Seorang perempuan India berusia 34 tahun yang hamil tujuh bulan dan positif COVID-19 memohon agar pandemi ditangani dengan serius, dalam sebuah pesan video yang direkam sembilan hari sebelum dia meninggal.
Dimple Arora Chawla seorang dokter gigi di New Delhi positif mengidap virus di awal April.
BACA JUGA: Sindrom Aksen Asing Ubah Cara Bicara Perempuan Australia Ini
Dia adalah satu dari ratusan ribu warga India yang terkena virus setiap harinya dengan kasus yang terus bertambah dalam gelombang kedua pandemi.
Enam hari setelah dinyatakan positif COVID, Dr Chawla bisa merasakan bahwa kesehatannya semakin memburuk dan karenanya dia merekam pesan di HP-nya yang ditujukan kepada sanak keluarga dan teman-temannya.
BACA JUGA: Negara Bagian Victoria Usulkan Perbaikan Aturan Bagi Pekerja Pengantar Makanan
"Tolong pakailah masker untuk keselamatanmu dan orang-orang yang kamu sayangi," katanya sebelum berhenti karena batuk.
"Jangan meremehkan corona. Gejala yang saya alami buruk sekali. Saya tidak bisa berbicara."
BACA JUGA: Pengendara Motor Dicegat di Pos Pemeriksaan, Tasnya Dibuka, Polisi Langsung Kaget, Mengerikan
Putranya yang berusia tiga tahun terdengar dalam rekaman tersebut saat Chawla menangis mengkhawatirkan bayi yang sedang dikandungnya.
Dia mengakhiri videonya dengan permohonan "Tolong jagalah diri baik-baik".
Sembilan hari setelah rekaman pesan tersebut, baik Dr Chawla dan bayinya meninggal. "Dia pergi ke surga dengan bayi yang dikandungnya"
Suaminya Ravish Chawla mengatakan kepada stasiun televisi lokal NDTV bahwa istrinya dibawa ke rumah sakit karena keadaannya yang semakin parah di akhir April.
Dia mengatakan tidak adanya petunjuk yang jelas dan data mengenai obat atau perawatan bagi perempuan hamil yang psitif COVID-19 membuat perjuangan istrinya semakin sulit.
"Ketika situasinya mulai memburuk dengan cepat, tingkat oksigennya menurun tajam," katanya.
Beberapa hari setelah masuk rumah sakit, Dr Chawla mulai merasakan seperti akan melahirkan, kata suaminya.
Namun ultrasound menunjukkan bahwa detak jantung bayinya sudah tidak ada lagi.
Ravish Chawla mengatakan dia tidak memberitahu istrinya bahwa bayinya sudah meninggal karena operasi cesar darurat menyusul gejala parah yang dialami istrinya.
"Dia mengatakan 'saya ingin melihat bayinya, saya ingin melihat bayinya," kata Ravish.
"Dalam kecemasannya, tingkat oksigennya menurun. Saya bahkan mengatakan kepadanya ''bayinya masih hidup'. Saya berbohong kepadanya, hal yang tidak ingin saya lakukan."
Keesokan harinya Dr Chawla meninggal.
"Dia adalah ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya dan sekarang dia sudah pergi ke surga bersama bayi yang dikandungnya," kata Ravish.
Pada peringatan hari Ibu (Mother's Day) tanggal 9 Mei lalu, Ravish memutuskan membuat postingan mengenai pesan terakhir istirnya di Twitter, yang sekarang sudah dibagikan ribuan kali.
"Kematiannya membuat saya memposting pesannya kepada dunia, sehingga mereka tahu bahwa kita tidak bisa meremehkan COVID-19 begitu saja," kata Ravish Chawla. Masih belum jelas dampak varian baru COVID-19
Tragedi yang dialami keluarga Chawla adalah satu dari begitu banyak tragedi yang terjadi di India saat ini.
Ada sembilan negara bagian di mana 25 persen mereka yang dites positif terkena COVID-19.
Hari Kamis (13/05) ada 350 ribu kasus baru dengan 4.200 kematian. Total angka kematian di India sekarang sudah melampaui 250 ribu orang.
Dr Harjit Singh Bhatti yang bekerja di rumah sakit penanganan COVID di New Delhi mengatakan angka mereka yang positif sekarang ini sangat mengkhawatirkan.
"Sekarang tingkat positifCOVID di India adalah sekitar 20 persen, namun jumlah tes sangat rendah, dan itu berarti masih banyak orang yang tidak diketahui hasilnya."
"Ketika ada banyak orang tidak terdeteksi, maka jelas mereka akan menularkan ke lebih banyak orang lagi jadi kita tidak bisa menguasai virus ini, virus yang bermutasi dengan cepat, dan sangat menular."
Banyak pakar kesehatan India tetap khawatir mengenai bagaimana varian virus yang ada menyebabkan tingginya kasus saat ini, termasuk varian asal Inggris dan varian India yang sudah bermutasi dua kali.
Kedua varian ini ditemukan dalam sebagian besar kasus di India dan juga negara tetangga Nepal yang menghadapi peningkatan kasus.
Pakar penyakit menular Sameer Dixit mengatakan tidak ada cukup penelitian yang dilakukan untuk mencoba mengerti bahwa perilaku varian India tersebut.
"Inggris sudah melakukan banyak penelitian dan menunjukkan bahwa varian itu sangat mudah menyebar, namun bukan berarti tingkat kematian lebih tinggi," kata Dr Dixit.
"Sekarang dengan varian India, bagaimana keadaannya? Kita tidak tahu. Bahkan pakar di India juga tidak tahu."
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan minggu ini bahwa varian India sekarang menjadi 'varian yang mengkhawatirkan secara global' karena sudah ditemukan di 44 negara.
Pembakaran jenazah di tempat terbuka terus dilakukan setelah banyak krematorium kewalahan menangani korban COVID-19 dan minggu ini jenazah manusia dilarungkan begitu saja di Sungai Gangga.
Namun pemerintah pusat India sejauh ini menolak untuk menerapkan lockdown nasional, dan menyerahkan kepada negara bagian untuk menerapkan pembatasan sendiri-sendiri.
Salah satu lembaga medis berpengaruh di India, Dewan Penelitian Medis mengatakan bahwa di kawasan dimana angka positif di atas 10 persen maka harus dilakukan lockdown sekurangnya enam sampai delapan minggu.
Namun kebanyakan negara bagian hanya memperpanjang lockdown selama satu atau dua minggu saja.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Covid-19 di Dunia: AS Nomor 1, India Kedua, Indonesia?