Iluni UI Anggap Revisi UU MD3 Cederai Amanat Reformasi

Jumat, 23 Maret 2018 – 18:13 WIB
Diskusi yang diselenggarakan Policy Center Iluni UI di kampus UI Salemba. Foto: Iluni UI

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) menilai keputusan DPR mengesahkan UU MD3 melanggar amanat reformasi yang diperjuangkan para mahasiswa pada 1998.

“Dengan disahkannya UU MD3, DPR telah melanggar apa yang sudah ditulis di undang-undang, dengan membatasi orang dalam mengeluarkan pendapatnya,” kata Ketua BEM UI Zaadit Taqwa dalam diskusi yang diselenggarakan Policy Center Iluni UI di kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (22/3).

BACA JUGA: Kritik Rakyat ke DPR Tidak Ada Batasnya

Selain Zaadit, diskusi itu menghadirkan pembicara seperti Ketua Policy Centre Iluni UI Berly Martawardaya, peneliti Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) M. Jibril Avessina, dan perwakilan masyarakat penggugat judicial review UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) Josua Satria.

Menurut Zaadit, KUHP tidak memuat pasal yang menerangkan sanksi-sanksi berupa sandera.

BACA JUGA: PPP Tak Rela Satu Kursi Wakil Ketua MPR Jadi Milik PKB

Dia menambahkan, yang ada hanyalah sanksi pidana dan beberapa sanksi lain.

“Tidak adil apabila seorang kemudian ditangkap secara paksa (disandera) karena diminta keterangan oleh DPR RI dan tidak hadir dalam pemanggilan DPR tanpa melalui proses pengadilan dan pembuktian yang sah,” tambah Zaadit.

BACA JUGA: Polri Siapkan Perkap yang Sinkron Dengan UU MD3

Zaadit menjelaskan, pengesahan pasal 122 huruf L membatasi ruang gerak masyarakat untuk melayangkan kritik.

Hal itu tidak sejalan dengan pasal 28 E ayat 3 mengenai kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat.

Pengesahan pasal 122 huruf L juga bertentangan dengan pasal 28 I ayat 4 mengenai perlindungan, pemajuan, dan penegakan HAM  adalah tanggung jawab negara.

Zaadit juga mengkritisi pasal 245 UUD MD3. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pemanggilan anggota DPR RI  yang terindikasi melakukan pelanggaran hukum oleh pihak aparat hukum harus mendapat persetujuan presiden dan Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Padahal, MK sudah menolak pasal itu.

Sementara itu, peneliti CRPG Jibril Avvisena menyesalkan sikap Kemenkumham yang lebih banyak diam terkait revisi UU MD3.

Menurut Jibril, Kemenkumham seharusnya bisa mengawal pasal-pasal yang direvisi itu sampai tuntas.

“Peraturan MD3 biasa dibentuk untuk mengatur internal di MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Terakhir diubah 2014. Ada perubahan lagi pada 2018 ketika masa era parlemen hanya 1,5 tahun lagi. Kenapa tidak ada penjagaan sehingga usulan tersebut bisa lolos?” papar Jibril

Di sisi lain, Jibriel memuji sikap Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani pengesahan UU MD3.

Menurut Jibril, Jokowi mengambil langkah bijaksana untuk menghindari konflik.

“Yang harus dievaluasi oleh presiden adalah Menkumham yang sekarang tidak bisa sigap dan diandalkan untuk mengawal sidang-sidang DPR RI dalam pembahasan UU MD3” papar Jibril.

Sementara itu, Ketua Policy Centre Iluni UI Berly Martawardaya menilai pengesahan UU MD3 memiliki dampak sangat luas di masyarakat.

Berly juga berharap MK mengabulkan tuntutan berbagai kelompok masyarakat yang meminta pembatalan UU MD3 secara keseluruhan maupun pasal-pasal yang baru dalam hasil revisi.

“Hal ini agar kehidupan demokrasi dapat terus berlangsung di masyarakat. Masyarakat yang mengawasi dan ikut mengkritisi tidak perlu takut dipidanakan,” ujar Berly. (jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... UU MD3 Berlaku, MKD Pastikan Tak Akan Mempersulit Presiden


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler