jpnn.com - DI balik dahsyatnya aksi doa bersama di Lapangan Monas, Jakarta, kemarin (2/12), ada sejumlah cerita menarik.
Mulai jamaah yang rela long march ratusan kilometer atau bahkan mencarter pesawat hingga salat Jumat di bawah guyuran hujan deras.
BACA JUGA: Kisah Yunita, Anak Nelayan Kuliah di Inggris
-----
SUARA Nonop Hanafi terdengar parau. Raut wajahnya tampak lelah. Maklum, dia baru saja menyelesaikan perjalanan yang sangat panjang.
BACA JUGA: Ngajual Sawah, Ngajual Kebo, Demi Jihad ka Jakarta
Bersama sekitar 2.000 santri Pondok Pesantren Miftahul Huda II dan ratusan anggota ormas lainnya, Nonop melakukan long march dari kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat, menuju Jakarta.
Jarak 250 km itu mereka tempuh dengan berjalan kaki 4 hari 4 malam. Sudah barang tentu sangat melelahkan.
BACA JUGA: Minta Tebusan Rp 800 Juta, Ancam Ambil Organ si Bocah
Meski demikian, Nonop terlihat tetap bersemangat saat menjawab pertanyaan Ustad Erick Yusuf di belakang panggung aksi superdamai 2 Desember (212) di Monas itu.
Bahkan, kalimat takbir berkali-kali dia teriakkan. ”Allahu Akbar, Allahu Akbar,” pekiknya diikuti jamaah yang berdiri di sekitarnya.
Semangat Nonop dan para santri dari Ciamis tersebut telah menginspirasi jamaah lain dari berbagai penjuru tanah air yang mengikuti aksi doa bersama itu.
Sebab, ketua Yayasan Miftahul Huda II, Ciamis, Jawa Barat, tersebut datang ke Jakarta dengan cara tidak lazim. Jalan kaki!
Ya, aksi jalan kaki itu merupakan hasil rapat komunitas pesantren Ciamis seminggu sebelum kegiatan doa bersama dan salat Jumat di Monas dilaksanakan.
Cara tersebut ditempuh setelah kepolisian melarang jamaah menuju ibu kota dengan menggunakan angkutan umum seperti bus, truk, atau kendaraan pribadi.
Rencana long march sejauh 250 kilometer itu kemudian di-share di media sosial Facebook. Tak terduga, responsnya luar biasa.
”Dalam sekejap ada sekitar 18.000 orang yang berniat untuk bergabung. Kalau itu terjadi, pasti akan jadi isu nasional, bahkan dunia,” ungkap Nonop.
Setelah disaring, hanya 3.500 orang yang dianggap layak mengikuti long march.
Mayoritas merupakan santri dan anggota ormas Islam berusia 17–18 tahun di Ciamis. Sejak berangkat Senin (28/11), peserta berjalan kaki mulai pukul 06.00 sampai 23.00.
Mereka mengenakan pakaian serbaputih dan ikat kepala serta membawa bekal secukupnya.
”Sesuai kesepakatan, setiap 30 kilometer kami berhenti di pos untuk istirahat,” cerita dia.
Pada hari pertama long march, rombongan diuji guyuran hujan yang cukup deras. Mereka pun basah kuyup. Namun, mayoritas peserta memilih melanjutkan perjalanan.
Hanya beberapa santri, terutama yang perempuan, yang diminta pimpinan rombongan kembali ke Ciamis karena faktor fisik.
”Dari Ciamis ke Bandung beberapa kali kami diguyur hujan deras,” ujar Encep, salah seorang santri.
Di sepanjang perjalanan, yel-yel penyemangat dan lantunan lagu-lagu nasyid menjadi motivasi mereka. Tambahan kekuatan juga datang dari masyarakat di setiap daerah yang mereka lintasi. Ada yang menyambut dengan takbir sambil menangis haru.
Ada pula yang menyiapkan makanan, minuman, bahkan sandal jepit untuk rombongan.
”Kami juga terharu melihat sambutan warga itu,” ingat Encep yang mengaku tak kuasa menahan air mata.
Bukan hanya itu, saat melintas di Bandung, jamaah juga mendapat sambutan dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI M. Herindra, Kapolda Jabar Irjen Pol Bambang Waskito, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Mereka dijamu di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Selasa sore (29/11).
”Kami juga ditawari sepuluh bus gratis untuk ke Jakarta, tapi banyak yang tidak mau. Namun, ada puluhan peserta yang terpaksa diangkut dengan bus karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan,” ucap Nonop.
Dari Bandung, jamaah tetap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Dukungan masyarakat di pinggir-pinggir jalan dari Bandung hingga Jakarta juga terus mengalir.
Kantong saku dan tas mereka sampai tidak mampu menampung makanan yang diberikan warga.
”Kami sampai menangis melihat antusiasme masyarakat di sepanjang perjalanan,” kenangnya.
Rombongan Nonop akhirnya tiba di Jakarta pada Kamis malam (1/12).
Mereka beristirahat dan menginap di Masjid Agung At Tin di kompleks TMII, Jakarta Timur, sebelum keesokan harinya berjalan kaki menuju Monas.
Meski terlihat kelelahan dan mengalami lecet-lecet di kaki, para peserta long march tampak bersemangat saat tiba di Monas kemarin.
”Semua rasa capek hilang. Kami disambut pekikan takbir ratusan ribu umat muslim yang sama-sama membela Alquran,” ungkap Encep.
Cara tidak biasa juga dilakukan peserta aksi 212 asal Payakumbuh, Sumatera Barat.
Rombongan umat muslim dari tanah Minang itu menyewa dua pesawat, yakni Lion Air dan Sriwijaya Air, tujuan Jakarta.
Mereka memilih menggunakan pesawat karena ada larangan bagi para pemilik bus untuk memberangkatkan peserta aksi.
”Kami dari Padang carter pesawat,” ujar Irfianda Abidin, koordinator rombongan Sumatera Barat, saat berorasi di kawasan Patung Kuda Indosat, Jakarta.
Moda transportasi pesawat juga menjadi pilihan rombongan peserta dari Palu dan Poso, Sulawesi Tengah. Namun, karena jumlah massa yang tidak begitu banyak, mereka tidak harus mencarter pesawat.
Di antara rombongan forum Islam Poso yang berangkat ke Jakarta itu terdapat anggota kelompok Mujahidin Poso.
”Komandan Mujahidin Poso juga ikut,” ujar Firman, peserta aksi asal Poso. (tyo/byu/dod/bil/*/c9/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bripda Hatika Widiyawati, Cantik, Mahir Berbahasa Jepang
Redaktur : Tim Redaksi