Imparsial Desak DPR dan Pemerintah Setop Pembahasan RUU TNI yang Bermasalah

Kamis, 18 Juli 2024 – 16:19 WIB
Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri. Foto: source for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Imparsial mendesak DPR RI dan pemerintah menyetop pembahasan revisi UU TNI yang dianggap bermasalah.

Hal itu disampaikan Direktur Imparsial Gufron Mabruri merespons munculnya daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TNI versi pemerintah.

BACA JUGA: Revisi UU TNI & Polemik Prajurit Aktif di Jabatan Publik; Antara Kekhawatiran dan Aturan

Menurut Gufron, pada 8 Juli 2024, DPR sudah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait RUU TNI tanpa disertai dengan DIM. Belakangan, beredar di publik DIM yang dibuat pemerintah terkait RUU Perubahan UU TNI yang akan dibahas di DPR.

"Berdasarkan dokumen DIM versi pemerintah yang beredar tersebut terdapat sejumlah masalah yang jauh lebih parah dari naskah RUU TNI versi Baleg yang membahayakan HAM serta merusak tata kelola negara demokrasi," ujar Gufron dikutip dari siaran pers, Kamis (18/7).

BACA JUGA: Detik-Detik Oknum Polisi Bripda JM Aniaya 3 Warga saat Minum Miras, Ini Pemicunya

Imparsial memandang DPR RI sebaiknya menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI, mengingat perubahan itu bukan hanya tidak mendesak, tetapi dewan juga tak punya cukup waktu untuk melakukan pembahasan.

Perlu diketahui DPR pada saat ini sedang memasuki masa reses dan baru pada pertengahan Agustus akan kembali masuk masa sidang. Artinya, kata Gufron, DPR hanya memiliki waktu yang sangat singkat yakni kurang lebih 1 bulan untuk menyelesaikan pembahasan revisi UU TNI.

BACA JUGA: Tindakan Dirlantas Polda Sulteng Kombes Dodi Darjanto Ini Dianggap Melecehkan Jurnalis

"Dengan waktu yang singkat tersebut, kami sangsi DPR mampu menyelesaikan revisi UU penting ini secara optimal dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna secara luas," kata dia.

Selain itu, Imparsial menilai substansi perubahan yang diusulkan oleh pemerintah bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, melainkan sebaliknya.

"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI," ucapnya.

Gufron lantas menyampaikan bahwa berdasarkan naskah DIM yang ada, terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.

Poin-poin dimaksud, pertama, perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Usulan perubahan Pasal 7 Ayat 2 dan Ayat 3 yang memperluas dan menambah cakupan OMSP menunjukan paradigma dan keinginan politik untuk memperluas keterlibatan peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Hal itu dapat dilihat dari penambahan  19 jenis OMSP dari yang sebelumnya berjumlah 14 jenis yang dapat dilakukan oleh TNI. Bahkan, beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung ketahanan pangan dan pembangunan nasional.

"Adanya perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang makin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah," tutur Gufron.

Lebih dari itu, lanjutnya, upaya perluasan keterlibatan peran TNI di luar sektor pertahanan negara dengan dalih OMSP juga dipermudah, mengingat adanya usulan perubahan bahwa dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.

Jika usulan perubahan ini diadopsi, kata Gufron, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR.

Kedua, adanya perluasan peran TNI menjadi aparat penegak hukum. Dalam naskah DIM Pasal 8 disebutkan bahwa angkatan darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional.

Gufron memandang ketentuan itu keliru dan bertentangan dengan amanat Pasal 30 (2) dan (3) sebagai alat pertahanan negara dan TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.

"Apabila revisi UU TNI disahkan makan sudah pasti akan terjadi silang sengkarut dan overlapping tugas dan peran TNI dengan Polri," ujarnya.

Ketiga, penghapusan larangan berbisnis bagi TNI. Ketentuan ini juga dianggap keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Sebab, militer dididik, dilatih, dan dipersiapkan untuk perang yang sudah menjadi raison d’etre (hakikat) militer di negara mana pun.

"Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara," sebut Gufron.

Keempat, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif. Adanya usulan perubahan yang memberikan ruang bagi tentara untuk dapat menduduki jabatan sipil yang lebih luas sebagaimana naskah DIM revisi UU TNI Pasal 47 Ayat (2), dapat membuka ruang kembalinya Dwifungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru.

Lebih jauh, adanya upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya tentara aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil.

"Ombudsman RI sendiri mencatat setidaknya sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Belakangan ini juga ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh," terangnya.

Berdasarkan pandangan tersebut, Imparsial mendesak DPR dan Pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI, selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah substansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.

Imparsial juga mendesak DPR dan Pemerintah untuk melakukan moratorium pembahasan berbagai RUU strategis yang memerlukan evaluasi terlebih dahulu secara mendalam dan partisipasi publik yang lebih luas, salah satunya adalah RUU TNI.

"Mengingat saat ini merupakan masa transisi DPR dan Pemerintah dari yang lama ke yang baru, hendaknya pembahasan berbagai RUU yang bersifat strategis tidak dilakukan," kata Gufron Mabruri.(fat/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler