jpnn.com, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyikapi pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini tengah dibahas.
Hal itu disampaikan peneliti ICJR Iftitahsari saat mengisi diskusi bertajuk bertajuk RUU KUHP Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3).
BACA JUGA: Dulu Pimpin Demo Tolak RUU KUHP, Eks Ketua BEM UI Bakal Maju Sebagai Caleg DPRD DKI
Diskusi tersebut turut dihadiri sejumlah narasumber ahli di bidang hukum, di antaranya Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan, dan Pakar Hukum Margarito Kamis.peradi
Iftitahsari meminta pembahasan mengenai Revisi KUHAP tak hanya berkutat pada narasi polarisasi tentang diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.
BACA JUGA: PBB Soroti Aturan di RUU KUHP, Pimpinan DPR Singgung Upaya Sosialisasi
Sebab, menurutnya, publik harus waspada terhadap adanya kepentingan terselubung dari para lembaga penegak hukum yang ingin memperluas kewenangannya khususnya melalui Revisi KUHAP dengan melemparkan narasi tentang penguatan asas dominus litis bagi pihak tertentu.
"Selama ini diskusi mengenai Revisi KUHAP selalu ada polarisasi antara asas diferensiasi fungsional dan asas dominus litis, dan kita jangan sampai terjebak di narasi yang itu sebetulnya kepentingan-kepentingan lembaga tertentu yang tujuannya ingin memperbesar kewenangan," kata Iftitahsari.
BACA JUGA: Kominfo Libatkan Akademisi di Palu untuk Sosialisasikan RUU KUHP
Menurut dia yang terpenting dalam Revisi KUHAP nantinya tak boleh ada kewenangan powerful yang dimiliki satu lembaga.
Karenanya, dia menyebut pengawasan antar lembaga mutlak diperlukan.
"Kan, tadi sudah disampaikan yang penting ada balancing pemenuhan HAM dan juga akuntabilitas. Jangan sampai ada kesewenangan," tuturnya.
Sementara itu, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menyebut bagaimana para lembaga penegak hukum saling berlomba untuk memperkuat kewenangan mereka melalui Revisi KUHAP ini.
"Mereka berlomba-lomba menambah kewenangannya masing-masing. Namun poin yg harus disepakati adalah bahwa Polri adalah penyidik utama tidak bisa diganggu, demikian Jaksa adalah penuntut tidak bisa diganggu," kata Luhut.
"Dengan kata lain ini ada benturan antara diferensiasi fungsional yang dipertahankan polri dan asas dominus litis yang diperjuangkan kejaksaan," sambung dia.
Pernyataan tersebut turut diperkuat oleh Wakil Ketua Komnas HAM, AH Semendawai. Ia mengingatkan bahwa semakin besar kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki suatu lembaga maka akan memperbesar peluang adanya korupsi di dalamnya.
"Jadi, harus tetap ada balancing, bagaimana harus ada keseimbangan di dalam proses pidana ini.
"Jadi, kalau sepenuhnya kepada satu lembaga misalnya tanpa ada pengawasan yang lain, ini kan kalau dia enggak jalan kan berarti berhenti tuh kasusnya, jadi bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan," paparnya.
Semendawai kemudian mengevaluasi kondisi peradilan pidana di Indonesia saat ini, dimana proses penuntutan sepenuhnya merupakan kewenangan kejaksaan.
"Masalahnya kalau ternyata jaksa tidak melakukan penuntutan suatu perkara sementara publik merasa harusnya dituntut, nah itu bagaimana kan harus ada solusinya. Kalau tidak ada solusi maka publik akan menganggap mereka tidak bisa mendapat keadilan," jelasnya.
Oleh karena itu, Semendawai berharap diferensiasi fungsional dan asas dominus litis dikembalikan pada fungsi seharusnya.
"Tujuan sistem peradilan pidana ini kan untuk memproses pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Terlepas siapa yang punya peran itu kan tinggal bagi-bagi saja tetapi harus diawasi agar kewenangan itu tidak hanya diserahkan kepada satu lembaga supaya tidak disalahgunakan," paparnya.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa dalam sistem pidana di Indonesia, jaksa bukan berada di posisi mewakili korban.
"Jaksa itu sebetulnya tidak mewakili korban tetapi dia mewakili Undang-Undang, dia mewakili norma yang ada. Sehingga dengan standar itu perlakuan terhadap korban tidak seimbang dengan perlakuan terhadap terdakwa," ujarnya.
Padahal, kata dia, yang harus ditekankan yakni mengenai peran jaksa dalam memberikan hak yang sama kepada korban dan terdakwa.
Menurutnya, yang masih jadi sorotan dalam sitem pidana di Indonesia yakni bagaimana mewujudkan sistem pidana yang terpadu.
"Sementara dalam praktiknya itu banyak perkara adanya penundaan peradilan karena bolak-baliknya berkas antara polisi dan kejaksaan," kata dia.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyebut penerapan asas dominus litis pada Revisi KUHAP berpotensi memonopoli kewenangan terhadap suatu lembaga.
Adapun salah satu hal yang paling jelas dalam penerapan asas dominus litis pada revisi KUHAP adalah kejaksaan bisa memiliki dominasi pada penyidikan dan penyelidikan.
"Tidak boleh ada lembaga negara mendominasi lembaga negara lain karena harus balancing," kata Margarito.
"Kalau ini dikembalikan ke jaksa yang bertugas maka menjadi tidak sehat. Itu jadi tidak sehat.
Dari segi hukum, gagasan, kalau ada satu lembaga memonopoli kewenangan, itu sudah tidak sehat itu. Demokrasi itu menghendaki keseimbangan," sambungnya.
Margarito berharap konsep penyusunan revisi UU Kejaksaan dan KUHAP bisa melihat pada keseimbangan kewenangan antar lembaga.
"Menurut saya, kalau kita mau sehat, diseimbangkan, program-program itu diseimbangkan. Pokoknya tidak boleh monopolistik, diseimbangkan antar lembaga," ujar dia. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolres Cianjur: Kami Akan Tempatkan Penembak Jitu di Titik Jalur Mudik
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti