jpnn.com - BULAN Juli biasanya kemaru, kering. Namun, beberapa pekan terakhir justru hujan deras kerap mengguyur beberapa daerah di Indonesia. Di Surabaya, bahkan sering hujan turun malam hingga pagi.
Ini bukan tanpa alasan. Terdapat fenomena alam yang berdampak pada iklim ini. Di antaranya adalah fenomena La Nina dan tekanan suhu rendah di sejumlah wilayah di Indonesia. Maka musim kering saat ini disebut kemarau basah.
BACA JUGA: Wanita Berjilbab Itu Hanya Berkata Singkat
La Nina adalah fenomena alam, dimana tekanan permukaan di atas perairan hangat di Pasifik ekuatorial barat menurun. Hal ini menyebabkan udara lembab yang hangat, naik. Di atas Pasifik ekuatorial timur yang lebih adem, tekanan permukaan yang lebih tinggi menyebabkan udara yang lebih dingin turun.
Udara bergerak dari tekanan tinggi di wilayah timur ke tekanan yang lebih rendah di bagian barat.
BACA JUGA: DPD RI Targetkan Penyelesaian Dua RUU
"La Nina adalah fenomena global. Jika di daerah Amerika dan Peru kering, maka daerah Indonesia atau Asialainnya menjadi basah, dan begitu sebaliknya untuk El Nino," jelas prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Juanda Ahmad Rofiul Huda.
Fenomena global inilah yang membuat mengapa di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, masih diguyur hujan dengan intesitas sedang hingga tinggi. Fenomena La Nina yang dalam bahasa Spanyol berarti perempuan ini sendiri adalah kebalikan dari fenomena El Nino. El Nino artinya laki-laki.
BACA JUGA: Lihat, Umi Delima di Kursi Roda, Dijaga Aparat Bersenjata
Bahasa sederhanya, ketika terjadi El Nino maka akan terjadi kekeringan cukup lama. Sedangkan jika La Nina yang datang, maka terjadi hujan yang cukup lama.
"Untuk musim, Indonesia sudah melewatinya dengan benar. Musim hujan Oktober hingga April lalu, kalau musim kemarau dari April hingga Oktober nanti," sambungnya.
Fenomena La Nina sendiri telah terjadi sejak bulan Maret lalu. Dan diperkirakan akan selesai pada September mendatang. Maka, Jatim khususnya Surabaya masih rawan diguyur hujan sampai dua bulan ke depan.
"Karena tahun kemarin sudah terjadi El Nino, dimana kekeringan cukup lama, sekarang yang datang giliran La Nina. Sudah menjadi kebiasaan setiap kali ada El Nino, pasti ada La Nina,” jelas Rofiul.
La Nina yang saat ini terjadi di Indonesia ini masih tergolong lemah. Dimana nilai anomali suhu muka (permukaan) laut di angka -0,5 sampai -1,0 derajat Celcius. Hal ini menyebabkan mengapa kondisi suhu permukaan laut di Indonesia masih hangat, yang berpotensi membentuk awan penghujan.
Fenomena LA Nina dan El Nino sendiri pertama kali ditemukan oleh nelayan Peru. Sebenarnya fenomena El Nino dan La Nina sendiri sudah tidak asing di Indonesia bahkan dunia. Sejak puluban tahun lalu, dunia sudah sering mengalami fenomena La Nina dan El Nino ini.
Misalnya pada tahun 1988, 1995, 1997, 2010 dan 2013 silam. La Nina dan El Nino sendiri bukan fenomena alam yang periodik. Namun, pada umumnya terjadi lima sampai tujuh tahun sekali.
Selain fenomena global La Nina, penyebab masih seringnya hujan lebat di Surabaya dan Jatim adalah karena adanya daerah tekanan rendah di Indonesia. Tekanan rendah ini yang memicu pergerakan awan sehingga memudahkan pembentukan awan penghujan pula.
Begitu pula dengan kondisi alam lokal, seperti kondisi gunung, tekanan suhu di beberapa daerah, baik rendah atau tinggi. Apalagi Indonesia memiliki tipikal tipografi yang berbeda yang membuat pergerakan tekanan udara cukup mudah.
Sedangkan untuk intesitas hujan, Surabaya masih berpotensi diguyur hujan dengan intensitas ringan, sedang hingga lebat. Begitu pula dengan potensi angin. “Angin kencang sesaat juga masih sangat berpotensi,” ingatnya.
Lalu, mengapa di Surabaya hujan kerap kali terjadi dari sore, malam hingga dini hari dan pagi? Rofiul menjelaskan karena pembentukan awan di selat Madura yang cukup cepat, lalu terbawa angin menuju ke Surabaya. Dan awan siap hujan pun berada di langit Kota Pahlawan.
Sementara itu, Kasi Data dan Informasi BMKG Juanda Bambang Setiajit mengatakan, La Nina dan El Nino adalah fenomena dimana ada anomali. Wilayah Indonesia yang semestinya bertekanan udara tinggi menjadi bertekanan udara rendah.
Dan jika biasanya Indonesia mengalirkan atau mensuplai tekanan dari tinggi ke rendah, maka saat ini Indonesia menerima arus tekanan tinggi dari beberapa wilayah. (ayu/opi/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Umi Delima Lemah, Di Mana M16 yang Sempat Dibawanya?
Redaktur : Tim Redaksi