jpnn.com - JAKARTA - Persidangan kasus Jakarta International School (JIS) kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/11), menghadirkan Robert Giannella, Kepala Bidang Facilities Development JIS sebagai saksi.
Diceritakan Patra M. Zen, pengacara Virgiawan Amin dan Agun Iskandar, dalam kesaksiannya Robert mengaku bertemu keluarga Kroonen pada 26 Maret 2014 sore hari bersama dengan David, Risk Management Operations Manager JIS.
BACA JUGA: Mabes Tegaskan Situasi Batam Kondusif
Ketika bertemu dengan Pipit dan pengacara keluarga, Robert menjelaskan bahwa pengacara Pipit tersebut sangat agresif untuk membuat JIS menahan para tersangka.
“Robert tadi mengaku dia tidak punya kewenangan untuk menahan, karena bukan otoritas hukum. Itu kewenangan polisi. Namun, pengacara keluarga Kroonen justru mengaku bahwa polisi tidak akan mengurusi kasus ini karena kurangnya bukti. Dari keterangan Robert jelas terbuki keterangan pelapor memang selalu berubah sejak awal," imbuh Patra.
BACA JUGA: Ini Penyebab Bentrok di Mako Brimob Kepri
Dalam kesaksiannya, lanjut Patra, Robert mengaku melihat Ibu Pipit mengarahkan anaknya, MAK, sebelum proses penyidikan polisi. Sedangkan si anak tidak terlihat trauma ketika mendatangi toilet tempat diduga terjadi perkara.
Robert juga menyebutkan bahwa toilet anggrek, yang diduga jadi tempat kejadian perkara, merupakan lokasi yang ramai dengan aktivitas anak-anak. Di depan toilet banyak kursi tempat anak-anak dan orangtua mereka makan snack di waktu istirahat.
BACA JUGA: Jubir Kemendagri Akui KPK Ciduk Sesditjen Dukcapil
Karena itu, menurut Patra, hingga persidangan ke-16 ini tidak ada bukti maupun kesaksian yang menjelaskan sodomi ini terjadi. Kesaksian yang diperoleh dalam persidangan justru semakin memperkuat dugaan bahwa kasus pekerja kebersihan ini sarat unsur rekayasa.
Sementara, ahli mikrobiologi, Profesor Kevin Beird dalam keterangannya di persidangan, masih menurut Patra, menegaskan bahwa MAK tidak mengalami penyakit seksual menular.
Menurut Patra, dalam sidang yang berlangsung tertutup itu, Profesor di Departemen Kedokteran Nuffield, Universitas Oxford di Inggris Raya itu telah meniliti hasil lab atas MAK yang diambil oleh Klinik SOS pada 22 Maret 2014.
Sesuai hasil lab, MAK dinyatakan terbukti tidak terkena infeksi penyakit seksual menular, termasuk herpes simplex 2 (HSV2). Sementara hasil pemeriksaan medis polisi atas keempat terdakwa di berkas kejaksaan menyatakan mereka terinfeksi HSV2.
HSV2 adalah virus yang sering menginfeksi manusia, biasanya menular secara seksual dan melalui jaringan kelamin atau anus. Banyak studi menunjukkan bahwa diantara 15-25% dari populasi orang dewasa yang melakukan hubungan seksual secara aktif (bukan pekerja seks) di Jakarta, Indonesia terjangkit virus HSV 2.
“Melihat kenyataan bahwa MAK terlihat sangat sehat dengan serangkaian tes fisik dan laboratorium yang menyeluruh untuk infeksi menular seksual, Prof Kevin memastikan bahwa kekerasan seksual itu tidak mungkin terjadi. Ahli tersebut juga menegaskan, dengan frekuensi sodomi yang katanya 13 kali, mustahil jika korban tidak terkena infeksi tersebut,” ujar Patra.
Patra mengatakan, berdasar keterangan Prof Kevin, secara medis bila anak diduga mengalami sodomi maka pengujian akan dilakukan untuk menemukan penyakit Gonorrhea (GO). Penyakit inilah yang dapat menyebabkan infeksi atau nanah. Sementara herpes tidak dapat menyebabkan proctitus dengan nanah. Dalam kasus MAK, sesuai hasil lab SOS Medika yang ditemukan adalah infeksi akibat protozoan. Itu sebabnya resep yang diberikan oleh dokter adalah Flagyl.
“Prof Kevin menegaskan, infeksi protozoan seperti dialami MAK itu paling mungkin akibat makanan atau air yang terkontaminasi. Di Jakarta penyakit ini sangat umum terjadi. Itu bukanlah bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Itu adalah bakteri umum atau normal.” tandas Patra menceritakan kesaksian Kevin di persidangan. (rl/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Data Verval Bukan Dasar Pengangkatan Honorer K2
Redaktur : Tim Redaksi