jpnn.com, JAKARTA - Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) mengkaji penerapan surat paksa dalam penagihan piutang negara yang dinilai memiliki potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Wakil Ketua Umum DPP IKADIN Dr. Susilo Lestari, S.H., M.H., mengatakan bahwa surat paksa sebagai instrumen penagihan memiliki kekuatan hukum setara putusan pengadilan.
BACA JUGA: Eksaminasi Putusan PTUN, IKADIN Soroti Peran Kekuasan Kehakiman
"Penggunaan surat paksa bersifat parate executie karena menyematkan irah-irah, sehingga memiliki kekuatan hukum tetap," ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Menelusuri Kembali Legitimasi Surat Paksa sebagai Instrumen Penagihan Utang: Sebuah Otoritarianisme Terselubung" di Jakarta, baru-baru ini.
Namun, dia mengingatkan bahwa wewenang pemerintah yang luas dalam hal ini berisiko disalahgunakan.
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Dukung Kerja Satgas BLBI Tagih Piutang Negara
Kepala Research Center dari Indonesia Center for Tax Law, Universitas Gadjah Mada Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.A., M.Phil., menggarisbawahi perbedaan antara penagihan piutang negara dan pajak.
Menurutnya, dalam perpajakan, penagihan dilakukan setelah melalui proses hukum, berbeda dengan piutang negara yang bisa langsung diterbitkan surat paksa meskipun tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
BACA JUGA: Ikadin Berharap Para Capres Memprioritaskan Reformasi Hukum
Dia juga menyoroti bahwa biaya penagihan pajak diatur lebih ketat dibandingkan piutang negara.
Sementara itu, Dosen Hukum Perdata Universitas Brawijaya Dr. Djumikasih, S.H., M.H., menyatakan bahwa penagihan piutang negara dengan surat paksa merupakan penyimpangan dari prinsip hukum perdata.
Dia menilai pemerintah sering bertindak sebagai pihak dalam perjanjian perdata, tetapi menggunakan instrumen hukum publik.
"Dalam hukum perdata, pemerintah sekalipun harus diperlakukan setara dengan pihak-pihak lainnya, jika tidak, ini akan menimbulkan ketidakadilan," ujarnya.
Di sisi lain, Eko Riyadi, S.H., M.H., Ketua Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII), menekankan bahwa penggunaan surat paksa bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.
Menurutnya, penagihan piutang negara dengan surat paksa tidak bisa dibenarkan hanya karena alasan efisiensi dan efektivitas.
"Ini bukan solusi yang proporsional karena masalahnya lebih dekat dengan hukum perdata," tegasnya.
Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Alfeus Jebabun, S.H., M.H., juga menyoroti potensi penyalahgunaan surat paksa dalam penagihan piutang negara.
Menurutnya, instrumen ini bisa menjadi alat politik untuk memaksa pelunasan utang tanpa melalui proses hukum yang adil.
"Surat paksa sering digunakan sebagai ancaman untuk menekan pihak yang diklaim sebagai debitur," tambahnya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh