Ikon-Ikon Seni Jogja setelah sang Maestro Berpulang (1)

Butet Tak Ingin seperti Keluarga Cak Nur

Kamis, 29 Januari 2009 – 01:52 WIB

Tidak banyak pusat latihan tari yang produktif menghasilkan penari dan karya koreografi di negeri iniDari yang sedikit itu, Padepokan Seni Bagong Kussudiardja bisa disebut yang paling moncer

BACA JUGA: Berebut Menggali Rezeki Emas di Negeri Dewi Sri Bombana (3-Habis)

Sepeninggal Bagong, bagaimana eksistensi padepokan ini?

ERWAN WIDYARTO, Jogja

BANGUNAN pendapa berlantai mengkilap berukuran sekitar 200 meter persegi sore itu (20/1) penuh dengan anak muda yang duduk lesehan
Suasana remang

BACA JUGA: Berebut Menggali Rezeki Emas di Negeri Dewi Sri Bombana (2)

Lampu penerang tak semua dinyalakan
Layar lebar dipampang menjadi fokus perhatian mereka.

Anak-anak muda itu adalah mahasiswa dari Akademi Arsitektur YKPN Jogja

BACA JUGA: Berebut Menggali Rezeki Emas di Negeri Dewi Sri Bombana (1)

Hari itu mereka dibimbing Eko Prawoto, arsitek yang juga murid Romo MangunwijayaYang istimewa, pendapa itu bukan berada di lingkungan kampus Akademi Arsitektur YKPN JogjaTapi, justru di kompleks Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)

Pendapa itu bernama Pendopo DiponegoroDi sinilah dulu Bagong melatih tari para cantrik (istilah untuk menyebut siswa) yang belajar tari di tempat ituPara mahasiswa itu sedang belajar tentang padepokan bernuansa Jawa dilihat dari sisi arsitektur

’’Kami sering menerima kunjungan mahasiswa seperti ituKadang juga dipakai untuk latihan Teater Gandrik jika mau pentasKarena sekarang kami tidak punya cantrik lagi,’’ kata Butet Kartaredjasa, salah seorang putra Bagong Kussudiardja, yang dipercaya memimpin padepokan.

Sejak Bagong meninggal pada 2004, padepokan yang terletak di Desa Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Kabupaten Bantul, itu memang tak lagi menerima cantrik yang mondok di padepokanTapi, bukan berarti mereka tak memberi pelatihan tari’’Kami masih memberi pelatihanTapi, sifatnya bukan pendidikan nonformal semacam kursus bersertifikat yang mensyaratkan cantriknya mondok seperti dilakukan Bapak dulu,’’ kata Butet.

Padepokan itu kini menerima permintaan pelatihan yang sifatnya tidak permanenBahkan, nama padepokan pun dihapusYang ada sekarang adalah Pusat Latihan Tari (PLT)Inilah yang menerima order pelatihan tari sesuai permintaanJika ada satu pemerintah provinsi atau kabupaten meminta pelatihan, mereka siap mengirim tim atau menampung yang akan dilatih ke Desa Kembaran ini.

Apakah hal itu tidak mengkhianati visi yang dirintis Bagong? Secara tegas Butet menjawab tidakDia mengaku justru menangkap spirit dasar kesenian sang ayah dan mengembangkannya seperti yang ada saat ini”Spirit dasar itu adalah mendekatkan seni dengan masyarakatPak Bagong juga menghilangkan sekat kesenianTak ada kotak seni tari, seni rupa, maupun teater,’’ jelas Butet.

Dengan keyakinan seperti itulah, saat ini payung padepokan diubah menjadi yayasanNamanya Yayasan Bagong Kussudiardja (YBK)Butet yang kini ketua YBK mengurai sejarah YBK dan kaitannya dengan padepokan.
Bangunan dan fasilitas Padepokan Seni yang dibangun almarhum Bagong Kussudiardja pada 1978 awalnya dipergunakan sebagai tempat pendidikan seni nonformal, khususnya seni tari, dengan nama Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)’’Setelah beliau wafat, keluarga besar kami mendirikan YBK pada 2006Ini sebuah lembaga nirlaba yang mengelola aset fisik PSBK, yaitu tanah, bangunan beserta perlengkapan di dalamnya,’’ tambah seniman yang dikenal sebagai ”Raja Monolog” itu.

Dalam perkembangannya, sejak 2007 YBK memulai pengelolaan aset fisik PSBK sebagai rumah budaya terbuka dengan nama Padepokan Seni (tanpa Bagong Kussudiardja)Bagi YBK, makna dan kekuatan padepokan seni sebagai rumah budaya tidak bersandar pada fasilitas fisik semata (pasif).

Yayasan ini menaungi sejumlah aktivitas kreativitas seniSelain PLT tadi, ada Kua Etnika, Teater Gandrik, dan Sinten RemenKua Etnika dan Sinten Remen dikomandani anak bungsu Bagong, GJadug FeriantoKua Etnika adalah kelompok musik kontemporer, sedangkan Sinten Remen adalah kelompok keroncong kontemporerTeater Gandrik sendiri dikelola Butet.

Saat ini Padepokan Seni aktif memerankan diri sebagai rumah budaya melalui program-programnyaDi antaranya Jagongan Wagen, Muara dan Among SedulurJagongan Wagen adalah forum pergelaran dan apresiasi karya seni pertunjukan yang diselenggarakan di Padepokan Seni secara rutin setiap bulan dan terbuka untuk umum

Lewat Muara, YBK memfasilitasi dialog lintas bidang seni dan lintas budayaDan lewat Among Sedulur, YBK telah memprakarsai suatu upaya baru dan nyata dalam memberdayakan segala macam manfaat dan potensi seni, sebagai sumber pembelajaran yang aplikatif dan efektif bagi masyarakat (umum).

Untuk menghidupkan semua forum itu, YBK menggandeng pihak swastaJagongan Wagen yang digelar reguler setiap bulan, misalnya, sudah didanai satu perusahaan rokok selama satu tahunYBK juga menggelar Edukonser –pelatihan musik untuk anak-anak sekolah secara gratis– dengan menggandeng satu perusahaan telepon seluler.

’’Karena YBK adalah yayasan nirlaba, ya kita bisanya menggandeng pihak ketiga untuk ikut berperan mewujudkan visi kamiKegiatan kami fokus mendekatkan seni pada masyarakat tadi,’’ kata penulis buku Presiden Guyonan tersebut.
Model kerja sama itulah yang terus digalang YBK untuk menghidupi dirinyaButet mengungkapkan, setiap bulan mereka harus mengeluarkan biaya untuk mengelola YBK sekitar Rp 15 jutaDana sebesar itu untuk membayar rekening listrik dan mengongkosi sejumlah orang yang terlibat dalam perawatan fasilitas fisik di lahan seluas satu hektare tersebut.

YBK juga mendapatkan sedikit pemasukan dari kunjungan tamuSaat ramai, tamu rombongan ini bisa memberi kontribusi Rp 2 juta per bulanIni bukan dari bea masuk ke padepokan, melainkan dana yang disisihkan dari kontribusi rombonganMereka yang akan mengunjungi padepokan dimintai Rp 5.000 per orang dengan kompensasi pengelola padepokan menyediakan air minum serta penampilSang penampil itu bisa penari, pemusik, atau arsitek seperti kunjungan mahasiswa di awal tulisan ini.

Selain kerja sama dan tamu rombongan itu, upaya menghidupi yayasan dan padepokan ditempuh dengan menyisihkan pendapatan dari pentas Kua Etnika, Sinten Remen, maupun Teater Gandrik sebesar 10 persenPemotongan 10 persen tersebut dilakukan dua kali setahunPola ini, menurut Butet, menjadi pola yang tampaknya cocok bagi pengembangan padepokan di masa datang.

’’Kami terus mencoba model ini beberapa tahunKe depan, kami ingin bukan kami (Kua Etnika, Gandrik, Sinten Remen maupun PLT) yang menghidupi yayasanTapi justru yayasanlah yang menaungi kami,’’ ujar suami Rullyana Isfihana itu.
Maksud Butet, yayasanlah yang memenuhi semua overhead cost dan mereka hanya berkewajiban berkaryaIstilah Butet, mereka (Kua Etnika, Gandrik, Sinten Remen), sebagai ahli waris Bagong Kussudiardja tetap diberi hak ngindung atau magersari dan punya kewajiban berkarya dan berkreasi.

Butet memberi gambaran, 15 tahun lagi, saat situasi ideal itu telah tercapai, keluarga Bagong rela melepas padepokan menjadi milik publikSiapa pun bisa mengakses berbagai fasilitas yang ada di Padepokan SeniDia menyadari, sebagai sebuah yayasan, YBK pun menjadi milik publikSiapa pun bisa menjadi ketua asal memenuhi syarat.

Namun, belajar dari sejumlah yayasan, Butet tak ingin pihak ahli waris Bagong nanti tak memiliki hak atau tersingkir dari YBKButet tak ingin seperti keluarga Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang ’’terlempar’’ dari Yayasan ParamadinaDalam waktu dekat ini, YBK akan membahas poin: ahli waris Bagong akan terus punya hak menempati ruang-ruang yang ada di Padepokan Seni’’Meski statusnya hanya ngindung atau magersari, tapi magersari permanen,’’ seloroh Butet.

Sebagai ketua YBK, Butet terus memikirkan keberlangsungan dan masa depan padepokanDia tak ingin warisan sang ayah sia-siaLewat Eko Prawoto, sang arsitek yang dekat dengan keluarga besarnya, Butet telah membuat grand design padepokan ke depanMisalnya, lingkungan padepokan akan dibangun tempat penginapan tamu, ruang memorabilia, ruang penyimpanan kostum maupun properti pentas, dan kafe.

’’Pendeknya, kami ingin padepokan ini menjadi rumah budaya yang nyaman bagi masyarakatAnggaran telah kami ajukan ke Pemkab Bantul,’’ kata Butet sembari menyebut Salihara Jakarta sebagai salah satu ”model” rumah budaya yang ingin ditirunya.

Karena dana terbatas, saat ini kondisi padepokan memang memprihatinkanSejumlah bangunan tampak tak terawatAsrama Bhayangkara yang berada di sisi timur pendapa dan biasa dipakai para cantrik menginap, terlihat selalu tertutupBegitu pula dapur dan arena teater di sisi barat padepokan tak pernah dipakai lagi.

Bangunan yang terlihat ’’hidup’’ hanya yang ada di sisi tenggaraDi situ ada ’’kantor’’, studio musik, dan juga Pendopo Diponegoro tadiDari bagian ini pula para tamu memasuki arena padepokanHebatnya, area ini sudah berfasilitas hotspot sumbangan PT Telkom(bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Balik DetEksi Basketball League dan Kehebohan Basket di Papua (3-Habis)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler