ICW Yakin Jaksa Fauzi tak Bermain Sendiri

Sabtu, 26 November 2016 – 05:15 WIB
JAKSA PEMERAS: Ahmad Fauzi, jaksa penyidik di Bidang Pidana Khusus Kejati Jatim ditangkap usai melakukan pemerasan terkait dengan perkar korupsi yang diusutnya. Dari tangannya, petugas menyita barang bukti berupa satu buah koper berisi uang tunai sebesar Rp 1,5 miliar. Foto: GALIH COKRO/JAWA POS. Foto: Galihcokro/JAWA POS

jpnn.com - JAKARTA – Jaksa Agung M. Prasetyo sudah memastikan bahwa jaksa Ahmad Fauzi hanya seorang diri memeras pihak beperkara.

Padahal, penyidikan kasus korupsi tidak mungkin dilakukan seorang jaksa saja. Terlebih, pemeriksaan juga belum dilakukan.

BACA JUGA: Ketentuan Kekuasaan Kehakiman di UUD 1945 Perlu Aturan Pelengkap

Biasanya minimal ada lima jaksa yang dilibatkan menyidik kasus korupsi.

Bahkan, tidak jarang sampai ada belasan jaksa yang dilibatkan jika kasusnya besar.

BACA JUGA: Cuman Bawa Tongkat, gak Mungkin Makar

Nah, mungkinkah Fauzi seorang diri bisa mengubah ”nasib” seseorang dalam kasus yang ditangani satu tim itu?

”Nilainya besar. Tidak mungkin dia (Fauzi, Red) bermain sendiri,” tegas peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri kemarin (25/11).

BACA JUGA: Bukan soal Agama, tapi karena Ahok Sulit Jaga Mulutnya

Seperti diberitakan, jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) Ahmad Fauzi ditangkap tim Kejaksaan Agung (Kejagung) setelah memeras pihak beperkara.

Dari tangannya disita uang Rp 1,5 miliar yang dimasukkan ke koper hitam.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa uang itu merupakan hasil pemerasan tahap kedua.

Tahap pertama –juga senilai Rp 1,5 miliar– telah diserahkan beberapa waktu sebelumnya.

Di sela-sela rapat kerja Kejagung di Bogor Kamis (24/11), Jaksa Agung Prasetyo menyatakan bahwa Fauzi merupakan pelaku tunggal. Tidak ada jaksa lain yang terlibat.

Seperti apa sebenarnya kasus yang ditangani Fauzi dan tim Kejati Jatim yang berujung pemerasan tersebut? Inilah kasusnya.

Uang Rp 1,5 miliar di tangan Fauzi itu dimaksudkan untuk menyelamatkan Abdul Manaf agar tidak sampai ditetapkan sebagai tersangka.

Statusnya tetap saksi meski sebenarnya cukup bukti menjadikan dia tersangka korupsi.

Pengusaha asal Sumenep tersebut adalah pembeli bekas tanah kas desa yang dijual Muharmin, kepala Desa Kalimook, Kecamatan Kalianget, Sumenep.

Muharmin sudah menjadi tersangka dan ditahan bersama mantan Kasi Survei Pengukuran dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumenep Wahyu Sudjoko.  

Nah, mungkinkah Fauzi seorang diri bisa menyelamatkan Manaf?

Padahal, dalam sebuah tim, Fauzi tidak memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan nasib saksi dalam sebuah penyidikan.

Menetapkan atau tidak menetapkan saksi menjadi tersangka harus melewati rapat tim penyidik yang disebut gelar perkara. Gelar tersebut juga dihadiri atasan penyidik.

Bahkan, atasan itu ikut menjadi penentu arah penyidikan. Tidak jarang gelar perkara dilakukan berkali-kali sebelum memutuskan saksi menjadi tersangka.

Ada dugaan kuat, duit tersebut memang tidak diberikan untuk Fauzi seorang. Tapi juga dibagikan kepada yang lain.

Alasan itu juga yang membuat klaim Prasetyo bahwa suap tersebut inisiatif Fauzi pribadi menjadi lemah.

Justru malah dianggap sebagai upaya agar kasus itu tidak merembet ke level di atasnya.  

Apalagi, dalam kasus penjualan tanah kas desa tersebut, Manaf sudah diperiksa berkali-kali. Sampai saat ini, dalam kasus itu, statusnya masih saksi.

Berbeda dengan Murhaimin dan Wahyu yang sudah menjadi tersangka dan ditahan sejak 4 Oktober 2016.

Febri Hendri mengkritik Prasetyo yang terburu-buru menyatakan bahwa kelakuan memeras tersebut inisiatif Fauzi sendiri.

Menurut Febri, jaksa agung hanya ingin memagari dan berusaha melokalisasi kasus itu agar tidak menyeret pejabat Kejati Jatim atasan Fauzi.

Padahal, kata Febri, tidak tertutup kemungkinan atasan Fauzi terlibat. Baik itu pejabat yang langsung di atasnya maupun justru pucuk pimpinan Kejati Jatim.

Apalagi, Fauzi hanya jaksa biasa yang tidak mungkin bermain sendiri. Dia tidak punya kewenangan untuk memutuskan kebijakan. Selain itu, perkara surat tanah tersebut ditangani tim, bukan Fauzi sendiri.

”Jaksa Agung jangan terburu-buru menyebut pelakunya tunggal. Didalami dulu untuk mencari keterlibatan pihak lain,” tutur dia.

Apalagi, informasinya, Fauzi sudah pernah menerima uang suap. Kabarnya, uang itu sudah mengalir ke beberapa orang. Artinya, ada indikasi banyak pejabat kejaksaan yang terlibat.

Menurut Febri, penanganan kasus tersebut harus transparan. Jangan sampai ada pejabat yang dilindungi dengan mengorbankan jaksa biasa.

Semua yang terlibat, baik atasan Fauzi maupun pucuk pimpinan Kejati Jatim, harus ditindak tegas. Selama ini Fauzi dikenal dekat dan menjadi kepercayaan petinggi Kejati Jatim.

Emerson Yuntho, peneliti ICW lainnya, menyatakan, tindakan suap yang dilakukan jaksa tidak sekali ini saja terjadi.

Sudah beberapa kali jaksa tertangkap menerima suap. ”Artinya, fungsi pengawasannya tidak berjalan,” cetus dia kemarin.

Selain jaksa yang melakukan pelanggaran ditindak, menurut Emerson, Jaksa Agung Prasetyo harus diganti.

”Agar jaksa yang ditangkap tidak semakin banyak, jaksa agung sudah saatnya diganti,” tegasnya.

Presiden Joko Widodo tidak boleh segan-segan mencopot Prasetyo. Menurut dia, kejaksaan butuh reformasi total.

Jika jaksa agung tidak diganti, sulit rasanya berharap kejaksaan bisa bersih dari kepentingan politik.

Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi sama sekali tidak kaget dengan ketertutupan Kejagung. Menurut dia, kejaksaan selama ini memang tidak transparan dalam bekerja.

”Ya, mereka ini tidak pernah terbuka,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Hendardi menjelaskan, persoalan adanya oknum yang terlibat kasus korupsi atau pemerasan itu biasanya ditutup-tutupi.

Sebab, kejaksaan sudah lama dikenal sangat melindungi korpsnya.

”Bila dibandingkan dengan kepolisian, sangat jauh transparansinya dan progres dalam keterbukaan publiknya,” ungkap dia.

Bila oknum jaksa itu mendapatkan sanksi, Kejagung biasanya tidak menampilkannya ke publik. ”Mereka diam dan diselesaikan secara internal,” ungkap aktivis HAM tersebut.

Hendardi menambahkan, pengungkapan kasus pungli atau korupsi di Kejagung memang minim. Namun, hal itu tidak berarti lembaganya bersih.

Memang Kejagung tidak berniat memberantas pungli. ”Soal angka, kasus pungli di kepolisian lebih banyak dan Kejagung sangat sedikit. Tapi, itu tidak menunjukkan bahwa Kejagung lebih bersih, tapi justru tidak memiliki niat membersihkan diri dari pungli,” tukasnya.

Yang lebih ironis adalah hampir semua lembaga pengawas internal dan eksternal kejaksaan juga tidak berjalan.

Apa komentar pihak kejaksaan? Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) M. Rum, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad, dan Kepala Subdirektorat Jampidsus Yulianto serempak tutup mulut. Mereka beralasan Fauzi masih diperiksa.

Sekitar pukul 13.00 kemarin, setelah salat Jumat, Yulianto berjalan terburu-buru.

Saat dihampiri Jawa Pos untuk ditanya perkembangan pemeriksaan jaksa nakal Fauzi, Yulianto tidak seterbuka sebelumnya. ”Wah, itu tanya ke pimpinan ya,” elaknya seraya langsung masuk ke mobilnya.

Tidak berapa lama kemudian, M. Rum dan Noor Rachmad tampak berjalan menuju kantornya.

Saat ditanya soal kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat dalam pemerasan tersebut, Noor mengatakan bahwa penangkapan jaksa itu bukan kewenangannya. ”Ya, semua masih didalami,” ucapnya didampingi Rum.

Tapi, apa mungkin penetapan seseorang menjadi tersangka hanya dilakukan seorang jaksa?

Noor mengaku belum bisa menjawab. ”Tunggulah, pemeriksaan dulu,” kilahnya. (rul/idr/lum/tyo/c9/nw)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wakapolri Anggap Tuntutan Aksi 212 Sudah Dipenuhi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler