IKADIN: UU Ketinggalan Zaman, Penagihan Utang Berbau Otoriter

Kamis, 19 September 2024 – 09:37 WIB
FGD IKADIN bertema "Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi" di Menteng, Jakarta, Rabu (18/9). Foto: IKADIN

jpnn.com, JAKARTA - Rangkaian IKADIN Legal Update ditutup dengan Focus Group Discussion (FGD) bertema "Mengungkap Misteri Piutang Negara melalui Pendekatan Multidimensi" di Menteng, Jakarta, Rabu (18/9).

Dalam diskusi ini, Ketua Umum DPP IKADIN, Dr. Maqdir Ismail menyoroti permasalahan penagihan piutang negara yang dinilai sudah ketinggalan zaman dan berbau otoriter.

BACA JUGA: Jangan Gagal Paham, Ini Aturan Perhitungan Utang Negara

Maqdir mengkritisi pelaksanaan penagihan utang negara yang sering kali merugikan masyarakat, terutama dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia menekankan adanya ketidakadilan dalam penegakan hukum terkait piutang negara.

"Masyarakat dituntut untuk taat pada hukum, tetapi di sisi lain pemerintah sering kali mengabaikan kewajiban mereka," ujar Maqdir, dalam keterangannya, Kamis (19/9).

BACA JUGA: Eksaminasi IKADIN: Pemblokiran Akses oleh Satgas BLBI Dinilai Menyimpang dari Hukum

Maqdir juga mengkritisi penggunaan aset jaminan yang tidak dihitung untuk mengurangi utang, serta penegakan hukum yang dirasakannya tidak adil bagi warga negara.

Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Makassar,  Dr. Rafael Tunggu menyuarakan kritik terkait kesewenang-wenangan pemerintah dalam menagih utang. Menurutnya, penggunaan instrumen hukum publik dalam penagihan utang menunjukkan penyalahgunaan wewenang.

BACA JUGA: IKADIN Kaji Penerapan Surat Paksa dalam Penagihan Piutang Negara

"Penilaian pelanggaran perjanjian seharusnya dilakukan di pengadilan, bukan oleh pemerintah," tegas Rafael. Hal ini menyoroti praktik yang dinilai melanggar asas pacta sund servanda dalam hukum perdata.

Dr. Dian Puji Simatupang dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menyoroti keusangan Perppu No. 49 Tahun 1960 yang menjadi dasar penagihan utang negara. Dia berpendapat bahwa regulasi ini sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum keuangan saat ini.

"Peraturan ini perlu direvisi agar sesuai dengan tata kelola modern dan mitigasi risiko yang lebih baik," jelas Dian.

Ia juga mengkritik Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2022 yang dianggap tidak mengikuti kaidah hukum administrasi.

Arsil, peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), menyoroti pelanggaran hak asasi manusia dalam Peraturan Pemerintah tersebut.

"Peraturan ini memungkinkan pemerintah untuk menagih secara sepihak tanpa adanya mekanisme banding," ujarnya.

Dia menekankan bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan due process of law, serta memberikan terlalu banyak kekuasaan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Suteki, juga mengingatkan pentingnya humanisme dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum. Ia mengibaratkan metode penagihan utang saat ini seperti tindakan debt collector yang tidak diawasi dengan baik.

"Pemerintah harus memprioritaskan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, bukan menimbulkan kesengsaraan," tegasnya.

Suteki juga mendorong penerapan restorative justice untuk menyelesaikan masalah utang secara adil bagi debitur. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler