IHT Tertekan, Revisi PP 109 Dinilai Tak Relevan

Rabu, 21 April 2021 – 16:39 WIB
Petani tembakau (ilustrasi). Foto: Gazali/Radar Lombok

jpnn.com, YOGYAKARTA - Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) menilai revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tidak relevan di tengah ketatnya berbagai regulasi dan industri yang tertekan.

Ketua Pengurus Daerah FSP RTMM – SPSI Daerah Istimewa Yogyakarta Waljid Budi Lestarianto mengatakan, revisi PP 109/2012 akan membuat kinerja industri hasil tembakau semakin menurun.

BACA JUGA: IHT Terdampak Pandemi, GAPPRI Berharap Pemerintah Berikan Relaksasi Tarif Cukai

Rancangan revisi tersebut dikabarkan akan memuat aturan larangan iklan dan promosi rokok.

Aturan untuk membuat gambar peringatan berbahaya menjadi 90 persen dalam kemasan rokok juga bakal semakin merugikan industri secara menyeluruh.

BACA JUGA: Unfollow Akun Instagram Amanda Manopo, Istri Arya Saloka Diserang Warganet

Hal ini tentunya akan memberikan tekanan dan mengancam keberlangsungan usaha IHT.

"Aturan yang ada ada sekarang saja sudah berat, apalagi kalau kemudian akan direvisi dan kabarnya rencananya akan lebih ketat lagi," kata Waljid.

BACA JUGA: Menko PMK: Perokok dan Penjual Rokok di Lingkungan Sekolah Harus Disanksi

Bahkan, sampai 2019, jumlah pekerja IHT mengalami peurunan signifikan. Tekanan berlanjut seiring merebaknya pandemi COVID-19.

“Kalau ini terus menerus terjadi yang ada industri ini tidak tumbuh gitu," katanya.

Saat ini, sama seperti sektor lainnya, kondisi IHT sudah babak belur.

Kementerian Keuangan memperkirakan tahun 2021, produksi rokok akan turun antara 2,2%-3,3% sehingga menjadi 288 miliar batang.

Penurunan produksi ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif cukai rata-rata 12,5% mulai 1 Februari 2021.

Waljid menegaskan, jika revisi PP 109/2012 terus dipaksakan, maka sektor IHT bakal semakin terpuruk.

Tak hanya penurunan angka produksi, pengetatan aturan ini juga akan menyebabkan penurunan jumlah pekerja.

Hal ini semestinya menjadi perhatian serius mengingat IHT menjadi salah satu sektor padat karya di Indonesia.

Waljid menambahkan tujuan revisi PP 109/2012 untuk menurunkan tingkat konsumsi (prevalensi) merokok juga belum selaras dengan kenyataan di lapangan.

"Aturan yang saat ini ada bahkan belum diimplementasikan secara maksimal. Apabila fokus pengaturan IHT melulu pada regulasi tanpa diimbangi dengan sosialisasi kepada seluruh pihak, maka aturan tersebut hanya akan menjadi di atas kertas. Oleh karenanya, revisi PP 109/2012 menjadi tidak relevan," tukas Waljid.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 4 Kiat Menjaga Kesehatan Organ Reproduksi Pria


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler