Incumbent Cukup Non-Aktif

Selasa, 05 Agustus 2008 – 18:47 WIB
JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan soal kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) harus mundur dari jabatan, bila kembali mencalonkan diri dalam pilkada, mendapat apresiasi banyak pihak, termasuk Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Maswadi Rauf.
"Memang kurang tepat kalau kepala daerah/wakil kepala daerah itu harus mundurSebenarnya cukup non-aktif saja," kata Maswadi kepada JPNN di Jakarta, Selasa (5/8).
Menurut Maswadi, justru ketentuan yang mengharuskan kepala daerah/wakil kepala daerah mundur itu menimbulkan persoalan baru yang tidak kalah peliknya

BACA JUGA: PDIP Gelar Pelatihan Accounting

"Ketentuan harus mundur itu kan dengan harapan agar kepala daerah/wakil kepala daerah itu tidak menggunakan fasilitas negara saat mereka berkampanye
Tapi ketika ketentuan itu dilaksanakan, muncul masalah baru lagi, karena kalau kepala daerah itu diganti dengan yang baru, biasanya terjadi perombakan besar-besaran," tegasnya.
Memang, sebut Maswadi, kepala daerah yang baru itu dibatasi kewenangannya

BACA JUGA: Segera Digelar Rapat Konsultasi

Namun tetap saja ada peluang untuk membuat kebijakan baru yang bertentangan dengan kebijakan kepala daerah sebelumnya
Padahal, masa jabatan kepala daerah yang baru itu biasanya hanya beberapa bulan saja

BACA JUGA: Tolak BAP Karena Tekanan

"Jadi ini kan juga bisa menimbulkan konflik baru di daerah," sambung pria kelahiran Riau itu.
Ke depan, Maswadi berharap agar DPR dan pemerintah segera merevisi UU No 12/2008 tentang Pemda, khususnya pasal 58 huruf q yang sudah dibatalkan oleh MK"Kalau misalnya diperlukan pasal baru, cukup dengan menetapkan agar kepala daerah/wakil kepala daerah non aktif saja selama kampanye," kata Maswadi.

Salah dari Awal
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Saldi Isra menyebut bahwa ketentuan yang mengharuskan kepala daerah/wakil kepala daerah (incumbent) harus mundur bila mencalonkan diri lagi dalam pilkada, sejak awal sudah salah"Saya sendiri sejak awal termasuk yang menentang ketentuan itu, karena ada kerancuan," tegas Saldi saat dihubungi JPNN, Selasa (5/8).
Menurut Dosen Fakultas Hukum Unand itu, bila kepala daerah/wakil kepala daerah diharuskan mundur dari jabatannya bila kembali ikut pilkada, kenapa pejabat negara lainnya, seperti anggota DPR, DPD termasuk Presiden dan Wakil Presiden yang kembali mencalonkan diri tidak diwajibkan mundur
"Anggota DPR yang masih menjabat kalau mencalonkan diri lagi itu namanya kan juga incumbentBegitu juga Presiden dan Wakil Presiden, kenapa mereka tidak perlu mundur? Ini kan tidak adil," kata Saldi dengan nada tanya.
Yang terpenting sebenarnya, sebut Saldi, bagaimana mengawasi agar kepala daerah/wakil kepala daerah yang kembali ikut pilkada, tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye"Tapi karena ketidakmampuan mengawasi, lalu keluar UU (UU Pemda, red) yang mengharuskan kepala daerah mundurIni jadi tidak benar," ucapnya.
Saldi berharap agar pemerintah dan DPR segera membuat aturan yang lebih baik terkait aturan main yang harus dipatuhi para kepala daerah/wakil kepala daerah yang kembali ikut pilkada"Intinya adalah, bagaimana agar saat berkampanye, kepala daerah dan termasuk juga pejabat negara lainnya yang kembali mencalonkan diri, tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan diri merekaIni yang perlu dibuat aturan mainnya," kata Saldi.
Lalu, apakah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan kepala daerah/wakil kepala daerah harus mundur itu berlaku surut? Saldi mengatakan, "Putusan MK itu kan bersifat prospektifArtinya berlaku setelah diputuskanJadi, putusan MK itu tidak berlaku surutBagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang sudah terlanjur mundur, ya itu konsekwensi dari aturan sebelumnya," jawab pria yang pernah menerima Bung Hatta Award itu(eyd/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Megawati Masih Ungguli SBY


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler