jpnn.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelaah rekaman percakapan per telepon antara Menteri BUMN Rini Soemarno dengan Direktur Utama PLN Sofyan Basir. Menurut peneliti ICW Firdaus Ilyas, ada indikasi konflik kepentingan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara dalam perbincangan yang menyeret Pertamina dan PLN itu.
Firdaus mengatakan, isi percakapan antara Rini dan Sofyan diduga mengenai pembagian saham (share) dalam proyek regasifikasi dan terminal LNG di Bojonegara, Banten. Ada dua nama tokoh yang muncul dalam pembicaraan itu, yakni Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Ari yang diduga Ari Soemarno.
BACA JUGA: Sepertinya Ini Sosok Pak Ari dalam Percakapan Rini-Sofyan
"Dalam percakapan telepon tersebut juga disebut nama Ari yang diduga merupakan Ari Soemarno yang tidak lain adalah kakak Rini Soemarno. Nama lain yang disebut dalam percakapan adalah JK (Jusuf Kalla, red),” kata Firdaus, Selasa (1/5).
Sebagaimana terungkap dalam rekaman pembicaraan antara Rini dan Sofyan yang viral, ada penyebutan nama Ari. Bahkan, Sofyan menyebut kalimat 'small business untuk Pak Ari' dalam rekaman itu.
BACA JUGA: Sikap Tegas Jokowi Ditunggu Terkait Rekaman Rini-Sofyan
Firdaus menjelaskan, proyek regasifikasi dan terminal LNG digagas oleh Kalla Group melalui anak usahanya, yaitu PT Bumi Sarana Migas (BSM) yang sejak 2013 sudah ditawarkan kepada PT Pertamina.
Dia menambahkan PT BSM berencana membangun terminal penerimaan dan regasifikasi gas alam cair berkapasitas 500 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau kurang lebih 4 juta ton.
BACA JUGA: Siapa Pak Ari yang Dimaksud Rini Soemarno dan Dirut PLN?
Investasi proyek ini diperkirakan akan menghabiskan anggaran Rp 10 triliun yang dibiayai oleh BSM, Pertamina, dan pinjaman dari Jepang. "Nantinya PLN dan Pertamina akan berlaku sebagai pembeli (off-taker) dari proyek gas tersebut," ujarnya.
Firdaus mengatakan, walaupun proyek belum berjalan tetapi kecurigaan publik sudah muncul dengan bocornya pembicaraan antara Rini dan Sofyan. Ada indikasi politik rente menyeruak, terlebih lagi dengan adanya dugaan keterlibatan kerabat di dalamnya.
Menurut Firdaus, publik masih belum lupa pada mencuatnya kasus rekaman “Papa Minta Saham" PT Freeport Indonesia pada pertengahan Desember 2015 yang diduga melibatkan Setya Novanto. Sayangnya hingga kini tidak ada kejelasan proses penanganan kasus tersebut.
Selain itu, ada pula dugaan kongkalikong dalam kegiatan penyediaan migas untuk Pertamina oleh Petral yang kini terkesan menguap tidak jelas rimbanya. Karena itu dugaan tentang praktik menjadikan BUMN sebagai sapi perahan, ajang mencari proyek, dan keuntungan pribadi atau golongan bukanlah hal baru.
"Tetapi sayangnya hingga kini belum terlihat langkah tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum," ungkap Firdaus.
Menurut dia, keinginan menjadikan BUMN steril dari intervensi kepentingan dan politik rente tampaknya masih sekadar mimpi, terutama pada BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak. Misalnya Pertamina dan PLN.
Karena itu, ICW meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kementerian BUMN, direksi PLN dan Pertamina menyampakkan klarifikasi soal itu. ICW juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit khusus atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap proyek strategis di PLN dan Pertamina, khususnya yang terkait dengan penyediaan energi primer dan pembangkitan listrik.
"Serta juga kontrak dan kerja sama dengan pihak lain yang berindikasi konflik kepentingan, memberatkan keuangan negara serta tidak memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat banyak," papar Firdaus.
Terakhir, ICW meminta KPK melakukan telaah dan penyelidikan terkait indikasi pargulipat dalam peoyek itu. "Hal ini bisa dimulai dari kerja sama dan proyek penyedian sarana dan prasarana migas, pembangunan pembangkit listrik, serta pembelian listrik dan bahan bakar dari swasta," tuntas Firdaus.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jubir Tekomsel soal Kemungkinan Rini Soemarno Disadap
Redaktur : Tim Redaksi