Hutan Batu Maros, Destinasi Wisata Alam yang Kurang Dapat Perhatian

Minggu, 12 Oktober 2014 – 09:38 WIB
POTENSI WISATA: Pemandangan hutan batu Rammang-Rammang yang kurang tergarap sebagai objek wisata. Foto: Gunawan Sutanto/Jawa Pos

KABUPATEN Maros, Sulawesi Selatan, punya wisata pegunungan karst (batu) yang indah. Hutan batu itu termasuk yang terbesar kedua di dunia versi UNESCO setelah hutan batu di Tiongkok. Salah satu spot terbaiknya berada di Desa Berua.
------------
Gunawan Sutanto, Maros
------------
Perahu kayu dengan motor tempel itu bergerak perlahan. Pengemudinya bagaikan pembalap mobil slalom, meliuk-liuk menghindari bebatuan cadas yang mencuat dari dasar Sungai Pute.

Perahu itu mengantarkan saya menikmati gugusan tebing purba dengan tujuan akhir Desa Berua. ’’Desa itu hanya dihuni 17 kepala keluarga (KK). Rumah-rumahnya juga belum teraliri listrik,’’ ujar Arman Periawan, pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Maros, yang mengantarkan saya berwisata alam itu, Selasa pekan lalu (7/10).

BACA JUGA: Kisah Proses Operasi Tumor Otak Meningioma Selama 25 Jam

Butuh waktu sekitar 20 menit dari dermaga menuju Desa Berua. Dalam perjalanan itu, perahu menyusuri sungai yang tidak begitu lebar yang kanan-kirinya dipagari mangrove serta nira yang tumbuh alami. Bebatuan cadas yang menjulang tinggi juga menghiasi hutan batu tersebut.

Sepintas, ada bentuk bebatuan yang mirip benda atau makhluk tertentu. ’’Lihat Bang, itu batunya mirip kapal kan?’’ ujar Arman menunjuk ke arah kiri.

BACA JUGA: Pantai Minajaya, Pasir Cokelat dengan Hamparan Rumput Laut

Beberapa meter kemudian, saya menemukan batu yang mirip bentuk gajah, lengkap dengan belalainya. Arman pun setuju ketika saya menyebut batu itu persis binatang raksasa tersebut.

Itulah pemandangan hutan batu di Rammang-Rammang yang merupakan bagian dari landscape karst yang terbentang dari Maros hingga Pangkep dengan luas keseluruhan 43.750 hektare.

BACA JUGA: Tak Pernah Marah, Guru Kesederhanaan

Hutan batu Rammang-Rammang ternyata masuk dalam World Heritage Convention UNESCO. Dengan wilayah seluas itu, hutan batu di Maros tersebut dinyatakan sebagai hutan batu terbesar kedua setelah stone forest di Shilin Yi, Provinsi Yunnan, Tiongkok.

Bedanya, bila hutan batu di Shilin Yi menjadi destinasi wisata yang mampu menarik perhatian jutaan turis mancanegara –otomatis juga mengeruk keuntungan besar–, hutan batu Rammang-Rammang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Keindahan yang dianugerahkan Tuhan tersebut seolah tidak punya makna apa-apa. Karena itu, boro-boro mengundang perhatian wisatawan, hutan batu tersebut tidak bisa menghasilkan pendapatan bagi daerah setempat.

Saat mengunjungi stone forest di Yunnan tahun lalu, saya terhipnotis oleh guide yang pandai mengajak pengunjung berfantasi melihat bebatuan hasil evolusi alam ratusan juta tahun silam itu. Guide asli warga setempat tersebut juga pandai menghubung-hubungkan penampakan batu dengan benda atau makhluk hidup tertentu.

Di lokasi wisata stone forest Shilin Yi juga terdapat museum geologi yang memberikan banyak informasi tentang sejarah terbentuknya hutan batu tersebut berikut macam-macam bebatuan yang ada. Ada pula rute-rute yang bisa ditempuh secara efektif bagi pengunjung. Pengunjung akan diantar dengan mengendarai kereta luncur sesuai rute yang dipilih.

Semua itu sama sekali tidak terdapat di hutan batu Rammang-Rammang. Pemerintah Maros, tampaknya, belum menyadari bahwa di wilayahnya terdapat objek wisata alam yang layak dipromosikan ke luar negeri.

Karena itu, tak heran bila sejauh ini pengunjung tidak perlu mengeluarkan duit untuk masuk, tidak ada guide yang akan menjelaskan lokasi tersebut, dan sebagainya.

’’Biasanya, kalau ada yang ingin wisata di Maros, tujuannya ke air terjun Bantimurung,’’ ujar Anto Driver, sopir mobil rental yang membawa saya pergi ke hutan batu Rammang-Rammang.

Anto yang mengaku belum pernah menyusuri Sungai Pute untuk melihat pemandangan hutan batu Rammang-Rammang itu pun terperangah ketika melihat indahnya hutan batu tersebut. ’’Pemandangan di sini tak kalah bagusnya dibanding di Bantimurung,’’ ungkapnya.

Tetapi, menurut Arman, ada pemandangan yang lebih bagus daripada hutan batu di sepanjang Sungai Pute. Yakni, hutan batu di Desa Berua, 20 menit setelah perjalanan perahu itu. Di sana terhampar sawah kering dengan latar bebatuan cadas yang mengelilinginya. Langit biru menambah cantik pemandangan itu.

Di beberapa lokasi, rumah-rumah panggung milik penduduk seolah terlindungi kukuhnya bebatuan di belakangnya. Saya sempat bertemu Syamsuddin, satu di antara 17 kepala keluarga yang mendiami desa terpencil tersebut. Udin –begitu dia disapa– mengajak saya berjalan sekitar satu kilometer ke arah tebing batu. Ternyata, dia ingin menunjukkan beberapa gua di bawah tebing tersebut.

’’Ini ada bekas telapak-telapak tangan orang zaman dulu yang mungkin pernah tinggal di gua-gua ini,’’ ujarnya sambil menunjuk ke arah dinding tebing.

Udin bercerita, selama ini tidak banyak orang yang datang untuk menikmati wisata gua di desanya. Kalaupun ada, mereka hanya beberapa warga lokal saat weekend. Atau, anggota pencinta alam yang kampingdan membersihkan sekitar lokasi tebing.

Namun, sesekali ada pula rombongan turis asing. Selain menyusuri hutan batu, mereka mengajak penduduk berkomunikasi. Tidak jarang mereka menginap di rumah penduduk, termasuk di rumah Udin.

’’Kami tidak memasang tarif. Silakan mau bayar berapa terserah,’’ ujar Udin.

Udin mengakui, wisatawan jarang ke desanya lantaran tak ada alat transportasi yang secara rutin bisa menjangkau. Selama ini, hanya ada perahu milik warga di luar Desa Berua yang dibanderol dengan harga mahal untuk sekali jalan. ”Tarifnya Rp 250 ribu. Padahal, itu perahu kecil,” jelasnya.

Saya sempat mampir ke rumah panggung Udin. Rumah berlantai dua yang cukup besar itu dihiasi foto-foto panorama Desa Berua. ”Foto itu kiriman wisatawan yang pernah menginap di sini,” papar dia.

Selain dikirimi foto, Udin pernah disumbang seperangkat alat untuk pembangkit listrik tenaga surya agar rumahnya bisa terang saat malam. Yang menyumbang juga wisatawan yang pernah menginap di rumah Udin.

”Saya berharap pemerintah mau memperhatikan desa kami ini sebagai desa wisata. Kalau pemerintah tetap tidak memperhatikan, ya kondisinya tetap seperti ini. Semua serbaminim,” bebernya.

Sekitar sejam bertamu, saya lantas pamit. Saya lalu naik perahu untuk menuju dermaga semula yang tak jauh dari akses masuk pabrik Semen Bosowa.

Selain menggunakan perahu, turis sebenarnya dapat menikmati pemandangan hutan batu Rammang-Rammang lewat darat. Lokasinya sekitar 1 kilometer dari dermaga. Ada deretan bebatuan yang menjulang dengan berbagai ukuran. Warga menyebutnya sebagai taman batu.

Arman mengatakan, pemandangan akan lebih bagus bila musim panen padi tiba sekitar Februari atau Juni. Saat musim panen, warna padi yang mulai menguning serasi dengan legamnya bebatuan purba di sekelilingnya. ”Silakan datang lagi pada bulan-bulan panen itu, Bang,” ujar Arman, berpromosi. (*/c5/c11/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Selalu Bangun Pagi, Sempatkan Minum Kopi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler