Indef: Investor Asing Bakal Kuasai Startup Lokal

Selasa, 06 Agustus 2019 – 00:55 WIB
Ilustrasi bisnis startup. Foto: Tech Asia

jpnn.com, JAKARTA - Peneliti Indef Ariyo Dharma Pahla Irhamna mengatakan, pertumbuhan realisasi investasi asing pada periode 2015–2018 hanya tiga persen.

“Banyak investasi yang masuk tidak berkualitas. Mayoritas investasi yang masuk ke Indonesia didominasi perusahaan yang market-seeking dan resource-seeking,’’ jelasnya, Minggu (4/7).

BACA JUGA: Kontribusi APBN Kecil, Jokowi Andalkan Peran Swasta

Selain karena jumlah populasi Indonesia dan ketersediaan sumber daya alam, hal tersebut disebabkan cara BKPM dalam melakukan promosi.

BACA JUGA: Industri Makanan dan Minuman Seksi, Nestle Tambah Investasi Rp 1,4 Triliun

BACA JUGA: Kebijakan OSS Perlu Diperkuat demi Investasi

Yakni, menonjolkan Indonesia sebagai negara dengan populasi yang banyak dan ketersediaan SDA yang melimpah.

’’Dampaknya, banyak investasi asing di Indonesia yang masuk justru menambah barang impor. Sebab, praktik investasinya lebih didominasi untuk membuka toko di dalam negeri, bukan melakukan produksi dan ekspor,’’ lanjutnya.

BACA JUGA: Strategi Baba Rafi Gaet Investor

Contoh jenis investasi tersebut yang sedang tren adalah suntikan modal asing di start-up.

Maraknya investasi asing terhadap start-up lokal atau ekspansi start-up global di Indonesia disebabkan market-size Indonesia yang besar.

Namun, tren perkembangan start-up di Indonesia tidak direspons pemerintah dengan tepat. Jadi, banyak platform e-commerce didominasi barang impor.

’’Ironisnya, start-up lokal yang dibanggakan oleh pemerintah, nyatanya mayoritas sahamnya sudah dimiliki asing. Sekalipun masih ada yang didominasi investor dalam negeri, saya yakin cepat atau lambat akan dikuasai investor asing,’’ tuturnya.

Sementara itu, peneliti Indef Bhima Yudhistira menyoroti dari sisi neraca dagang. Keberadaan start-up yang didanai asing justru memperparah defisit perdagangan dan transaksi berjalan sekaligus.

Start-up, khususnya yang bergerak di bidang e-commerce, berkontribusi terhadap naiknya impor barang konsumsi.

Pada 2018, impor barang konsumsi naik 22 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh lima persen.

Selain itu, data asosiasi e-commerce menunjukkan bahwa kecenderungan 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Artinya, produk lokal hanya tujuh persen.

’’Sementara itu, manfaat start-up bagi penyerapan tenaga kerja atau semiskilled dan high skilled masih terbatas. Kalau driver online jutaan yang terserap, lebih masuk kategori low skilled. SDM high skilled start-up di Indonesia masih dipenuhi tenaga kerja asing atau outsourcing ke negara lain,’’ jelasnya.

Bhima menekankan, pemerintah perlu menyamakan aturan barang impor di-retailer konvensional dan online.

Sebelumnya, ada beberapa pembatasan produk impor melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112).

Kebijakan tersebut memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari USD 100 menjadi USD 75 per hari.

“Namun, aturan itu belum cukup. Porsi barang impor di e-commerce harus diatur. Misalnya, 70 persen harus menjual produk yang diproduksi lokal. Kemudian, mendorong dibentuknya aggregator untuk menyerap dan memfasilitasi produk-produk UMKM yang akan dipasarkan ke marketplace. Fungsi aggregator meliputi logistik, quality control, dan pendampingan,’’ tegasnya. (ken/c5/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Baru Beroperasi, Pegatron Ancang-ancang Bangun Enam Industri Baru di Batam


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler