Indonesia Berduka, Seniman Legendaris ini Wafat Pagi Tadi

Jumat, 24 Juni 2016 – 13:43 WIB
Almarhum Tedja Suminar. FOTO : bloghurek

jpnn.com - Perkembangan dunia seni Indonesia, khususnya sketsa dan lukis tidak bisa dipisahkan dari nama Tedja Suminar. Lebih dari 55 tahun, dengan sangat setia Tedja menghasilkan karya-karya yang tidak hanya indah tetapi juga artistik. Tadi pagi, saat jarum jam menunjukkan angka 05.49 WIB, sketser legendaries Indonesia itu berpulang di rumah sakit RKZ Surabaya.

Menurut penuturan salah satu putrinya, Swandayani Swan, sang Papi Tedja –sapaan akrab Tedja Suminar- sempat berujar “Aku melihat keindahan” sebelum wafat. Rencananya jenazah akan dikremasi pada Minggu (26/6) mendatang.

BACA JUGA: BJ Habibie, Tanpa Ambisi yang Penting Cari Solusi

Jawa Pos (Induk JPNN.COM) sebelumnya sempat menuangkan kisah hidup dan perjalanan panjang Tedja Suminar di blantika seni tanah air. Tulisan itu ada di Jawa Pos edisi cetak pada tahun 2012 silam.

Berikut tulisan yang pernah dimuat.

BACA JUGA: Mengenang Surat Ainun, Rudy Tertawa

 

 

BACA JUGA: Ah, Berbuka Puasa pakai Kolak Sudah Biasa, Ini Kopi Bro...

Panji Dwi Anggara, Surabaya

 

Seringkali, penutup kepala dijadikan identitas oleh seseorang dalam menunjukkan eksistensinya. Lihat saja, bagaimana dengan percaya dirinya, Presiden pertama RI, Soekarno selalu mengenakan peci hitam dalam setiap aktivitasnya. Pun begitu dengan yang dilakukan oleh seniman Tedja Suminar.

Kemana pun pelukis dan sketser itu pergi, topi pet hitam selalu menemani langkahnya. ”Ini yang membuat saya nyaman. Selalu banyak mendatangkan ide kalau pakai topi ini,” katanya sambil terbahak ketika ditemui Jawa Pos belum lama ini.

Dan itu terbukti, entah karena topi atau hal lain, tidak butuh waktu lama bagi Tedja untuk membuat sketsa on the spot, tentang pemain reog yang sedang perform didepannya.

Selain topi, hal yang tidak pernah berubah dari diri seorang Tedja Suminar saat berkarya adalah di bibirnya yang selalu terselip rokok kretek. Hal itu dikatakan oleh putri keduanya Natalini Widhiasi. ”Papi (sebutan untuk Tedja) memang perokok berat. Sudah puluhan tahun. Beliau paling marah kalau diingatkan tentang kebiasannya (merokok),” ujar Lini sapaan akrab Natalini sembari melirik sang ayah.

Merasa agak disudutkan oleh komentar dari sang anak, Tedja tak mau kalah. ”Lha, justru karena rokok inilah aku tetep bisa berkreasi dan sehat. Lihat saja teman seangkatanku yang tidak merokok, wis ora ono kabeh,” ujarnya lagi-lagi dibumbui tawa renyah.

Ya, Tedja Suminar memang unik. Perawakannya yang kecil namun lincah seakan seimbang dengan gaya bicaranya yang blak-blakan. ”Eh, tapi nanti dulu. Merokok itu juga tidak sehat lho. Bagi yang belum merokok mendingan tidak usah mencoba. Nanti gara-gara saya berkata seperti itu, malah banyak yang merokok. Salah besar aku,” lanjutnya sambil menepuk jidat kepalanya.

Kesan akrab langsung terasa saat bertemu dengan salah satu legend sketsa tanah air itu. Bersama dengan Liem Keng dan IPE Ma'roef. Mereka bertiga sempat disebut sebagai maestro dunia sketsa tanah air.

Namun, bukannya jumawa, Tedja malah merendahkan diri. ”Ah, saya tidak tahu apa yang disebut legend. Pakai bahasa sederhana saja lah. Saya ini orang biasa. Bukan siapa-siapa,” tutur pria yang 16 April lalu merayakan ulang tahunnya yang ke 76 tahun tersebut.

Ketertarikan Tedja dalam dunia seni, utamanya melukis dan sketser sudah dimulai sejak tahun 1957 silam. Ketika itu, Tedja muda menginginkan profesi yang sesuai dengan idealismenya yang tinggi. Ayah dua orang anak itu mengaku, bukanlah orang yang bisa bekerja di bawah tekanan orang lain. Sehingga, pilihan hidup sebagai seniman, adalah pilihan yang tepat.

Dalam berkarya, Tedja merupakan sosok yang sangat bertolak belakang dengan kehidupannya sehari-hari. Dingin, serius, tak banyak bicara, hingga menyendiri dia lakukan demi mendapatkan karya yang baik.

Tidak hanya itu, suami dari almarhumah Moentiana tersebut juga merupakan tipe seniman lapangan. Maksudnya, Tedja lebih menyukai berkarya langsung on the spot atau di tempat objek lukisannya berada. Bukan dalam studio, layaknya pelukis masa kini.

Dengan terjun langsung ke lapangan, Tedja mengaku bisa memberikan makna lebih pada goresan-goresan karyanya. Contohnya saja, ketika dia sedang dalam perjalanan mencari inspirasi ke Situbondo belum lama ini. Tedja langsung bergabung dengan komunitas nelayan yang ada di sana. Dengan begitu dia tahu apa yang sedang dihadapi oleh para nelayan itu.

Terjangan ombak, langkanya BBM, hingga tidak menentunya harga jual ikan, merupakan informasi yang dia dapatkan, kemudian diaplikasikan dalam karyanya yang berjudul Melaut. ”Melaut itu sama dengan bertaruh nyawa. Makanya karya ini sebagai wujud rasa hormat saya kepada para nelayan dimana pun berada,” katanya sembari menunjukkan karya yang dimaksud.

Meski on the spot, Tedja tidak membutuhkan waktu lama untuk menghasilkan karya emasnya. Jika sedang mood, satu karya bisa dia hasilkan hanya dalam hitungan menit saja. Tapi, jika pikirannya sedang tidak fokus. Butuh waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk menghasilkan satu karya. ”Saya kadang kembali lagi ke objek karya besok harinya, jika memang belum merasa sreg dengan hasil karya,” katanya.

Semangat Tedja dalam menghasilkan karya patut diacungi jempol. Hingga usianya yang menginjak 76 tahun. Dia tetap setia. Tidak kurang dari 5.000-an karya sudah dia hasilkan sejak kali pertama menggoreskan kuas. ”Paling tidak, dalam satu bulan saya harus menghasilkan karya bermutu. Selain untuk eksistensi. Itu juga melatih memori saya tetap baik,” ujar pria yang kini berdomisili di Gianyar, Bali tersebut.

Selain semangat, independensi Tedja dalam berkarya juga tetap terjaga hingga kini. Misalkan saja, ketika dia mendapat pesanan sketsa dari sebuah pabrik rokok. Tedja memilih menskesta apa yang menurut dia baik. Bukan semata-mata pesanan saja. Hal itu terlihat dari salah satu tulisan tangannya yang dipajang saat digelar pameran tunggalnya di Gedung Merah Putih Balai Pemuda belum lama ini. Memang pesanan dari pabrik rokok, tapi tetap terjaga spontanitas sebuah karya sastra. Begitu tulisnya. ”Total ada 16 karya saya yang di koleksi oleh perusahaan tersebut,” katanya.

Namun, perjalanan berkarya Tedja tidak selalu mulus. Pernah pada satu momen, gairahnya untuk menghasilkan karya mencapai titik nadir. Masa itu adalah ketika istri tercintanya dipanggil sang Kuasa.

30 November 2008, seakan menjadi hari paling buruk bagi Tedja. Moentiana, sang istri yang dengan setia menemaninya 56 tahun, harus menyerah kepada penyakit kanker hati yang menggerogoti. Cobaan hidup itu seakan melunturkan semua kedigdayaan Tedja. Sosok lelaki yang tegar, humoris, penuh semangat hilang berganti menjadi sosok pendiam dan menutup diri.

Jangankan menghasilkan karya, menyentuh kertas, kuas, maupun kanvas saja Tedja enggan. Pikirannya selalu dibayangi oleh berpulangnya sang istri. ”Jujur saya tidak bisa saat itu. Ini cobaan hidup paling berat yang saya rasakan,” ungkapnya jujur.

Masa itu berlangsung sekitar 2 tahun. Baru setelah dinasehati oleh sang anak, Tedja sadar, bahwa sesuatu yang hidup dan bernyawa pasti akan mati. ”Saya percaya kemana pun saya melangkah, istri saya pasti akan selalu mendampingi,” katanya.

Hal senada dikatakan oleh anaknya, Lini. Papinya, kini sudah lebih ikhlas dalam melepas kepergian sang istri. ”Tetapi dalam sering kesempatan, Papi kerap melontarkan joke, kok bisa ya, mami mu itu meninggal. Itu yang enggak habis pikir saya,” kata Lini menirukan ucapan Tedja. Lini sendiri sudah mewarisi bakat sang ayah dalam melukis.

Ketika disinggung, sampai kapan Tedja akan berkarya, dengan mantap pria yang karyanya banyak dikoleksi petinggi negeri itu mengatakan, sampai dirinya dipanggil oleh Tuhan untuk menemani istrinya menjalani hidup di “dunia lain”. ”Melukis dan menghasilkan sketsa adalah hidup saya. Saya akan terus menekuni dunia yang satu ini,” pungkasnya mantap. 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sesekali Komjen Tito Terlihat Tegang tapi...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler