamad diangkat sebagai pimpinan seluruh TKR Jawa Timur dan sebagai kontak biro dengan pihak Sekutu. Surat keputusan ini kemudian ditanda-tangani oleh Jendral Oerip Soemomihardjo, seperti juga surat keputusan pengangkatan pimpinan TKR Jawa Tengah, kepada Jendral Soedirman.
Pada hari yang sama, sore harinya, Mohamad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat progres gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan merah depan Gedung Internatio.
Rupanya, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha yang berada di dalam gedung, sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia di luar gedung, untuk diminta menyerah. Mohamad masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi.
Tapi yang terjadi, Mohamad malah disandera oleh tentara Ghurka dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mobil Mallaby meledak dan terbakar, hingga sang jenderal tewas di dalam mobil.
Meninggalnya Mallaby, yang merupakan Jenderal Inggris pertama yang mati berperang di Indonesia, membuat pihak Inggris marah dan menggemparkan dunia. Inggris mengultimatum agar rakyat Surabaya yang mempunyai senjata, untuk menyerah dengan mengangkat tangan setinggi-tingginya.
Ultimatum itu tentunya ditolak oleh Mohamad, serta jajaran TKR dan pemuda Surabaya, sehingga pada 10 Nopember 1945, Surabaya dihancurkan Inggris melalui darat, laut dan udara dan pecahlah perang terbuka.
Pertempuran di Surabaya ini nantinya berlangsung selama 22 hari dengan korban TKR 6.315 pejuang. Mohamad walaupun terkena pecahan mortir di pelipisnya, tetap terus memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu. Pertempuran ini menandai awalnya Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang tidak mudah untuk dijajah kembali.
Setelah pertempuran Surabaya, Mohamad dipromosikan menjadi mayor jenderal dan menjadi kepala staf TNI, yang surat keputusannya ditanda-tangani Presiden Sukarno. Setelah mengakhiri karier militer, Mohammad menerima tugas Sukarno menjadi bupati Ponorogo.
Tugas Mohamad adalah untuk mengamankan daerah Madiun setelah pemberontakan PKI Muso. Ia kemudian menerima tugas selanjutnya sebagai Residen (Gubernur) pertama Lampung, untuk juga mengendalikan keamanan di daerah ini.
Pada tanggal 13 Desember 1988, Mohamad meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di kota Bandar Lampung. Mohamad adalah ayah dari Letjen Himawan Soetanto, Mertua dari Menko Polkam Soesilo Soedarman, Eyang dari Menko Maritim Indroyono Soesilo, dan Eyang dari anggota DPR Aroem Hadiati. (*/rl/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hasto: Soal BBM, PDI Perjuangan Dukung Kebijakan Pemerintah
Redaktur : Tim Redaksi