Upaya Indonesia untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 akan menghadapi persaingan yang semakin ketat, setelah Kota Brisbane di Australia menyatakan diri paling siap untuk melakukannya.

Pemerintah Indonesia sebelumnya secara resmi telah mengajukan permohonan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Olimpiade di tahun 2032 kepada International Olympic Committee atau IOC.

BACA JUGA: Perang Dagang Berlanjut, Kini Tiongkok Sasar Industri Daging Australia

Pada awal November lalu, Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas meminta jajarannya agar mempersiapkan diri sejak dari tahapan pencalonan.

Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Zainudin Amali kepada pers usai rapat tersebut menjelaskan Indonesia siap menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar di dunia tersebut.

BACA JUGA: Uji Klinis Belum Tuntas, Vaksin Sinovac Masih Tunggu Izin Edar BPOM

Menteri Zainudin mengatakan Presiden Jokowi menginstruksikan tiga hal yaitu pembentukan komite khusus untuk persiapan 'bidding' atau penawaran, penyiapan anggaran, serta penyiapan proposal. Photo: Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari. (Antara: Aditya Pradana Putra)

 

BACA JUGA: Vaksin COVID-19 yang Mulai Disuntikkan Pekan Ini, Adakah Efek Sampingnya?

Namun pihak Australia yakin Brisbane, ibukota negara bagian Queensland, paling siap untuk menjamu pertandingan Olimpiade musim panas tahun 2032.

Selain dari Indonesia, bidding menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 datang dari Qatar, Jerman, India, Korea Selatan dan Turki.

Belakangan, muncul juga 'bidding' dari Kota Chengdu-Chongqing di China. Upaya China ini diumuman pekan lalu.

Kota Beijing sebelumnya pernah jadi tuan rumah Olimpiade musim panas 2008 dan akan menjadi tuan rumah Olimpiade musim dingin pada tahun 2022.

Olimpiade musim dingin 2022 berada di bawah tekanan dari kelompok hak asasi manusia yang menyerukan aksi boikot terhadap China.

Komite Olimpiade Internasional (IOC) pekan lalu juga mengumumkan telah membentuk unit HAM di dalam tubuh organisasi ini, sehingga semakin meningkatkan sorotan terhadap China, meskipun semua negara yang ikut penawaran akan diperlakukan sama. Dialog berkelanjutan dengan IOC

Menteri Utama Queensland, Premier Annastacia Palaszczuk kemarin telah bertemu dengan ketua Komite Olimpiade Australia (AOC) John Coates.

"Kami mendiskusikan tentang kemungkinan penyelenggaraan Olimpiade di Queensland untuk tahun 2032," kata Annastacia.

Tiga minggu lalu, John Coates menemani Presiden IOC Thomas Bach dalam kunjungan ke Tokyo untuk memeriksa persiapan Olimpiade 2020 yang ditunda pelaksanaannya ke tahun 2021. Photo: Menteri Utama negara bagian Queensland Annastacia Palaszczuk telah mempersiapkan kepanitiaan untuk ikut bersaing menjadi tuan rumah Olimpiade 2032. (AAP: Dan Peled)

 

Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, yang saat itu sedang berada di Tokyo mengajak Thomas dan John untuk bertemu, dan menegaskan dukungan Pemerintah Federal atas bidding Brisbane 2032.

"IOC melakukan dialog berkelanjutan [dengan Brisbane], begitu juga dengan empat atau lima kota lainnya," kata ketua Komite Olimpiade Australia John Coates.

"IOC rapat setiap malam minggu dan biasanya pada rapat dewan eksekutif kami, pertanyaan tentang bidding ada dalam agenda," jelasnya.

Ia berkata, pemerintah Queensland meminta IOC untuk meningkatkan dialog tersebut menjadi pembicaraan yang lebih khusus.

Dengan bergeser ke pembicaraan yang lebih khusus, Brisbane 2032 akan mendapatkan status sebagai salah satu dari satu atau lebih "tuan rumah pilihan". Brisbane lebih unggul

Robert Livingstone, jurnalis pada GamesBids.com yang fokus pada pemilihan tuan rumah Olimpiade, mengatakan Brisbane 2032 memiliki keunggulan dibandingkan kota-kota lain, meski 'bidding' China tidak dapat diabaikan.

"Jelas, Brisbane dan Queensland jauh lebih maju dalam pengorganisasiannya dibandingkan bidding lainnya," kata Robert.

"Hal ini menempatkan mereka (Brisbane 2032) berada di posisi terdepan di antara saingan lainnya," ujarnya.

"Bidding China tidak pernah bisa diabaikan, IOC pasti akan melihat dan menganggapnya serius. Mereka (IOC) memiliki hubungan yang kuat dengan China," kata Robert lagi.

"China akan menggelar pertandingan musim dingin Beijing 2022 mendatang. Jadi hubungan mereka (dengan IOC) terus berlanjut," katanya.

Namun faktor tersebut juga dimiliki oleh ketua Komite Olimpiade Australia John Coates. Ia dikenal sebagai salah satu anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang paling cerdik secara politik.

Apalagi ia duduk sebagai wakil presiden IOC, sehingga memahami cara kerja internal organisasi lebih baik daripada orang lainnya. Masalah HAM jadi penentu

Saat ini, berbagai tekanan internasional semakin kuat agar IOC membuat keputusan awal tentang kota mana yang akan diberikan hak sebagai tuan rumah, pada saat isu HAM menjadi agenda.

IOC selalu berargumen bahwa pihaknya 'netral secara politik', menjauhkan diri dari kontroversi HAM. Namun hal itu telah berubah setelah IOC menegaskan komitmennya untuk menciptakan strategi HAM.

Ketua IOC Thomas Bach dianggap berada di balik penataan peran IOC, dan menyatakan "Kita perlu berubah karena olahraga saat ini terlalu penting dalam masyarakat untuk mengabaikan masyarakat lainnya".

Mantan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Pangeran Zeid Ra'ad al Hussein telah menjadi penasihat IOC sejak 2018 dalam perannya yang ia sebut sebagai 'otoritas tertinggi' dari gerakan Olimpiade.

"Ada pertanyaan apakah kita dapat memisahkan sebagian pengalaman manusia dari bagian pengalaman manusia lainnya," ujarnya kepada ABC.

"Ada persyaratan non-diskriminasi yang kuat dalam Piagam IOC, tapi diskriminasi tidak hanya relevan pada saat pertandingan (olahraga)," tegas Pangeran Zeid.

Ia berkata, dalam isu HAM, tidak ada negara yang memiliki catatan bersih.

"Yang sangat berbahaya adalah menampilkan diri Anda sebagai sebuah negara yang peka terhadap HAM dalam hak perempuan, atau hak anak, atau hak penyandang disabilitas, tapi tidak dalam hak para migran atau hak masyarakat adat," ujarnya.

"Tidak bisa seperti itu. (Pilihannya) Anda berkomitmen atau tidak," kata Pangeran Zeid.

Ia menambahkan bahwa suatu masyarakat yang berdedikasi pada HAM itu membutuhkan konsistensi moral.

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dengan tambahan laporan dari Tracey Holmes di ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Puncak Jaya di Papua Jadi Gletser Tropis Terakhir di Dunia, Tapi Terancam Punah

Berita Terkait