Ikhtiar NTB Mencegah Pernikahan Usia Anak

Selasa, 05 Desember 2017 – 07:12 WIB
Gubernur NTB Dr TGB H Muhammad Zainul Majdi. Foto for JPNN.com

jpnn.com, LOMBOK - Tahun 2017 ini tepat empat tahun kepemimpinan Gubernur NTB Dr TGB H Muhammad Zainul Majdi. Tahun ini juga, tepat 9 tahun TGB memegang tampuk kepemimpinan di NTB.

Di bawah kepemimpinan TGB-Badrul Munir (2008-2013) dan TGB-Amin (2013-2018) banyak prestasi telah ditorehkan. Berbagai persoalan yang menjadi “rapor merah” Nusa Tenggara Barat (NTB) bisa dituntaskan dengan bertahap.

BACA JUGA: 7 Langkah Agar Mudah Bangun Subuh

Salah satu masalah yang menjadikan NTB sebagai buah bibir di nasional adalah tingginya angka pernikahan usia dini. Jika menyebut pernikahan usia dini, orang akan menyebut NTB, khususnya Lombok.

Di Lombok memang ada tradisi merariq, seorang pria “melarikan” calon mempelai. Tapi dalam praktiknya banyak penyimpangan. Salah satunya “melarikan” anak di bawah umur. Tidak sedikit pelajar masih duduk di bangku SMP dan SMA “terpaksa” dinikahkan.

BACA JUGA: 5 Manfaat Meminum Teh Hijau di Pagi Hari

Mengatasi persoalan masih tingginya angka pernikahan usia dini ini tidak semudah membalik telapak tangan. Persoalan ini sudah menjadi budaya. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sendiri membolehkan menikah di usia 16 tahun, yang dalam kondisi sekarang masih berstatus pelajar.

Persoalan ekonomi, tingkat pendidikan orang tua dan anak, serta modernisasi menjadi tantangan untuk pencegahan perkawinan usia dini. Tapi, Pemerintah Provinsi NTB tetap berikhtiar untuk mencehah pernikahan usia dini.

Penyebab terjadinya pernikahan usia dini kompleks. Tidak hanya satu faktor saja. Di Pulau Lombok misalnya, ada praktik merariq. Ini yang dikenal dengan “kawin lari”.

BACA JUGA: Warga di Sini Paling Banyak Tekanan Darah Tinggi

Calon mempelai laki-laki membawa “lari” calon mempelai perempuan yang kadang masih di usia dini. Masih sekolah. Selain itu ada juga kebiasaan jika ada laki dan perempuan telat pulang rumah, mereka dipaksa untuk dinikahkan. Budaya kita juga masih memandang jika ada perempuan menikah usia lebih dewasa dianggap tidak laku.

Masalah lainnya juga terkait dengan regulasi nasional. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih membolehkan usia perkawinan 16 tahun. Padahal ini usia masih bersekolah. Pernah ada upaya yudicial review ke MK, tapi ditolak. Tentu saja ini tantangan kita secara regulasi mendorong agar usia pernikahan pertama itu dinaikkan.

Faktor kemiskinan juga menyebabkan orang tua lebih suka jika anak perempuan mereka menikah. Biar lepas tanggung jawab. Tapi dalam banyak kasus, justru angka perceraian itu didominasi pelaku pernikahan dini. Rendahnya pendidikan orang tua, termasuk si anak juga memacu angka pernikahan dini.

Provinsi NTB selangkah lebih maju dalam advokasi pendewasaan usia perkawinan. Gubernur sudah mengeluarkan edaran tentang pendewasaan usia perkawinan. Dalam Surat Edaran Gubernur NTB Nomor 180/1153/Kum Tahun 2014 itu disebutkan bahwa usia perkawinan ideal bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun.

Pertimbangannya usia ini tentu sudah tampat SMA. Program pendidikan 12 tahun bisa terpenuhi. Dari sisi kesiapan psikologis usia 21 tahun dianggap sudah siap. Pada usia ini juga kami menganggap calon mempelai sudah memiliki pekerjaan atau sedang bekerja sehingga jangan sampai pernikahan itu justru menambahkan jumlah keluarga miskin.

“Apa iya kita menganggap wajar anak kelas 1 SMA menikah. Menurut saya ini penyimpangan. Apakah itu masalahnya di orang tua, masyarakat, atau anak itu sendiri. Itu bukaan keadaan normal. Usia 18 tahun itu juga masih kelas III SMA, jadi bukan hal wajar menikah 18 tahun. Kalau kita membolehkan usia 18 tahun menikah, berarti itu masih dalam wajib belajar 18 tahun. Kita pakai common sense juga. Kita suruh orang belajar, tapi kita bolehkan menikah, berarti kita membuka legalitas di situ,’’ kata Gubernur NTB Dr TGB H Muhammad Zainul Majdi.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB Hj Hartina mengatakan, kebijakan tersebut disosialisasikan ke semua kabupaten hingga di desa-desa. Di desa-desa yang didatangi digelar rembuk warga, disepakati tentang usia 21 tahun itu.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB Hj Hartina. Foto for JPNN.com

“Tentu saja proses ini panjang dan masih terus kami laksanakan. Tahun 2017 ini kami menyasar 20 desa yang masih merah dalam pernikahan usia dini,’’ kata Hartina.

Angka kasus pernikahan usia dini di NTB memang masih tinggi.Tapi sudah ada progres yang bagus. Angkanya turun naik, misalnya pada tahun 2013 persentase perempuan yang melakukan perkawinan pertama usia 10-19 tahun sebesar 48,89 persen. Pada tahun 2014 naik menjadi 50,29 persen. Pada tahun 2015 turun menjadi 34,90 persen.

Menurut Hartina, jika melihat capaian rata-rata usia kawin pertama perempuan usia 10 tahun keatas, NTB sudah on the track. Dalam revisi RPJMD 2013-2018, pada 2013 ditargetkan usia kawin pertama perempuan diatas 10 tahun 19,88 tahun dan capaiannya 19,88 tahun. Pada tahun 2014 ditargetkan 20,09 tahun dan capaian 19,94 tahun. Pada tahun 2015 target NTB 20,25 tahun dan capaian 20,32 tahun. Tahun 2016 target NTB 20,50 tahun dan capaiannya 20,15 tahun.

“Tahun 2017 dan tahun 2018, Insya Allah kita optimis bisa mencapai sesuai yang ditargetkan dalam RPJMD. Dukungan semua pihak sangat kami harapkan,’’ kata Hartina. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kelly Tandiono Andalkan Masker Gula Campur Madu Murni


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler