ICW: Pak Jokowi dan Bu Risma Sama-Sama Tak Punya Etika Publik

Kamis, 24 Desember 2020 – 13:41 WIB
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat diperkenalkan sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Joko Widodo di beranda Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1). Foto: ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai Presiden Joko Widodo dan Menteri Sosial Tri Rismaharini sama-sama tak punya etika publik.

Pasalnya, pengangkatan Risma sebagai menteri memiliki problematika lantaran masih menjabat sebagai Wali Kota Surabaya.

BACA JUGA: Hari Pertama di Kemensos, Begini Seruan Bu Mensos Tri Rismaharini

Rangkap jabatan juga diakui oleh Risma telah mendapat izin Presiden Jokowi.

"Lewat pengakuan Risma, bisa terlihat inkompetensi dan tidak berpegangnya dua pejabat publik pada prinsip etika publik. Yang pertama adalah Risma sendiri, kedua adalah Presiden RI Joko Widodo," kata Egi dalam keterangan yang diterima, Kamis (24/12).

BACA JUGA: Tudingan ICW ke Polri Dinilai Mengada-ada dan Tak Rasional

Menurut Egi, pejabat publik semestinya memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi kepada kepentingan publik.

Apalagi, pejabat itu sekelas presiden dan wali kota dengan prestasi yang disebut-sebut mentereng.

BACA JUGA: Penjelasan Dirjen Otda soal Jabatan Bu Risma, Oh Ternyata

Egi menyebut terdapat dua undang-undang yang dilanggar dengan rangkap jabatannya Risma.

Pertama, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Dalam Pasal 76 huruf h, secara tegas memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.

"Kedua, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 huruf a UU Kementerian Negara mengatur bahwa menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya," ujarnya.

Merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menteri dan wali kota disebut sebagai pejabat negara.

"Ini menunjukkan bahwa baik dalam kapasitasnya sebagai wali kota atau menteri, posisi Risma bertentangan dengan dua UU tersebut," kata dia.

Menurut Egi, keputusan Presiden Jokowi untuk membiarkan pejabat publik rangkap jabatan juga jelas bermasalah.

Perintah undang-undang tidak bisa dikesampingkan oleh izin presiden, apalagi hanya sebatas izin secara lisan.

"Pengangkatan Risma sebagai menteri tanpa menanggalkan posisi wali kota bisa dinilai cacat hukum," tegas dia.

Fenomena rangkap jabatan bukan hanya terjadi pada saat pemilihan menteri baru.

Sebelumnya, Ombudsman telah menemukan praktik serupa di tubuh BUMN.

Namun, Jokowi bergeming. Bahkan kondisi tersebut dinormalisasi oleh mantan Wali Kota Solo tersebut.

"Penting untuk ditekankan, menormalisasi praktik rangkap jabatan sama dengan menormalisasi sesuatu yang dapat berujung pada perilaku koruptif. Sebab, rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan sebuah kebijakan," ujar Egi.

Dia melanjutkan, izin rangkap jabatan yang diberikan Presiden Jokowi kepada Risma makin menunjukkan praktik permisif terhadap praktik koruptif.

Terlebih, keputusan tersebut melanggar UU, dan mengikis nilai etika publik yang hidup di tengah masyarakat.

"Oleh karena itu, ICW mendesak Risma untuk mundur dari salah satu jabatannya. Jika Risma tak segera mengundurkan diri, maka ia tidak layak menduduki posisi pejabat publik apa pun. Perhatian publik juga perlu ditujukan pada Presiden RI yang memberi izin pada Risma untuk rangkap jabatan," pungkas Egi. (tan/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler