Indonesia Butuh DPR yang Lemah

Jumat, 06 Februari 2009 – 10:39 WIB
JAKARTA – Kualitas wakil rakyat yang mengisi kursi-kursi DPR periode mendatang diprediksi bakal anjlokPenyebab utamanya adalah perekrutan caleg yang buruk

BACA JUGA: Gerindra Pede Pimpin Koalisi Alternatif

Tidak mempertimbangkan kredibilitas dan kompetensi

 
"Misalnya, banyak pencari kerja dan artis yang jadi caleg," ujar peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Hermawan Sulistyo dalam peluncuran situs soegengsarjadi.com di Hotel Ibis Tamarin, Jl KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (5/2).

Meski begitu, dengan nada menyindir, dia menyatakan Indonesia memang sedang membutuhkan wakil rakyat yang bodoh agar DPR lemah

BACA JUGA: Caleg Harus Berperan Aktif

Kalau DPR lemah, kata dia, ada kesempatan besar memperkuat peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan membangun pemerintahan yang lebih stabil.
 
"Sebelum reformasi, executive heavy
Sekarang cenderung legislative heavy

BACA JUGA: Pemerintahan Baik, Masyarakat Dapat Memberi Kesempatan Lagi

Mungkin sudah saatnya legislative heavy itu sedikit dikuragi lagi,’’ cetusnya.
 
Menurut Hermawan, esensi demokrasi bukan lagi sebatas trias politika yang menyebar kekuasaan menjadi tiga bagian, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
 
Semakin banyak pusat kekuasaan yang tersebar, tegas dia, semakin kecil kemungkinan terjadinya penyimpanganParlemen sebaiknya dipecah menjadi dua kamar (bikameral) melalui penguatan DPD, sehingga ada proses saling kontrol.

"DPD kuat, pers kuat, MNC kuat, semua pokoknya harus kuat agar ada check balances," tegasnya.
 
Selain dihadiri Soegeng Sarjadi selaku ketua Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), tampak sejumlah tokoh internal SSSDi antaranya, mantan Direktur Eksekutif SSS Sukardi Rinakit beserta penggantinya, Toto Sugiarto, serta peneliti senior SSS JKristiadi.
 
Ada juga sejumlah akademisi serta intelektualMisalnya, ekonom senior Intercafe Iman Sugema, sejarawan Anhar Gonggong, pakar hukum tata negara Harun Al Rasyid, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latief, Direktur Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik (LPKP) Ichsanuddin Noorsy, pakar sosial ekonomi pertanian H.SDillon, dan wartawan senior Majalah Tempo Bambang Harimurti.
 
Yudi Latief juga mengkritik strategi kampanye mayoritas caleg yang hanya bermodal iklan politik di media dan memasang balihoMenurut dia, para caleg itu telah menjadi sosok-sosok yang tidak dikenali di basis konstituennya"Sekarang ini, pohon-pohon di pinggir jalan habis semua (tertutup papan baliho, Red)Tidak ada space yang bebasSemua sudah diokuvasi politik imajiner," ungkapnya.
 
Dia juga mengomentari situs soegengsarjadi.com yang baru diluncurkanDia berharap kehadiran situs itu bisa secara konkret ikut memengaruhi perdebatan dan pengambil kebijakan negaraSebab, menurut Yudi, pada era yang serba terbuka dan kemajuan media yang sangat pesat, semua isu bisa tampil serta bermain di ruang publik.
 
"Begitu banyak suara, tapi cuma sedikit yang bisa diakomodasi lembaga negara dan berdampak nyata bagi kehidupan masyarakat," ujarnya(pri/mk)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akbar Merasa Lebih Layak daripada Kalla


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler