Indonesia Berpotensi Jadi Pemimpin Negara Muslim dan Demokrasi

Jumat, 17 Desember 2021 – 22:41 WIB
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menegaskan Indonesia tidak layak menjadi ekor dalam  konflik maupun polarisasi yang terjadi di dunia.

Indonesia, ujar Fahri, adalah negara yang didesain untuk berada di tengah-tengah. Baik secara geografis, maupun secara value (nilai).

BACA JUGA: Era Demokrasi, Tak Mungkin Negara Bungkam Kebebasan

"Karena itu, Indonesia lebih cocok menjadi pemimpin," ujarnya.

Hal itu dikatakan Fahri  dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Perebutan Pengaruh di Kawasan Pasca Kapitulasi AS dari Afghanistan", Jumat (17/12).

BACA JUGA: Mardani PKS Menyampaikan Sesuatu yang Luar Biasa, Jarang Terjadi di Negara Demokrasi

"Saat ini, bila merujuk pada buku Samuel Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, telah terjadi konflik peradaban, antara peradaban Barat dengan Non-Barat, dalam hal ini Tiongkok atau Konfusian serta Islam," ungkap Fahri.

"Konflik antara Barat dan Tiongkok, lebih kepada konflik spiritual. Tapi konflik Barat dan Islam, bernuansa spiritual," tambah mantan ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia itu.

BACA JUGA: China Proklamirkan Diri Sebagai Negara Demokrasi Terbesar, Ada yang Setuju?

Dan Indonesia, lanjut Fahri, berada di tengah-tengah seluruh kutub itu dari segala segi.

Indonesia, adalah negeri Muslim terbesar di dunia.

Dan Indonesia, ujar Fahri, adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia pula.

"Sehingga Indonesia bisa menjadi pemimpin di kalangan negara-negara Muslim, sekaligus juga menjadi pemimpin di negara-negara demokrasi," ujar Fahri.

Dan bila dikaitkan dengan perebutan pengaruh antara pakta militer baru Australia, Inggris, dan AS (AUKUS) dengan China, menurut Fahri, Indonesia harus menolak menjadi ekor, tetapi tetap menjadi pemimpin.

Pada kesempatan sama, Pakar Hukum Internasional Prof Dr Hikmahanto Juwana (Pakar hukum internasional) menyatakan, bahwa Indonesia memang selayaknya menganut politik luar negeri bebas aktif dalam konstelasi politik dunia.

Dengan begitu, Indonesia selalu netral dalam konflik maupun polarisasi di dunia. Lagi pula Indonesia juga bisa bersahabat dengan negara manapun.

Namun, Prof. Hikmahanto mengingatkan, politik luar negeri bebas aktif itu dipegang oleh Indonesia, selama Indonesia tidak diganggu kepentingan nasionalnya

"Ketika Indonesia sudah diganggu kepentingan nasionalnya, maka kita harus berhadapan dengan siapapun pengganggu itu," ujarnya

Hikmahanto mencontohkan kebijakan Presiden Jokowi. Saat ini, Indonesia memang menjalin hubungan ekonomi erat dengan China.

Namun, ketika Laut Natuna Utara diganggu oleh China, maka Presiden Jokowi tegas berhadapan dengan China.

"Demikian juga terhadap Amerika. Kita bersahabat dengan Amerika, tapi ketika militer Amerika, Australia dan Inggris itu bermanuver, Presiden Jokowi perlu menentang hal itu karena bisa memicu perlombaan senjata di Asia Pasifik," ujarnya. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler