jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menyindir niatan pemerintah ketika hendak menarik investasi dengan merancang Omnibus Law. Menurut dia, cara tersebut salah sasaran.
"Sebenarnya yang menghambat investasi masuk itu pemberantasan korupsi yang lemah," kata dia saat menjadi pembicara dalam diskusi berjudul "Omnibus Law RUU Tentang Cipta Kerja Untuk Siapa" di kantor Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Senin (24/2).
BACA JUGA: Catatan Kritis Direktur KPPOD Tentang Omnibus Law Cipta Lapangan Karya
Seharusnya, kata dia, pemerintah komitmen terhadap pemberantasan korupsi untuk menarik investasi. Setidaknya, pemerintah bisa menunjukkan keberpihakan kepada KPK.
Sayangnya, menurut dia, pemerintahan era Joko Widodo justru melakukan langkah sebaliknya. Melalui UU KPK yang baru, pemerintah justru memperlemah lembaga antirasuah itu.
BACA JUGA: Dukung Sertifikasi Halal di Omnibus Law, DPR Ingin Sistem Ringkas
"Cuma di negara ini, kenapa kemudian KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK. Jadi, enggak nyambung. Apa investasi masuk kalau pemberantasan korupsi dilemahkan," kata dia.
Bhima menyadari, niatan membuat Omnibus Law untuk menyederhanakan regulasi. Sebab, salah satu penghambat investasi yakni rumitnya regulisasi di Indonesia.
BACA JUGA: Indef Uraikan Tujuan Uni Eropa Mendiskriminasi Kelapa Sawit
Namun, kata Bhima, pemerintahan era Jokowi yang sebenarnya membuat banyak peraturan menteri. Dalam catatan Indef, pemerintahan era Jokowi sudah membuat sekitar 6300 peraturan menteri selama 2015 hingga 2018.
"Ketika Jokowi mengucapkan deregulasi pada 2015 pada waktu paket kebijakan muncul sampai muncul 16 paket kebijakan, yang terjadi ketika bicara deregulasi, menciptakan 6300 peraturan menteri baru yang tumpang tindih. Dari 2015 sampai 2018. Ini tidak menyelesaikan masalah. Jadi kontraproduktif," ungkap dia. (mg10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan