Hal tersebut setidaknya sebagaimana yang diutarakan Indra J Piliang, salah seorang pembicara dalam acara Diskusi dan Peluncuran Buku 'Adat dalam Politik Indonesia', yang ditaja Yayasan Pustaka Obor Indonesia, di Gedung YTKI, Jakarta, Rabu (10/11)
BACA JUGA: Negara-negara G20 Diusulkan Boikot Koruptor
Menurut Indra pula, bukti untuk itu bisa dilihat dengan mudah dalam pemilu legislatif lalu"Saya yakin kalau banyak di antara yang memberikan suaranya untuk saya dalam pileg lalu (sebagai calon anggota DPR RI dari Partai Golkar di Sumatera Barat, Red), salah satunya adalah (warga pemilih) dari suku Piliang
BACA JUGA: PDIP: Mega Hadir Sebagai Mantan Presiden
Meskipun kita tak bisa tahu berapa jumlahnya, tapi pastinya cukup banyak, karena suku Piliang sendiri bisa disebut satu dari empat suku besar/awal di Minangkabau," tuturnya."Atau sebutlah misalnya, kenapa Anas Urbaningrum yang asal Jawa Timur yang dipilih (memimpin Demokrat), dan bukannya Andi Mallarangeng yang orang Makassar, atau Marzuki Alie yang dari Palembang misalnya
BACA JUGA: BNN: Alat Sadap PPATK Kurang Canggih
Pertimbangan-pertimbangan seperti itu tentu ada (dalam benak pemilih)Dana atau uang mungkin penting, tapi tidak semata-mata itu saja (faktornya)," tambah Indra.Kendati demikian, walau identitas-identitas semacam itu kerapkali terbukti menyeruak ke permukaan sebagai sesuatu yang penting, Indra menyebut bahwa dirinya kurang setuju kalau harus ada semacam negosiasi atau penawaran posisi-posisi tertentu untuk kalangan adat, dalam dunia perpolitikan Indonesia saat iniHal itu ia utarakan demi menanggapi komentar salah seorang hadirin yang bertanya, apakah perlu hal semacam janji-janji Presiden Soekarno kala mendekati kerajaan-kerajaan di Nusantara misalnya, diangkat dan dibicarakan lagi.
"Rasanya saya kurang sependapat (untuk itu)Karena pada dasarnya sekarang ini demokrasi sudah berjalan, dan itu bagusTrias politika itu jalanAda eksekutif, legislatif, yudikatifKalau diberikan posisi-posisi lagi (untuk adat tertentu), maka monarki akan naik lagiSekarang ini kan, (pola-pola) monarki memang masih ada, tapi hanya (bisa) bermain di dalam bungkusan demokrasi," paparnya.
Terlepas dari itu, Indra kembali menekankan bahwa pada dasarnya elemen adat tetap penting, serta bahkan bisa lebih esensil dan berperan ke depannya, terutama dalam kasus-kasus khususIa pun memberi contoh, dalam penyelesaian masalah Papua misalnya"Saya pikir, ke depannya untuk masalah Papua, pemerintah tak bisa tidak, harus memperhatikan elemen (ruang lingkup) adat dalam penyelesaiannyaJadi, tidak semata katakanlah bicara soal NKRI, perekonomian, atau (berpegang pada) status otonomi khusus misalnya," katanya.
Satu hal yang cukup menarik dari acara diskusi buku yang aslinya terbitan luar negeri itu, adalah adanya keluhan dari salah seorang personil Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terkait kesimpulan umum dan tidak akuratnya penulisan salah satu bab yang membicarakan soal masyarakat Dayak di Kalimantan BaratDisebutkan, tulisan itu bahkan dianggap telah memberikan imej jelek pada elemen masyarakat setempat, serta berpotensi menyesatkan.
Menanggapi keluhan itu, Sandra Moniaga, pembicara diskusi lainnya yang juga adalah salah seorang editor dari buku berisikan kumpulan tulisan tersebut, hanya bisa menyarankan adanya tulisan counter (balasan)Ini katanya, akan lebih baik dan efektif, apabila juga disajikan dengan bukti-bukti serta ditulis secara ilmiah, ketimbang misalnya dengan memboikot apalagi 'memusuhi' penulisnya.
Sementara itu, pada bagian akhir, Edisius Riyadi selaku moderator diskusi, mengulas ulang beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari pembicaraan siang ituSalah satunya menurutnya, adalah berupa pertanyaan kembali kepada para penggiat keberadaan masyarakat adat, akan menempatkan seperti apa "adat" itu sendiri dalam tatanan kehidupan sehari-hariApakah sekadar konsep atau pemikiran, ataukah sesuatu yang dapat hidup dan berkembang secara dinamis dalam perjalanan bangsa ini? (ito/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gayus Kabur, Polisi Bantah Panik
Redaktur : Tim Redaksi