jpnn.com, JAKARTA - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan merespons putusan Mahkamah Agung (MA) mengurangi masa hukuman mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab pada perkara penyebaran kabar bohong tes swab Covid-19 RS Ummi Bogor, Jawa Barat.
Dalam putusan tingkat kasasi itu, MA mengurangi hukuman Habib Rizieq menjadi dua tahun penjara.
BACA JUGA: Subhanallah, MA Kurangi Hukuman Habib Rizieq, Ternyata ini Alasannya
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memvonisnya dengan hukuman empat tahun penjara.
"Saya mengapresiasi pengurangan dua tahun dari total empat tahun, tetapi itu tidak cukup. Semestinya Mahkamah Agung memberikan vonis bebas," kata Chandra dalam pendapat hukumnya kepada JPNN.com, Senin (15/11) malam.
BACA JUGA: Nekat Berbuat Terlarang, Pria Asal Riau Ini Ditangkap di Jambi
Dia menyebut tokoh asal Petamburan, Jakarta Pusat, itu seharusnya divonis bebas dengan dua dalil, pertama, pernyataan tentang kondisi kesehatan Habib Rizieq yang menyatakan dalam keadaan sudah pulih atau sehat bukan merupakan perbuatan tercela.
"Oleh karenanya tidak ada perbuatan melawan hukum. Ucapan tersebut adalah termasuk bagian dalam pikiran, sebab dirinya merasakan sudah sehat," kata ketua eksekutif BPH KSHUMI (Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia) itu.
BACA JUGA: Hukuman Habib Rizieq Berkurang, Aziz Yanuar Tidak Senang
Chandra menjelaskan penilaian atas kesehatan diri sendiri adalah hal yang wajar sebagaimana penilaian pada umumnya seseorang yang merasakan sudah pulih dari rasa sakitnya.
"Dengan mengacu pada asas 'cogitationis poenam nemo patitur' (tidak seorang pun dipidana atas yang ada dalam pikirannya), maka pernyataan sehat Habib Rizieq Shihab semestinya dipandang bukan sebagai kejahatan," tutur Chandra.
Dalil kedua, kata dia, semestinya perdebatan di media sosial atau viral tidak dapat dijadikan dasar menyebabkan keonaran di kalangan rakyat. Semestinya keonaran harus didefinisikan secara konkret dan memiliki batasan yang jelas.
Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur, tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam menafsirkan.
"Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau multitafsir pemaknaannya," pungkas Chandra Purna Irawan. (fat/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam