jpnn.com - Imparsial terang-terangan menyatakan rancangan perubahan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI melanggar konstitusi.
Penilaian ini disampaikan Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra setelah pihaknya mencermati dokumen daftar inventaris masalah (DIM) RUU TNI pada Kamis (15/8).
BACA JUGA: Momen Jokowi Ditanya soal Nasib Joni yang Gagal Seleksi TNI, Hmmm
"Dalam DIM tersebut salah satunya diusulkan bahwa TNI, khususnya TNI AD, diberikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum di darat. Imparsial menilai usulan tersebut sangat mengancam demokrasi dan HAM serta melenceng jauh dari rel UUD NRI Tahun 1945," kata Ardi dikutip dari siaran persnya, Kamis malam.
Dia menjelaskan bahwa Pasal 8 huruf b dalam DIM tersebut menyebutkan "Angkatan Darat bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah darat sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional”.
BACA JUGA: Selain Jilbab Paskibraka, Kepala BPIP Pernah Bikin Gaduh soal Agama Musuh Terbesar Pancasila
Imparsial memandang, perluasan peran TNI menjadi aparat penegak hukum adalah keliru dan bertentangan dengan amanat Pasal 30 Ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi; "Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.”
Kemudian, Pasal 2 Ayat 1 TAP MPR VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri yang berbunyi; ”Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
BACA JUGA: Ini Rumor soal Tukang Kayu yang Bikin Golkar Tumbang, Sakti!
"Penting untuk diingat raison d’etre dibentuknya militer, semata-mata dibentuk sebagai alat pertahanan negara untuk menghadapi ancaman perang. Militer tidak pernah dimaksudkan untuk bertugas sebagai aparat penegak hukum," tuturnya.
Ardi mengatakan bahwa sebaliknya militer dilatih, dididik, dipersiapkan, dan dipersenjatai untuk perang. Pelibatan tentara dalam penegakan hukum akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan aparat penegak hukum lain.
Oleh karena itu, Imparsial mendesak agar DPR fokus untuk menegakan konstitusi dan TAP MPR dengan meletakkan TNI sebagai alat pertahanan negara dan bukan penegak hukum.
Dengan demikian, katanya, Baleg DPR yang sedang membahas revisi UU TNI wajib menolak usulan pasal dalam DIM yang memberikan kewenangan kepada TNI untuk terlibat dalam penegakan hukum.
"Sebagai wakil rakyat, anggota DPR harus dengan sungguh-sungguh menjalankan konstitusi dan tidak melanggar konstitusi," ucapnya.
Selain itu, terdapat juga usulan bahwa TNI ingin menghapus larangan berbisnis bagi prajurit militer. Ketentuan ini disebut Ardi merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi di tubuh TNI.
Dia menyebut prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya yaitu pertahanan, bukan berbisnis. TNI tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara.
Pada titik ini, lanjut Ardi, sudah seharusnya pemerintah tidak lempar tanggung jawab dalam mensejahterakan prajurit dengan menghapus larangan berbisnis bagi prajurit TNI.
"Penting untuk diingat bahwa tugas mensejahterakan prajurit merupakan kewajiban negara dan bukan tanggung jawab prajurit secara individu. Seharusnya alih-alih menghapus larangan berbisnis bagi TNI aktif, pemerintah dan TNI fokus di dalam mensejahterakan prajurit dan bukan malah mendorong prajurit berbisnis," sebutnya.
Sebelumnya, draft RUU TNI versi Baleg DPR RI juga mengusulkan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.
Imparsial menilai hal itu tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota militer aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil.
Jabatan sipil yang kini dijabat TNI ada di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga Badan Usaha Milik Negara. Ombudsman RI sendiri mencatat setidaknya sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN.
"Belakangan ini juga ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh," ujar Ardi.
Imparsial menilai, substansi perubahan yang diusulkan oleh TNI dan pemerintah di dalam DIM yang beredar bukannya memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, tetapi justru malah sebaliknya.
"Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara yang profesional, sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI," katanya menegaskan.
Berdasarkan pandangan tersebut, Imparsial mendesak DPR dan pemerintah untuk menghentikan segala bentuk pembahasan agenda revisi UU TNI.
"Karena selain tidak urgen untuk dilakukan saat ini, sejumlah substansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan pemajuan HAM," kata Ardi.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam