jpnn.com, KASHMIR - Duka krisis Kashmir datang berlipat ganda untuk Irfan Ahmad Bhat. Seperti jatuh lalu tertimpa tangga, pemuda itu kehilangan ayahnya saat baru saja kehilangan kebebasannya. Dia bingung bagaimana menguburkan ayahnya di Kota Srinagar yang dijaga ketat tentara India.
"Penyesalan saya, banyak saudara yang tak bisa melihat wajah ayah saya untuk kali terakhir. Itu seharusnya tidak terjadi," ujar Bhat kepada Agence France-Presse.
BACA JUGA: Jeeva Jayalalithaa
Sampai saat ini, dia baru berhasil mengabari empat orang dari keluarga besar. Satu-satunya cara untuk memberi tahu kerabat adalah datang ke rumah. Sebab, saluran telekomunikasi, baik internet maupun telepon, diblokir aparat.
Padahal, dia juga tak bisa sendirian menguburkan ayahnya yang meninggal di usia 58 tahun. Menurut tradisi, persemayaman seseorang selesai hanya jika seluruh keluarga sudah diberi tahu. "Saya tidak tahu kapan itu akan terjadi," ungkapnya, lalu menangis.
BACA JUGA: Pakistan Ajak Tiongkok Keroyok India
Srinagar, ibu kota Kashmir, sudah tak lagi terlihat seperti kota yang menampung 1,5 juta penduduk. Jalanan sepi. Seluruh warga diminta untuk tetap di rumah. Jika keluar, mereka harus punya izin.
BACA JUGA: Bom Bunuh Diri Berbuntut Persekusi Warga Kashmir
BACA JUGA: Kashmir Mikir
Kalaupun punya izin, mereka tak bisa keluar secara bergerombol. Maksimal hanya berdua. Warga juga dipaksa melewati labirin. Beberapa kilometer sekali mereka harus melewati pos pemeriksaan militer. Versi otoritas, hal itu bertujuan mencegah teroris melakukan koordinasi serangan.
Mohammad Siddiq, kakak ipar Bhat, mengatakan, situasi kali ini jauh lebih sulit daripada masa pemberontakan sepuluh tahun lalu. Saat itu ranjau bertebaran di sudut Srinagar. "Dulu tidak ada telepon. Tapi, kami akan berpencar ke berbagai arah untuk menyebarkan kabar duka," ungkapnya.
Saking sulitnya warga bergerak, Rumah Sakit Shri Maharaja Hari Singh (SMHS) sampai lengang. Biasanya, RS itu kedatangan seribu pasien setiap hari. Sejak aparat mengamankan Srinagar, pasien yang datang tak sampai seratus.
"Sebagian besar datang ke sini mengeluh sakit padahal sehat. Mereka mengalami stres dan histeria," ujar dokter yang tak mau disebutkan namanya.
Wajar saja warga Kashmir panik. Warga sama sekali tak menyangka bahwa kebebasan mereka direnggut pekan ini. Setahu mereka, ketegangan pascabom bunuh diri yang menewaskan 40 tentara India sudah mereda.
Mereka juga bingung saat pemerintah India mengevakuasi ribuan warga Hindu dan turis dari Kashmir. Menurut Perdana Menteri India Narendra Modi, separatis berencana menyerang warga Hindu yang sedang berziarah Gua Amarnath Kashmir.
Tak lama kemudian, Modi mengumumkan pencabutan pasal 370 Konstitusi India. Sejak itu, penjagaan di Kahsmir diperketat. Sekitar 560 tokoh masyarakat lokal ditahan. "Sekarang Kashmir terasa seperti penjara. Penjara terbuka yang sangat besar," ujar Rizwan Malik, warga, kepada BBC.
Pasal 370 merupakan hak khusus yang didapatkan oleh otroritas lokal Kashmir. Artinya, mereka punya kewenangan khusus untuk menangani urusan dalam negeri di wilayah Jammu dan Kashmir, kecuali diplomasi luar negeri. Penduduk Kashmir diberi kewarganegaraan Kashmir dan India.
Setelah pakta itu tiada, New Delhi bisa melakukan apa pun kepada mereka. Termasuk, melakukan tindakan militer besar-besar seperti pekan ini. Namun, warga lokal jelas tak senang.
Jumat lalu (9/8) lebih dari 10 ribu warga berdemo setelah salat Jumat. Momen jumatan merupakan satu-satunya kesempatan bagi warga Srinagar untuk bergerombol. "Ini adalah tanah air kami. Kami ingin kebebasan," teriak pendemo seperti dikutip Washington Post.
Tak lama kemudian, tentara India datang dan membubarkan paksa para pendemo. Mereka menembakkan gas air mata dan peluru karet. Asif Mohammed, 16, menjadi salah satu korban luka akibat peluru karet. Dia mengatakan, penembakan itu dilakukan tanpa provokasi dari warga.
"Selesai sudah. Ini adalah Idul Adha terburuk yang pernah ada," ujar Zahoor Ahmad Ganai, warga.
Pemerintah berusaha menyangkal kedongkolan warga Kashmir. Menurut mereka, protes pascasalat Jumat hanyalah aksi yang didasarkan emosi sesaat. "Di luar Srinagar, aktivitas sehari-hari sudah berangsur normal. Selama ketertiban ada, penjagaan pasti kami kurangi," ujar Jubir Kemenlu India Raveesh Kumar.
Masyarakat Kashmir punya pendapat yang berbeda. Menurut mereka, jika pemerintah India terus melakukan penindasan, bisa jadi semua warga Kashmir bakal memberontak.
"Biasanya, dalam satu keluarga, ada saudara yang promilitan, lalu lainnya pro-India. Tapi, kali ini India akan mempersatukan mereka," ujar Rizwan Malik.
Malik yang tinggal di Delhi memilih pulang kampung karena tak bisa menghubungi orang tuanya. Biasanya, pemuda 25 tahun itu memihak pemerintah pusat. Namun, kali ini dia merasa terkhianati.
"Katanya India percaya demokrasi. Omong kosong," tegasnya.
Duka warga Kashmir jelas bisa berubah menjadi amarah. Saat koresponden BBC berkeliling kota, seorang bapak tiba-tiba bicara sambil menggendong putranya yang masih balita. Dia berkata, warga Kashmir seperti dirinya tak akan segan untuk mengangkat senjata jika terus ditekan. "Ini putra saya satu-satunya. Kalau perlu, saya akan ajari dia memegang senjata juga," ucapnya. (*/c11/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... India Beri Peringatan Keras kepada Pakistan
Redaktur & Reporter : Adil