jpnn.com, JAKARTA - Sinergi antara pemerintah, pengusaha ternak, perguruan tinggi, dan peternak rakyat akan membantu Indonesia dalam mencapai target swasembada sapi untuk jangka panjang.
Guru Besar IPB University Muladno mengatakan perkembangan budi daya ternak sapi di Indonesia ditentukan oleh empat unsur, yaitu peternak rakyat, pengusaha ternak, pemerintah, dan akademisi perguruan tinggi.
BACA JUGA: Impor dari Australia Turun, Ada Kekhawatiran Sapi Potong Asal Australia Nantinya Bisa Tertular PMK
“Sinergi dan kolaborasi komunitas dan pengusaha menjadi satu-satunya penyelesaian (budidaya sapi), yang tentu saja didampingi pemerintah dan perguruan tinggi. Namanya gotong royong produktif,” kata Muladno.
Menurutnya, setiap unsur tersebut memiliki kekuatan masing-masing. Namun, sampai saat ini mereka belum bergotong royong maksimal agar bisa menutupi kelemahan masing-masing.
BACA JUGA: Memprakarsai Kedaulatan Pangan Daging Sapi, PDIP Tawarkan Metode Revolusi Pakan dan Nutrisi
“Saya ingin sampaikan apa kekuatan peternak rakyat? Pertama, jumlahnya banyak dan menguasai (budi daya ternak). Kepemilikan sapi di Indonesia dikuasai oleh peternak rakyat, yang kecil-kecil. Sebesar 98% populasi sapi dikuasai oleh mereka termasuk yang indukan,” kata Muladno.
Selain itu, peternak rakyat juga memliki kekuatan lantaran tekun dan menyayangi hewan ternaknya.
BACA JUGA: Satgas PMK Umumkan Capaian Vaksinasi Hewan Ternak, Sebegini Jumlahnya
Mereka menjadikan ternak sebagai tabungan, amanah, dan bertanggung jawab terhadap peternakannya.
“Sayang kekuatan ini belum dimaksimalkan. Saya dengar dari sejak saya kuliah sampai hari ini, itu menjadi seolah-olah kekurangan padahal ini kekuatan," jelas mantan Dirjen Peternakan Kementan itu.
Menurutnya, pengusaha ternak memiliki kekuatan keuangan yang mapan, jaringan bisnis luas, keunggulan bersaing, berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi dalam efisiensi dan produktivitas, serta dipercaya oleh lembaga keuangan seperti bank.
“Ini tidak dimiliki oleh peternak-peternak kecil,” ujar Muladno.
Unsur perguruan tinggi, dia menilai, memiliki kekuatan ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi.
Lalu, berjiwa pendidik, kreatif dan inovatif, detail dan komprehensif, serta berorientasi keilmuan.
Unsur pemerintah, yang diwakili Kementerian Pertanian, memiliki kekuatan berupa kewenangan untuk mengatur, memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan dana rakyat untuk kesejahteraan rakyat, berjangkauan luas, taat pada atasan dan prosedural, serta memiliki banyak aset lahan untuk pengembangan peternakan.
“Jadi, mestinya kekuatan dari empat pihak itu minimal ini kalau diramu sedemikian rupa menjadi kekuatan,” katanya.
Menurut Muladno, untuk mengatasi menurunnya populasi sapi di Indonesia, terutama karena penyakit mulut dan kuku (PMK), tahap awal yang harus dilakukan adalah mengubah pola pikir dan karakter budidaya sapi para peternak rakyat.
Caranya, memberikan edukasi layak tentang usaha ternak sapi.
Salah satunya, kata dia, memasukkan peternak dalam Sekolah Peternak Rakyat (SPR) yang digagas perguruan tinggi tempat dia mengabdi.
“Kalau mau bilang pengembangbiakkan ternak sapi, maka yang paling penting adalah peternak rakyat," katanya.
Edukasi bagi peternak rakyat dibutuhkan agar mereka memiliki kesetaraan penguasaan ilmu dengan pemerintah, pengusaha, dan perguruan tinggi.
“Peternak rakyat harus disamakan frekuensinya dengan tiga unsur lain. Supaya (frekuensinya) sama, setara segalanya,” kata dia.
Jika empat unsur tadi sudah setara, sambungnya, akan mempermudah gotong royong untuk mencapai target Indonesia swasembada sapi, bahkan untuk jangka panjang.
“Dengan cara seperti ini nantinya bisa menambah populasi sapi. Nanti industri daging dan pengolahan produk bisa juga. Ratusan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) bisa dipekerjakan untuk ini," kata Muladno.
Demi bisa berswasembada pada 2026, berdasarkan proyeksi Dosen Peternakan IPB University, Afton Atabany, populasi sapi lokal harus berjumlah 37 juta ekor atau dua kali lipat dari jumlah saat ini yang sekitar 18,5 juta ekor.
Setiap tahun dibutuhkan impor sapi indukan sebanyak 1 juta ekor, yang dalam pemeliharaannya harus memiliki angka kelahiran 70% dan angka kematian maksimal 30%. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi