jpnn.com - Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) telah berakhir. Namun, ternyata sengketa pemungutan suara nasional kali ini telah membuka pemahaman baru tentang hukum dan etika yang maknanya diperdebatkan dalam proses putusan tersebut.
Hakim MK dalam pertimbangan putusannya menggunakan dasar legalistik bahwa perselisihan yang diangkat pemohon tidak berada dalam ranah hukum melainkan ranah etika, sehingga tidak relevan untuk diterima dan dikabulkan permohonannya secara konstitusional.
BACA JUGA: Forum Umat Islam Sragen Imbau Semua Pihak Hormati Putusan MK dan KPU
Konteks pertimbangan hakim MK tersebut secara eksplisit dapat dipahami sebagai upaya memisahkan antara hukum dan etika sehingga terkesan seolah-olah mengerdilkan makna hukum yang sebenarnya sudah mengandung etika, baik dalam wujudnya sebagai ius constitutum maupun ius constituendum.
Jika substansi putusan menyatakan pelanggaran etika bukanlah pelanggaran hukum, maka timbul pertanyaan: mungkinkah di dalam sebuah produk hukum tidak ada nilai-nilai moral yang menyertainya.
BACA JUGA: Soal Putusan MK, HNW Singgung Perbaikan untuk Pemilu ke Depan
Perdebatan tentang hukum dan etika mau tidak mau menghantarkan kita pada pemikiran Hans Kelsen, seorang tokoh hukum positif yang dalam teorinya yang terkenal yaitu the pure theory of law, mengemukakan hal senada namun berbeda jika dibandingkan dengan putusan MK.
Ia berujar bahwa perspektif hukum seharusnya dibatasi dari anasir-anasir lain di luar aspek hukum agar penafsiran hukum tetap bertumpu pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
BACA JUGA: Akademisi Minta Prabowo Membentuk Kementerian Urusan Papua
Namun, dalam penjelasan lanjutannya dia juga mengatakan bahwa tidak mungkin melepaskan nilai-nilai moral (etika) dari sebuah produk hukum positif yang terkodifikasi, karena produk hukum positif merupakan peleburan dari nilai-nilai hidup yang sudah disepakati sebagai kebenaran yang mengatur kebaikan bersama (bonum communae) yang praktiknya sarat akan nilai-nilai moral.
Pandangan Hans Kelsen tersebut sangatlah logis sebab bagaimana pun lemahnya sebuah produk hukum sehingga mudah ‘diakali’, pasti ada unsur kebaikan dalam rupa nilai-nilai moral (etika) yang telah disepakati untuk ditaati bersama.
Artinya, pandangan hakim MK yang menolak fakta adanya pelanggaran hukum dalam proses Pemilu 2024. Sebab lingkup pelanggaran yang terjadi adalah pada wilayah etis dan hal tersebut belum diatur dalam hukum positif, merupakan pandangan yang mendistorsi makna hukum dinamis yang bertujuan menjamin sebuah kesepakatan untuk bersikap adil dan benar.
Jadi, secara empiris maupun teoritis, tidak mungkin memisahkan nilai- nilai moral dari hukum yang berlaku; jika pun terjadi perbedaan pandangan tentang moral hukum yang dianggap paling dapat disepakati bersama, maka hal itu juga akan menghasilkan kesepakatan moral baru yang memiliki kausalitas terhadap produk hukum sebelumnya.
Dengan demikian polemik tersebut pada saatnya akan membentuk kesatuan pemikiran tentang suatu keberlakuan hukum untuk menyikapi kekosongan hukum (rechtvacuum) yang terjadi, sehingga judges seharusnya bukan menolak eksistensi etika yang jelas-jelas memiliki kausalitas terhadap sebuah peristiwa hukum.
Etika Dalam Undang-Undang Pemilu
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sangat minim memuat kata ‘etika’.
Kata etika hanya digunakan pada Pasal 159 angka (3) huruf (b), yang mengatur tentang wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu.
Penggunaan diktum etika yang hanya digunakan dalam wewenang DKPP bukan menunjukkan bahwa UU tersebut tidak mengatur tentang aspek etis pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam Pemilu tetapi sebaliknya menyiratkan keyakinan bahwa nilai-nilai moral sudah dikomposisikan dalam proses perumusan kaidah-kaidah pemilu tersebut.
Herbert Lionel Adolphus Hart, seorang tokoh positivis yang mengenalkan the concept of law, memaparkan sebuah postulat bahwa dalam perspektif hukum, nilai-nilai moral tidak hanya menghendaki niat, maksud, atau motif-motif yang baik, tetapi faktanya telah mencampuradukkan antara ide-ide permakluman (excuse) dan ide-ide pembenaran (justification) atas tindakan.
Artinya, dalam pandangan hukum positif, tidak cukup menggunakan nilai-nilai moral (etika) sebagai landasan kebaikan tetapi perlu menyisakan ruang bagi berlakunya permakluman (excuse) dan pembenaran (justification).
Postulat ini seolah-olah mengaksentuasikan bahwa hukum memiliki gradasi elastisitas yang lebih tinggi dibandingkan etika.
Paham inilah yang kurang lebih (mungkin) telah digunakan oleh MK dalam Putusan PHPU Presiden 2024 yang menolak semua permohonan pemohon karena pelanggaran yang dipersoalkan merupakan ranah etika yang dalam perspektif hukum positif dapat dimaklumi dan dijustifikasi selama belum ada aturan yang mengatur perbuatan yang dianggap melanggar tersebut.
Hal ini memperjelas bahwa hukum dan etika adalah dualisme yang berbeda namun saling beririsan, keduanya berjalan bersama tetapi memiliki identitas yang berbeda.
Kritik Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Putusan MK 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan Putusan MK 2/PHPU.PRES-XXII/2024, yang menolak permohonan pihak pemohon seluruhnya, telah menampilkan diskusi mendalam tentang perselisihan hasil pemilihan umum.
Adanya dissenting opinion dari tiga hakim MK semakin menjelaskan bahwa pergulatan pemikiran para hakim MK adalah representasi dari dinamika pemahaman dan penerapan hukum di Indonesia yang semakin progresif belakangan ini.
Skor 5:3 dalam penentuan Putusan MK atas PHPU 2024 tidak sekedar menjadi simbol menang dan kalah dalam sebuah peradilan tetapi lebih jauh dari itu merupakan gambaran dialektika yang sangat fundamental karena pertimbangan perdebatan terhadap substansi perkara melibatkan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Aspek etis yang menjadi tema pelanggaran pun tidak luput menyisakan catatan bagi perbaikan legislasi nasional khususnya yang mengatur tentang demokrasi dan memberikan wadah bagi kedaulatan rakyat.
Berbagai pihak menilai bahwa beberapa celah substansial dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang Pemilihan Umum merupakan biang keladi terjadinya sengketa PHPU di Mahkamah Konstitusi yang baru saja berakhir.
Salah satu pasal yang menurut penulis relevan dengan pendapat di atas adalah Pasal 473 angka (2) dan (3) yang menerangkan bahwa baik perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD serta Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu dan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Pemahaman terbalik atas frasa ‘memengaruhi perselisihan…’ di atas adalah jika gugatan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu tersebut bobotnya dianggap tidak cukup memengaruhi kuota perolehan kursi peserta pemilu dan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maka dapat dipastikan bahwa permohonan pihak pemohon akan ditolak.
Kondisi seperti ini memunculkan opsi bagi peserta pemilu untuk melakukan kecurangan yang sekiranya secara kumulatif akan menghasilkan perolehan suara yang sedemikian signifikan sehingga peluang untuk digugat di Mahkamah Konstitusi akan semakin kecil.
Selain sorotan terhadap kualitas regulasi yang menyebabkan distorsi keadilan, kepastian dan kemanfaatan UU Pemilu yang berpotensi timbul dari penerapan Pasal 473 angka (2) dan (3), dalam praktiknya pasal ini pun menjadi kontraproduktif terhadap Pasal 372 ayat (2) yang memperbolehkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan kondisi-kondisi tertentu, sementara di sisi yang lain sebenarnya PSU tersebut tidak ‘memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu dan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Kontraproduktifnya kedua pasal dalam UU Pemilu ini tidak saja menimbulkan beban tambahan bagi APBN tetapi juga mendeskripsikan tentang ketidakefektifan sistem hukum yang menggerus nilai-nilai demokrasi dan berpotensi menciptakan chaos.
Hukum dan etika adalah dua hal yang berbeda namun simultan dalam penerapan. Hukum tanpa etika akan menghasilkan kekuasaan tanpa batas oleh rezim kekuasaan yang otoriter.
Sebaliknya etika tanpa hukum akan menciptakan kondisi ketidakteraturan yang berpotensi menyebabkan hilangnya keadilan bagi yang lemah dan tidak berdaya.
Substansi hukum dan etika memang berbeda, namun keduanya saling melengkapi dan hanya efektif jika digunakan secara kumulatif. Hukum bukanlah hukum jika tanpa etika dan etika bukanlah etika jika tidak ditopang oleh hukum yang ditaati demi mewujudkan tatanan hidup sosial yang lebih baik.(***)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Friederich Batari