Indonesia secara resmi menjadi bagian dari negara-negara yang mendorong pelarangan senjata nuklir, setelah menyerahkan Instrumen Ratifikasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir kepada Sekretariat Jenderal PBB di New York, Selasa kemarin.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan keputusan ini akan memberikan "tekanan moral dan politik kepada negara pemilik senjata nuklir untuk menghentikan pengembangannya".
BACA JUGA: Komunitas Lebanon di Australia Merasa Marah dan Sedih Atas Serangan Israel di Tanah Kelahirannya
"Langkah ini mencerminkan komitmen moral Indonesia terhadap kemanusiaan dan perdamaian, serta menjadi contoh bagi negara-negara pemilik senjata nuklir untuk turut dalam membangun dunia yang lebih aman," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Traktat pelarangan senjata nuklir di dunia, yang mulai berlaku pada tahun 2021, kini sudah ditandatangani oleh hampir 100 negara.
BACA JUGA: Angka Rabies di Bali Masih Tertinggi di Indonesia Meski Vaksinasi Sudah Dilakukan
Namun, sejauh ini negara-negara seperti Australia, juga negara dengan kekuatan nuklir besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Rusia, India, Inggris, dan Prancis, masih belum bergabung untuk melakukan perjanjian tersebut.
Seiring dengan menegangnya hubungan negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, beberapa negara menginginkan agar penggunaan senjata nuklir benar-benar dilarang sebelum terlambat.
BACA JUGA: PDIP Ingatkan Prabowo Pulang ke Indonesia saat Rezim Megawati
Mengapa Australia belum menandatangani pakta ini?Australia punya sejarah panjang dalam mendukung inisiatif yang menolak penggunaan senjata nuklir.
Salah satunya dengan menetapkan Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif 1996 dan Prakarsa Non-Proliferasi dan Perlucutan Senjata di tahun 2010.
Upaya Australia juga ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir di tahun 1970.
Perjanjian tersebut ditandatangani 191 negara, yang jumlahnya melebihi negara penandatangan perjanjian pelucutan senjata lainnya dalam sejarah, sehingga menurunkan jumlah persediaan senjata global, hingga Afrika Selatan dan Ukraina setuju untuk melepas persediaan senjata mereka.
Namun dosen hubungan internasional Muhadi Sugiono dari Universitas Gadjah Mada mengatakan non-proliferasi saja tidak cukup untuk memaksa negara dengan potensi kekuatan nuklir menghentikan program persenjataan mereka.
"Sebenarnya, mustahil untuk mengharapkan Perjanjian Non-proliferasi Senjata Nuklir akan mencapai tujuan ini," katanya.
"Tidak ada kerangka hukum yang mengharuskan mereka melakukannya."
Juru bicara dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan pemerintah Australia memiliki "ambisi yang sama" dengan negara-negara yang berpihak pada Traktat Larangan Senjata Nuklir."Australia akan terus bekerja sama erat dengan komunitas internasional untuk memajukan non-proliferasi dan pelucutan senjata internasional, termasuk dalam konteks Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT), yang jadi landasan rezim non-proliferasi dan pelucutan senjata internasional," dalam pernyataan yang diterima ABC."Australia sepenuhnya berkomitmen pada kewajiban internasional untuk tidak memproduksi, memiliki, memperoleh, atau mengendalikan senjata nuklir, berdasarkan Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir (NPT) dan Perjanjian Zona Bebas Nuklir Pasifik Selatan (Perjanjian Rarotonga)."
"Kami sudah dan akan terus terlibat, secara teratur dan transparan, dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan dengan mitra regional kami."Apakah Australia serius ingin melarang nuklir?
Meski Australia memiliki gerakan anti-nuklir yang kuat, aliansi dan ketergantungannya kepada Amerika Serikat sudah menimbulkan kecurigaan sejumlah negara.
Muhadi mengatakan pemerintah Indonesia mengakui Australia yang "sangat, sangat kuat" menentang proliferasi senjata nuklir.
"Namun pada saat yang sama, posisinya sangat ambigu karena Australia sangat dekat dengan Amerika," katanya.
Kekhawatiran ini menjadi fokus sidang Senat Australia pada tahun 2023, ketika Departemen Pertahanan Australia diinterogasi soal komitmen Australia terhadap Zona Bebas Nuklir di Pasifik Selatan.
Perjanjian tersebut melarang penempatan bahan peledak nuklir di wilayah Australia.
Namun, kebijakan Amerika Serikat untuk "tidak mengonfirmasi atau menyangkal" keberadaan senjatanya menimbulkan kecurigaan soal apa yang mungkin ada di dalam pesawat-pesawat milik Amerika Serikat yang masuk.
Saat itu, Menteri Luar Negeri Penny Wong mengatakan Australia "berkomitmen penuh" terhadap perjanjian tersebut dan akan "sepenuhnya mematuhi kewajiban internasional kami, yang dipahami oleh Amerika Serikat."
Namun, menyimpan senjata di tangan sekutu menawarkan keuntungan tersendiri.
Amerika Serikat sudah berjanji untuk membela negara-negara non-nuklir seperti Australia dan Jepang di bawah "payung nuklirnya".
Profesor hubungan internasional Universitas Sydney Justin Hastings mengatakan hal ini menjadi penjelasan mengapa sebagian besar yang menandatangani perjanjian baru tersebut adalah "negara-negara yang tidak berpihak", alias negara-negara yang tidak bersekutu dengan pihak barat atau saingan mereka, Tiongkok dan Rusia.
"Australia dan banyak negara lain juga ingin diuntungkan," katanya.
"Mereka tidak memiliki senjata nuklir, tetapi mereka ingin mendapatkan keuntungan dari pencegahan yang dilakukan negara-negara lain yang memiliki senjata nuklir."Bagaimana kaitannya dengan AUKUS?
Penandatanganan pakta pertahanan AUKUS antara Australia, Amerika Serikat dan Inggris memunculkan pertanyaan lain, meski pakta ini lebih soal kapal selam bertenaga nuklir, bukan senjata nuklir, untuk diizinkan masuk ke pantai Australia.
Pemerintah Indonesia sempat tidak suka dengan pengumuman pakta AUKUS tersebut, hingga para diplomat Australia harus segera meredakan kecemasan di negara-negara Asia Tenggara.
Diplomat Australia kala itu menekankan kalau Australia tidak berkeinginan memiliki senjata nuklir.
Koordinator Kampanye Internasional 'Abolish Nuclear Weapons' Tim Wright mengatakan penandatanganan perjanjian pelarangan senjata nuklir sebenarnya akan membantu Australia untuk meredakan kekhawatiran negara tetangganya, serta bisa "menciptakan pagar pembatas tambahan terhadap senjata nuklir".
Australia juga tidak perlu mengakhiri persekutuannya dengan Amerika Serikat, mengingat sekutu-sekutu lain seperti Filipina telah menandatangani perjanjian tersebut.
"Jelas akan ada masalah yang muncul terkait aliansi yang perlu ditangani," ujar Tim.
"Namun, ada preseden yang menunjukkan bahwa hal ini tidak akan mengakhiri aliansi, seperti yang dikhawatirkan orang-orang."Mengapa ada perjanjian baru, padahal sudah punya?
Traktat pelarangan senjata nuklir dirancang dengan tujuan perjanjian non-proliferasi yang ada untuk memfasilitasi "kesenjangan hukum" dan memastikan agar negara pemilik senjata nuklir tidak menggunakannya.
Tim mengaku ada "beberapa negara yang sangat yakin kalau senjata nuklir penting bagi keamanan mereka."
"Namun, kami mencoba untuk benar-benar menyatukan semua negara yang merasa sebaliknya," katanya.
"[Senjata nuklir] menimbulkan permusuhan dan ketakutan di antara negara-negara dan memang lebih baik untuk tidak memilikinya."
Perjanjian baru tersebut juga berisi ketentuan bagi mereka yang terkena dampak uji coba nuklir, seperti negara-negara di kawasan Pasifik, yang menyaksikan ratusan bom meledak dalam beberapa dekade terkahir.
"Ini bukan hanya perjanjian tentang pelucutan senjata, tetapi juga perjanjian untuk keadilan nuklir," kata Tim.
"Ada rasa solidaritas regional yang kuat dalam upaya perlucutan senjata, dengan menumbuhkan pemahaman jika rakyat di kawasan tersebut harus menanggung akibatnya."Jadi apa arti perjanjian ini bagi hubungan Australia di Asia-Pasifik?
Pakar hubungan internasional Universitas Nasional Australia Ben Zala mengatakan posisi Australia mengenai perjanjian pelarangan senjata nuklir "tentu berbeda" dari negara-negara tetangganya.
Tetapi banyak negara sudah paham mengapa Australia enggan bergabung, karena akan berdampak terhadap hubungannya dengan Amerika Serikat.
"Australia tidak ingin memecah aliansi [dengan Amerika Serikat] dalam waktu dekat. Karena akan menciptakan masalah baru," katanya kepada ABC.
"Australia menyetujui jaminan pencegahan nuklir dari Amerika Serikat yang tidak sesuai dengan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir."
Bulan lalu, Australia dan Indonesia merampungkan negosiasi tentang perjanjian pertahanan, yang oleh Menteri Pertahanan Australia Richard Marles disebut sebagai "perjanjian paling penting yang pernah dibuat oleh kedua negara."
Muhadi mengatakan Australia dan Indonesia tidak boleh membiarkan perbedaan posisi ini "membebani" hubungan mereka.
"Kita adalah tetangga dekat yang tidak dapat hidup tanpa satu sama lain," katanya.
"Tentu saja, hubungan antara Indonesia dan Australia sangat dinamis, terkadang naik, terkadang turun. Namun, kita ingin memiliki visi yang sangat positif untuk masa depan."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Lebanon Mengatakan AS Jadi Kunci dalam Perang dengan Israel