jpnn.com - CIREBON - Eksekusi pengosongan lahan aset PT KAI di Jl Kartini, Kota Cirebon, Jumat (8/5), menguras emosi. Sekitar 200 personil dari PT KAI dikerahkan untuk mengosongkan lahan secara paksa.
Barang-barang satu persatu dikeluarkan dan diangkut ke truk. Tak hanya itu, petugas PT KAI juga membongkar plang klaim tanah dari Keraton Kasepuhan. Ratusan personil keamanan dari kepolisian juga bersiaga mengamankan eksekusi agar tetap kondusif.
BACA JUGA: Ibu Ini Coba Bunuh Diri saat Eksekusi Rumah
Situasi pun dibuat ricuh ketika penghuni rumah, Khalil Hartono dan sang istri Khalida, melakukan perlawanan. Bahkan Khalida sempat menangis dan mengancam untuk melakukan bunuh diri dengan menancapkan pisau ke lehernya.
Sejumlah aparat mencoba menenangkan. Namun, mereka tidak berdaya dengan jumlah personil PT KAI yang begitu banyak.
BACA JUGA: Bentuk Koalisi Lawan Kekuatan Risma, Ini Tanggapan Gerindra
"Semua isi rumah saya dikeluarin, tempat tidur semua seisi rumah kosong. Kenapa kok saya tidak ditelanjangi sekalian? Ini kan benar-benar dzalim. Tempat tidur saya dikeluarin, nanti malam saya tidur di mana. Saya didorong tadi sampai terjengkakng," tutur Khalil kepada Radar (Grup JPNN), dengan nada terbata-bata.
Khalil sendiri sudah mendiami rumah itu sejak tahun 1972. Ia di sana tinggal berdua bersama sang istri, Khalida.
BACA JUGA: Gerindra Motori Koalisi Besar Lawan Kekuatan PDIP dan Risma
"Kita disuruh bayar sewa Rp480 juta per dua tahun, saya bilang tidak mampu. Tapi PT KAI tidak mau tahu, karena menurut mereka hitungannya bisnis. Saya dikejar-kejar terus sehingga saya minta perlindungan ke sultan. Bahwa tanah ini miliki siapa, gak tahu statusnya," terangnya.
Dia mengatakan upaya pengosongan paksa ini tidak manusiawi. Khalil mengatakan dirinya pernah berjasa untuk kereta api. "Saya pernah berjasa ke kereta api. Perbuatan teman-teman ini dzalim. Tidak tahu aturan. Kenapa setelah berjasa, perlakukannya seperti ini. Kita tidak dianggap manusia," ucapnya.
Sementara kuasa hukum warga, Agus Prayoga SH, menyesalkan adanya eksekusi ketika proses hukum sedang berjalan. Tanah yang menjadi objek sengketa, kata Agus, merupakan tanah SHP (sertifikat hak pakai) departemen perhubungan, bukan atas nama PT KAI.
"Ini sedang dilakukan verifikasi dan juga belum selesai. Kalau yang nagih ke kita itu negara baru boleh. Di sini terjadi kerancuan. Saya minta Pak Presiden memperhatikan ini. Kami siap menghadap dan siap menerangkannya," tukasnya.
Untuk masalah eksekusi ini, Agus mengatakan akan membawa ke provost, kompolnas, dan lainnya. Hal ini karena Kompolnas dan Komnas HAM juga sudah merekomendasikan pengosongan paksa ini. "Begitu juga pak walikota dan dewan, juga sudah meminta menunda pengosongan tapi diabaikan," ujarnya.
Manager Humas DAPOS III Cirebon, Supriyanto menjelaskan pada prinsipnya hal ini bukan masalah hukum. Ia menekankan pengosongan ini merupakan masalah penertiban sewa-menyewa PT KAI dengan penyewa aset PT KAI. "Jadi seandainya penyewa tertib membayar kontrak, kita juga gak ada masalah," ujar Supriyanto.
Terlebih lahan yang ditempati sudah dikembangkan oleh sang penghuni dengan menyewakan lahan-lahan yang menjadi hak PT KAI. "Ini pemiliknya sebenarnya satu, atas nama Pak Khalil Hartono, tapi karena sudah mengembangkan ada lima kios yang juga kita eksekusi," ujarnya.
Menurutnya, dasar adanya eksekusi ini merupakan Sertifikat No 80 Tahun 1988. Yang menerangkan aset ini merupakan aset negara yang dikuasai oleh PT KAI. "Lalu kemudian penghuni dulu merupakan pegawai PJKA, dan sekarang sudah pensiun tapi masih menempati. Sehingga harus dilakukan kontrak sewa," terangnya.
Proses sewa-menyewa itu kemudian terputus sampai Desember 2011. Supriyanto melanjutkan setelah selesai kontrak, kemudian dilakukan perpanjangan dan negosiasi harga baru, tapi tidak berkenan.
"Kami tegaskan ini bukan terkait masalah hukum, hukum tetap lanjut. Jelas ini adalah masalah sewa aset. Jadi kalau sewa menyewa ini dibayar, tidak masalah. Tapi jika tidak ada itikad membayar, kita tertibkan," sebutnya.
Mengenai tingginya harga sewa, PT KAI memiliki hitungan tersendiri. Hal ini melihat atas dasar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan juga peruntukan.
"Apabila hanya rumah dinas, saya kira tidak tinggi. Tapi kalau sudah dikomersilkan seperti ini harga sewa kita juga tinggi menjadi Rp300 juta. Apalagi ini letaknya dekat dengan jalan raya," jelasnya. (jml/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... NTB Jiplak Desa Emas Korsel
Redaktur : Tim Redaksi