jpnn.com - Beberapa hari ini ruang publik kita dikejutkan atas keputusan Majelis Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia yang membuat rekomendasi pemecatan keanggotaan Prof. Dr. Dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K) dari keanggotaan IDI.
Surat rekomendasi itu membuat geger karena dibacakan dalam Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh.
BACA JUGA: IDI Pecat Dokter Terawan, PDIP Dorong Komisi IX DPR Turun Tangan
Beberapa hal yang menjadi alasan MKEK adalah dr Terawan Agus Putranto melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang Vaksin Nusantara sebelum penelitian selesai.
Kedua, yang bersangkutan bertindak sebagai Ketua dari Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) yang dibentuk tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan tata laksana dan organisasi IDI.
BACA JUGA: 2 Kali Cuci Otak dengan Dokter Terawan, Dahlan Iskan Memberi Kesaksian
Ketiga, mengeluarkan instruksi kepada seluruh Ketua cabang dan Anggota PDSRKI di seluruh Indonesia agar tidak merespons ataupun menghadiri acara PB IDI.
Keempat, dr Terawan Agus Putranto telah mengajukan permohonan perpindahan keanggotaan dari IDI Cabang Jakarta Pusat ke IDI Cabang Jakarta Barat yang salah satu syaratnya adalah mengisi form mutasi keanggotaan.
BACA JUGA: Kiai Maman Kritik Keputusan IDI Memecat Dokter Terawan
Selain itu, dr Terawan telah melakukan promosi metode Digital Subtraction Angiography (DSA) atau yang lebih dikenal dengan terapi ‘cuci otak’. Menurut MKEK tindakan promotif itu seharusnya belum boleh dilakukan sebelum uji klinis selesai.
Jika kita lacak lebih ke belakang, rekomendasi pemberhentian sementara keanggotaan dr Terawan Agus Putranto di IDI pernah dilakukan apda tahun 2018, tepatnya rentang 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.
Mungkin akibat keputusan ini pula hubungan dr Terawan Agus Putranto saat menjabat sebagai Menteri Kesehatan dengan PB IDI terus menegang. Situasi ini tentu tidak produktif di tengah upaya kita berperang melawan pandemi Covid-19 dan berbagai gangguan kesehatan rakyat lainnya.
Jumlah dokter dan tenaga kesehatan kita sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita di ASEAN. Rasio dokter kita tahun 2020 terendah kedua di ASEAN, yakni 0,4 per 1000 pasien, jumlah perawat 2,1 per 1000 pasien.
Padahal negara negara yang ekonomi nya dibawah kita seperti Timor Leste, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, jumlah dokternya sudah di atas 0,5 dokter per 1.000 pasien. Bahkan Tiongkok yang jumlah penduduknya jauh diatas kita, jumlah dokternya 2 per 1000 pasien. Situasi ini sungguh memalukan bila kita jadikan cermin.
Saya mengajak agar melihat kepentingan strategis yang lebih besar, yakni kepentingan kesehatan nasional kita. Dengan sama-sama melihat kepentingan lebih besar, yakni kepentingan nasional kita, energi yang ada dapat kita alokasikan untuk menopang kepentingan lebih besar tersebut. Jika merujuk pada ketentuan Undang Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, peran Konsil Kedokteran Indonesia sangat besar.
Pasal 29 Undang Undang No 29 tahun 2004 mengatur bahwa setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran wajib memiliki surat tanda registrasi dokter yang dikeluarkan oleh konsil kedokteran Indonesia. Bahkan sesuai pasal 56 tentang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggungjawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.
Mengacu pada ketentuan ini, saya berharap Konsil Kedokteran Indonesia proaktif membantu menyelesaikan persoalan ini dengan win win solution.
Saya berharap para pihak, dalam hal ini dr Terawan Agus Putranto, PB IDI, Konsil Kedokteran Indonesia dan Menteri Kesehatan untuk melakukan langkah langkah yang produktif, antara lain.
Diprakarsai dan dimotori oleh Menteri Kesehatan, para pihak di atas, termasuk Konsil Kedokteran Indonesia membangun dialog produktif dan tidak mengedepankan keputusan legal formal semata tanpa upaya upaya dialog yang produktif dan bekelanjutan.
Dengan melihat pertimbangan strategis yang lebih besar, yaitu pembangunan kesehatan nasional, dimana kita membutuhkan dokter profesional, inovatif, dan produktif.
Saya berkeyakinan para dokter adalah insan yang murah hati, kepala jernih, dan tidak tercemar berbagai kepentingan luar.
Oleh sebab itu, tanpa bermaksud mencampuri otoritas MKEK, saya mengimbau dengan kebesaran hati untuk meninjau kembali rekomendasi pemecatan keanggotaan dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.
Menteri Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, PB IDI kiranya dapat memfasilitasi langkah dr Terawan Agus Putranto dalam upaya medis untuk mempromosikan vaksin nusantara, dan metoda DSA agar bisa memenuhi kaidah kaidah klinis, yang sesuai dengan standar dan prosedur yang diatur oleh PB IDI dan Undang Undang Kesehatan.
Namun berbagai upaya tersebut harus tetap mempertimbangkan kepentingan kerahasiaan nasional agar upaya promosi tersebut merupakan karya medis dr Terawan Agus Putranto yang harus kita hargai dan bisa menopang kepentingan kesehatan kita.
Seluruh pemangku kepentingan pada sektor kesehatan agar selalu menciptakan suasana kondusif bagi berbagai upaya preventif, dan promotif oleh dokter dan tenaga kesehatan untuk memajukan standar dan pelayanan kesehatan nasional, sebab sektor kesehatan merupakan sektor dasar yang menopang Indeks Pembangunan Nasional.
Saya memahami bahwa sektor kesehatan terkait erat dengan kepentingan industri kesehatan, dan farmasi.
Saya juga melihat banyak dokter terafilisasi dengan berbagai kelompok politik dan organisasi kemasyarakatan. Saya berharap sebagai anggota apalagi pengurus IDI untuk selalu mengabdikan diri bagi pemajuan kesehatan nasional. Melepaskan diri dari berbagai kepentingan diluar medis dalam bertindak dan mengambil keputusan keputusan untuk tujuan pemajuan kesehatan nasional.
Sumbangan pemikiran ini kiranya dapat memotivasi para pihak berketad kuat mencari berbagai upaya produktif, yang solusi dan tidak saling mengalahkan.(****)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari