jpnn.com - YUNITA Purnama Sari, orangtuanya hanya nelayan, dengan ekonomi pas-pasan.
Tanpa disangka, tamat SMA Yunita meraih beasiswa dari Pemda Kaur, Bengkulu, untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Inggris. Bagi Yunita, ini ibarat mimpi yang telah menjadi kenyataan.
BACA JUGA: Ngajual Sawah, Ngajual Kebo, Demi Jihad ka Jakarta
ALBERTUS YP, Kaur
KULIAH gratis di Newcastle University, Inggris itu yang sedang dijalani Yunita Purnama Sari sejak 3 tahun terakhir selepas lulus SMAN 1 Kaur tahun 2013 lalu.
BACA JUGA: Minta Tebusan Rp 800 Juta, Ancam Ambil Organ si Bocah
Semua mimpinya jadi kenyataan setelah dirinya lulus tes program Bintang Jemput Bintang (BJB) untuk pertama kalinya semasa Bupati Kaur Hermen Malik.
Setelah tiga tahun di Inggris, penampilan Yunita saat berjumpa RB di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaur kemarin, sudah jauh berbeda.
BACA JUGA: Bripda Hatika Widiyawati, Cantik, Mahir Berbahasa Jepang
Kendati demikian anak kedua pasangan Basarudin dan Samsila ini tetap mengenakan hijab.
Dengan senyum Yunita menyapa semua staf Bidang Dikmen Dispenbud Kaur yang saat itu juga tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Yunita.
Bakal segera menyandang gelar sarjana jebolan universitas terkemuka di dunia, tak membuat dara kelahiran Desa Linau 10 Juni 1994 ini, menjadi sosok yang besar kepala.
Dia juga tak lupa akan bahasa dan budaya Kaur, negeri yang membesarkannya.
Agustus tahun 2013 setelah dinyatakan lulus BJB, Yunita berangkat ke Inggris.
Beberapa bulan dirinya mulai melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sambil ikut kursus bahasa Inggris.
Pada Januari 2014 dirinya ikut International Foundation, karena di Inggris semua perguruan tinggi hanya menerima siswa yang telah lulus International Foundation.
Baru bulan September 2014, Yunita berhasil masuk ke Newcastle University dan memilih jurusan Food and Human Nutrition (Pangan dan Gizi). Saat ini Yunita sudah duduk di semester lima akhir.
“Alhamdulilah saya bisa masuk ke Newcastle University. Di Newcastle University, biaya kuliahnya sekitar Rp 360 juta per tahunnya. Sementara saya mendapat Rp 500 juta per tahun dari APBD Kaur, sisa bayar kuliah adalah biaya hidup dan itu cukup buat saya apa lagi saya masak sendiri. Kalau semua harus beli pasti tidak akan cukup,” kata Yunita kemarin.
Selama empat tahun Yunita tidak pernah kembali ke Kaur, mengingat biaya untuk pulang kampong cukup besar.
Apalagi selama di Inggris dirinya mengaku tidak pernah mendapat kiriman dari orang tuanya sama sekali. Dan ini membuatnya lebih terpacu lagi untuk segera menyelesaikan kuliah di Inggris.
Berkat aktif di berbagai organisasi mahasiswa Indonesia di Inggris, Yunita cukup dikenal oleh kalangan mahasiswa Indonesia yang ada di Inggris.
Libur semester selama tiga bulan dimanfaatkan oleh Yunita untuk menambah penghasilan dengan bekerja di restoran dan hotel-hotel yang ada di Newcastle.
Dan ini membuatnya bisa mengumpulkan uang sendiri, untuk menambah uang saku.
Selama bekerja dirinya terkadang mendapat penghasilan antara Rp 12 juta hingga Rp 15 juta per bulannya.
Uang yang dikumpulkannya selain untuk keperluan sendiri juga ditabung.
“Pada tahun ketiga kuliah ini, selama satu tahun kita diwajibkan keluar kampus magang ke berbagai perusahaan. Untuk lima bulan pertama saya magang di Orchard House Foods atau perusahaan buah siap saji di Inggris. Di sini saya sudah mendapatkan bayaran sekitar Rp 20 juta per bulannya atau 1.500 Pound Sterling. Sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawab pada pekerjaan yang dipercayakan. Untuk lima bulan ke depan saya pilih magang di Jakarta tepatnya di Indofood, mulai Desember ini,” ungkap Yunita.
Semua penghasilan dan uang yang selama ini ditabung untuk persiapan biaya melanjutkan S2 di Inggris di jurusan yang sama.
Kendati demikian dirinya juga siap jika nantinya dipanggil oleh Pemkab Kaur untuk mengabdi di Kaur.
Bagaimanapun Pemda Kaur lah yang membiayainya hingga bisa kuliah di Inggris.
“Saya saat ini sudah ditawari kerja di perusahaan tempat magang jika selesai nantinya, namun belum saya terima. Karena masih ingin fokus kuliah. Nanti bisa saja saya terima atau mencari kerja lain. Karena saya ingin sekali melanjutkan S2,” ujarnya.
Dikatakan Yunita, selama menempuh pendidikan di Inggris, semua warga yang ada di sana sangat menghormati waktu.
Jadi jarang sekali waktu itu molor hingga berjam-jam. Tidak hanya itu, saat bekerja dan belajar semua disiplin tidak ada mahasiswa yang sibuk menggunakan ponsel seperti di Indonesia.
Kendati semua ada ponsel, saat bekerja tidak ada yang dipergunakan sebelum selesai tugas.
“Kepada para siswa Kaur saya hanya berpesan kalau modal awal kuliah atau kerja di luar negeri itu adalah bahasa Inggris. Karena menguasai bahasa Inggris tidak akan rugi. Yang kedua kurangi kegiatan di media sosial, karena dapat merusak dan mengganggu fokus kita dalam belajar,” pungkas putri asal Linau Kecamatan Maje ini.
Selama di Kaur nantinya Yunita akan bekerja sama dengan pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaur.
Dirinya akan berkeliling ke sekolah-sekolah untuk berbagi pengalaman agar para siswa termotivasi untuk giat belajar. Serta tidak pernah mengeluh walau dilahirkan di keluarga yang kurang mampu atau pas–pasan.
Dia akan terus meyakinkan anak-anak muda Kaur, bahwa orang Kaur dikenal cerdas dan pekerja keras hingga tak sedikit yang berhasil kuliah di luar negeri meraih gekar S3.
Salah satunya mantan Bupati Kaur Hermen Malik, yang juga penggagas beasiswa kuliah ke luar negeri untuk anak-anak Kaur. (RB/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nyalain Lampu Hp Kalian, Biar Pemain Lihat
Redaktur : Tim Redaksi