Ilhan Omar & Sistem Bukan-Bukan di Indonesia

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 18 Desember 2021 – 12:46 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Ilhan Abdullahi Omar, wanita berusia 40 tahun itu tercatat dalam sejarah sebagai wanita muslim pertama yang menjadi anggota Kongres Amerika.

Pada 2018, Ilhan yang keturunan imigran Somalia, terpilih sebagai anggota Kongres mewakili daerah pemilihan Minessota.

BACA JUGA: Aturan Menteri Tito, Nadiem, dan Yaqut Dinilai Bawa Indonesia Jadi Negara Sekuler

Sebelumnya, Ilhan sudah terlebih dahulu terpilih sebagai anggota DPR dari Minnesota mewakili Partai Demokrat.

Ilhan Omar menjadi salah satu anggota Kongres yang populer dan menjadi salah satu 'media darling' yang menjadi langganan pemberitaan media-media mainstream Amerika.

BACA JUGA: Bamsoet: Indonesia Bukan Negara Sekuler, Bukan Juga Negara Agama

Liputan terhadap Ilhan tidak selalu positif, dan malah cenderung negatif. Namun, Ilhan punya kecerdasan politik yang tinggi untuk membalik framing negatif menjadi positif dan menguntungkan.

Dari total 435 anggota Kongres Amerika hanya ada dua wanita muslim, yaitu Ilhan Omar dan Rashida Tlaib.

BACA JUGA: Tolak Perluas Pasal Perzinaan, MK Dituding Sekuler

Dua wanita ini menonjol karena latar belakang etnik dan agamanya yang dianggap unik. Ilhan Omar yang mengenakan hijab sering mendapat sorotan stereotype dari publik dan dari anggota Kongres sendiri.

Ilhan mencatat sejarah lagi karena Kongres menyetujui usulnya untuk membuat undang-undang anti-Islamophobia. Hal ini terjadi setelah Ilhan diserang oleh sesama anggota Kongres dari Partai Demokrat yang menyebut Ilhan sebagai bagian dari terorisme Islam internasional.

Ilhan memakai serangan ini untuk menyerang balik. Ia mengatakan bahwa Amerika Serikat masih menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kebencian terhadap Islam atau Islamophobia.

Karena itu Ilhan mengusulkan supaya Kongres mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan negara membentuk sebuah badan untuk mengawasi gangguan terhadap muslim dalam bentuk Islamophobia.

Ini merupakan kemajuan penting bagi perkembangan Islam di Amerika. Jumlah umat Islam di Amerika diperkirakan akan terus meningkat. Bahkan pada 2050, populasi muslim diprediksi tumbuh hingga dua kali lipat.

Menurut data terakhir Pew Research Center, sekitar 3,3 juta muslim dari segala usia tinggal di Amerika Serikat pada 2015. Ini berarti bahwa populasi muslim sebesar satu persen dari 322 juta orang pada 2015.

Data ini berdasarkan proyeksi demografis yang mencontohkan pertumbuhan populasi muslim Amerika sejak perkiraan 2011 mencakup orang dewasa dan anak-anak.

Muslim di Amerika Serikat termasuk warga minoritas, bahkan penganut agama lain seperti Yahudi dan Hindu memiliki populasi lebih banyak. 

Di beberapa kota, jumlah umat Islam lebih dari satu persen. Bahkan di tingkat negara bagian muslim tidak terdistribusi secara merata, beberapa negara bagian, seperti New Jersey, memiliki dua atau tiga kali lebih banyak muslim dewasa.

Namun, pertumbuhan muslim sejak 2007 terlihat stabil baik jumlah maupun persentase.

Populasi muslim diprediksi akan tumbuh lebih cepat daripada populasi Hindu dan jauh lebih cepat daripada populasi Yahudi dalam beberapa dekade mendatang.

Bahkan sebelum 2040, umat Islam akan menjadi kelompok agama terbesar kedua di Amerika Serikat, setelah Kristen.

Pada 2050, populasi muslim Amerika Serikat akan mencapai 8,1 juta orang atau 2,1 persen dari total populasi.

Faktor utama meningkatnya populasi muslim di Amerika Serikat dari 2010 hingga 2015 adalah adanya migrasi.

Sebanyak 10 persen dari imigran yang datang ke Amerika Serikat adalah muslim.

Amerika Serikat adalah negara sekuler yang dianggap lebih ramah terhadap agama. Menurut Ahmet T. Kuru, profesor dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies Universitas San Diego, Amerika sebenarnya lebih ‘’ramah’’ terhadap Islam karena sistem Amerika dikategorikan sebagai sekuler pasif.

Amerika tetap menjadi negara sekuler dalam arti negara tidak mengurusi agama karena agama adalah urusan pribadi.

Namun, Amerika menjamin kebebasan beragama dan tidak mengeluarkan undang-undang yang melarang praktik agama tertentu.

Hal ini berbeda dengan Prancis, yang oleh Ahmet Kuru dikategorikan sebagai negara sekuler asertif.

Dengan posisi ini Prancis menempatkan diri sebagai negara seluler yang memisahkan agama dari urusan negara dan melarang praktik-praktik agama di tempat umum.

Prancis juga melarang simbol-simbol agama di tempat umum termasuk pemakaian busana muslim di sekolah atau instansi negara.

Prancis bukan hanya melarang burkah, pakaian wanita muslim full dress yang tertutup dan hanya membuka bagian mata.

Prancis juga melarang pakaian renang muslim yang disebut sebagai ‘’burkini’’, pakaian renang yang menutup semua aurat dari rambut sampai ke kaki.

Kebijakan sekuler asertif Prancis membela kebebasan beragama secara ekstrem, termasuk kebebasan mengolok-olok praktik agama lain.

Kasus majalah ‘’Charlie Hebdo’’ yang secara rutin mengeluarkan kartun mengenai Nabi Muhammad, adalah bagian dari kebijakan sekuler asertif itu.

Pemerintah Prancis tidak akan melarang penerbitan Charlie Hebdo meskipun mendapatkan protes keras dari umat Islam seluruh dunia. Sikap pemerintah Prancis ini menimbulkan reaksi keras dari sebagian umat Islam, sehingga terjadi kekerasan dalam bentuk serangan bersenjata terhadap redaksi majalah Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang pada 2015.

Di Amerika kekerasan semacam di Prancis tidak pernah terjadi karena pemerintah Amerika bersikap pasif terhadap pelaksanaan agama. Sekularisme model Amerika dan Prancis ini sekarang menjadi model yang banyak ditiru negara-negara lain.

Di Indonesia perdebatan antara sekularisme dan agama terjadi sepanjang sejarah usia kemerdekaan.

Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler.

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dengan guyonannya yang khas menyebut Indonesia sebagai negara yang ‘’bukan-bukan’’.

Ahmet T. Kuru menyebut ada empat jenis negara, yaitu negara agama, negara dengan satu agama resmi, negara sekuler, dan negara anti-agama.

Negara agama menjadikan agama sebagai dasar negara dan memiliki satu agama resmi. Kuru mencatat sepuluh negara telah mengadopsi model ini, antara lain Arab Saudi, Iran, dan Vatikan.

Negara dengan satu agama resmi, secara konstitusi negara ini sekuler, tetapi memiliki satu agama resmi. Misalnya, Yunani, Inggris, dan Denmark.

Sedangkan model sekuler berkonstitusi sekuler sekaligus tidak memiliki satu pun agama resmi. Ada 95 negara yang berada di barisan jenis ini. Amerika, Prancis, dan Turki.

Negara anti-agama memiliki konstitusi sekuler, dan pada saat yang sama ia memusuhi agama. Di dunia ini, ada 22 negara berjenis kelamin seperti ini, antara lain China, Kuba, dan Korea Utara.

Ahmet Kuru mengategorikan Indonesia sebagai negara sekuler, karena menurut Kuru tidak ada kategori ‘’bukan negara agama dan bukan negara sekuler’’ yang selama ini diklaim oleh Indonesia.

Tentu saja kategorisasi Kuru ini akan ditentang oleh banyak orang di Indonesia, baik dari kubu sekuler maupun dari kubu agama. Indonesia selalu mengeklaim sebagai negara dengan sistem yang khas karena mempunyai dasar Pancasila.

Dengan Pancasila, negara tidak didasarkan pada agama, tetapi menempatkan agama sebagai spirit dalam berbangsa dan bernegara. Sila Ketuhanan Yang Mahaesa merupakan spirit yang menaungi empat sila lainnya.

Itulah yang dianggap sebagai kekhasan sistem Indonesia.

Kenyataannya, perdebatan mengenai Pancasila masih terus terjadi sejak merdeka sampai sekarang. Klaim bahwa Pancasila sudah final hanya menjadi klaim retorika belaka.

Dalam praktiknya sampai sekarang masih terjadi tarik-menarik tafsir terhadap Pancasila antara kelompok sekuler vs kelompok agamis.

Mungkin Gus Dur benar. Sistem yang dipakai di Indonesia adalah ‘’sistem yang bukan-bukan’’. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler