Bagi sebagian orang, Jakarta adalah Ibukota yang padat dan sesak. Tapi bagi ahli hukum asal Australia- yang sempat meneliti kasus Prita Mulyasari -Arjuna Dibley, Jakarta adalah pusat hukum dan politik yang membuatnya makin mempelajari Indonesia.

Arjuna Dibley mengikuti program pendidikan yang diselenggarakan konsorsium non-profit ACICIS (Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies) di Indonesia, pada tahun 2011.

BACA JUGA: Lika-liku Kehidupan Tunawisma di Kota Sydney

Selama 2 semester, lulusan ‘Australian National University’ (ANU) ini belajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.


Arjuna sedang mempresentasikan hasil penelitiannya di MK, di hadapan mahasiswa dan dosen Universitas Muhammadiyah Malang. (Foto: koleksi pribadi)

BACA JUGA: Pelatih Kuda di Australia Didenda Karena Beri Narkoba ke Kudanya

Pada semester terakhir programnya, ia mondar-mandir ke Jakarta untuk melakukan penelitian.

“Di semester kedua, saya melakukan penelitian di MK (Mahkamah Konstitusi). Tapi selama saya belajar di Indonesia, saya juga sempat magang di LSM bernama PUKAT, Pusat Kajian Anti-Korupsi,” ujarnya kepada Nurina Savitri dari ABC.

BACA JUGA: Ingin Gabung Milisi Kurdi Melawan ISIS, Seorang Warga Australia Ditangkap

Ia lantas menceritakan, “Pada penelitian saya di MK, saya melihat bagaimana upaya untuk mempromosikan kebebasan ekspresi di negara ini dilakukan. Waktu itu kasus yang saya cermati adalah kasus pencemaran nama baik yang dihadapi Prita Mulyasari.”

Bagi penyuka tempe penyet ini, penelitiannya yang berjudul ‘Pemohon Masyarakat Sipil di Depan Mahkamah Konstitusi’ sangatlah menarik.

“Penelitian saya menarik untuk disimak karena itu tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Saya melihat peran MK dalam mempromosikan kebebasan berekspresi,” tutur pria penyuka musik ini.

Arjuna mengatakan, pada saat ia mengerjakan risetnya, MK masih dipandang sebagai institusi yang sangat penting dalam mempromosikan kebebasan berekspresi, walau kini, menurutnya, kondisinya telah berubah.

“Banyak aktivis memperjuangkan hak-hak dasar berdemokrasi via MK. Itu saja menurut saya sudah sangat mencerminkan demokrasi itu sendiri. Ya memang, sekarang kondisi di sana sudah berubah, MK banyak mendapat tantangan belakangan ini,” utaranya.


Mendaki Gunung Merbabu bersama teman-temannya dari UGM. (Foto: Koleksi pribadi)

Pria penyuka beragam jenis musik ini mengaku, penelitiannya di MK telah membuatnya terbiasa menikmati kehidupan di Jakarta. Ia bahkan lebih memilih tinggal di Jakarta ketimbang di Yogya.

“Yogya atau Jakarta, itu pilihan yang sangat mudah, saya kan tertarik dengan situasi politik dan hukum di Indonesia. Tentu saja saya sangat menikmati Jakarta karena kota ini pusat aktivitas dan pusat segalanya. Berada di dekat sumber peristiwa, saya benar-benar menikmatinya,” akunya kepada jurnalis ABC.

Lebih lanjut Arjuna berpendapat, bahkan untuk soal hukum, sebenarnya ada yang bisa dipelajari Australia dari Indonesia.

“Jika kita membandingkan UUD (Undang-Undang Dasar) Indonesia dengan Konstitusi Australia, susunan konstitusi di Indonesia menurut saya lebih baik ketimbang Australia. Bukan berarti di Australia tak ada penegakan hukum dan HAM tak dilindungi, tapi di UUD ada bagian khusus soal HAM, sementara di konstitusi Australia hal itu tak dinyatakan secara eksplisit,” terangnya.

Arjuna sangat optimistis pada hubungan antar warga Australia dengan Indonesia. Ia mengungkapkan, rasa saling memahami di antara kedua negara lebih mudah ditumbuhkan di tingkat masyarakat ketimbang di level pemerintah.

Karena keyakinannya akan potensi hubungan Australia-Indonesia, pria berkacamata ini lantas mendirikan Asosiasi Pemuda Australia-Indonesia (AIYA) bersama rekan-rekannya di tahun 2011, dan sempat menjabat sebagai Presiden selama 3,5 tahun.

“Organisasi seperti AIYA, ACICIS dan sejenisnya sangat membantu dalam memberikan pemahaman. Apalagi jika ada ketegangan seperti pasca eksekusi, organisasi antar pemuda seperti inilah yang bisa menjembatani perbedaan pendapat," kemukanya.


Mengunjungi Semarang bersama teman-teman dari ACICIS dan dari UGM. (Foto: Koleksi pribadi)

Sering dikira orang Indonesia

Lantaran memiliki nama seperti orang Indonesia, Arjuna seringkali disangka berdarah Indonesia. Nyatanya, Arjuna memiliki ibu berdarah Asia Selatan.

“Ibu saya berasal dari Sri Lanka. Mungkin karena nama saya mengandung unsur bahasa Sansekerta, banyak orang Indonesia mengira saya ada keturunan Indonesia,” ujar pria yang cukup jago berbahasa Indonesia ini.

“Sebagian besar orang bingung melihat saya, wajah saya tak terlalu Indonesia tapi nama saya agak ke-Indonesiaan,” tambahnya.

Bahkan, ketika menjalani program ACICIS  beberapa tahun yang lalu itu, Arjuna sering diledek teman-temannya di Yogya karena namanya menjadi judul lagu salah satu band kenamaan Indonesia.

“Anda tahu kan lagu Dewa yang judulnya ‘Arjuna Mencari Cinta’? nah, sewaktu saya di Yogya, lagu itu kan sedang tren, jadilah banyak teman yang bergurau, jangan-jangan saya datang ke Indonesia karena ingin mencari cinta,” kenangnya sambil setengah tergelak.

Hangatnya pertemanan selama tinggal di Indonesia begitu membekas dalam diri Arjuna. Ia pun mengaku, pengalamannya selama belajar dan melakukan penelitian di Bumi Pertiwi memberinya banyak manfaat pada profesi yang ditekuninya saat ini.

“Saya banyak menjalin pertemanan dengan orang-orang hukum di Indonesia. Bahkan, apa yang saya teliti selama tinggal di sana, walau sebagian besar mengenai hak asasi manusia, banyak memberi masukan terhadap pekerjaan bidang hukum lingkungan yang saya jalani sekarang,” tuturnya mengakhiri pembicaraan.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Parkiran Mobil di Pinggir Jalan Kota Melbourne Diusulkan Jadi Jalur Sepeda

Berita Terkait