Indonesia Dinilai Terjebak Demokrasi Prosedural

Sabtu, 07 Desember 2013 – 18:13 WIB

jpnn.com - PEKALONGAN - Kehidupan demokrasi di Indonesia masih terjebak pada demokrasi prosedural, yang hanya ditegakkan oleh prosedur-prosedur formal dengan biaya tinggi.

Akibatnya, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, ketika seseorang terpilih menjadi anggota legislatif, ia akan berorientasi bagaimana mengembalikan ongkos politik yang telah dihabiskan.

BACA JUGA: PD Tak Mau Pemanggilan Boediono Jadi Bahan Pencitraan

"Padahal prinsip bagi caleg dan parpol, orientasi yang terpenting bukan pada demokrasi yang bersifat prosedural, melainkan lebih ditujukan pada demokrasi substansial," ujarnya di hadapan para calon anggota legislatif lintas parpol dalam sebuah kegiatan di Pekalongan, Sabtu (7/12).

Mahfud mencontohkan implementasi demokrasi substansial dalam tiga fungsi legislatif, yang meliputi hak budgeting, hak legislasi, dan hak pengawasan.

BACA JUGA: Boediono Dinilai Hanya Menjadi Amunisi Pemilu

Misalkan, dengan besaran anggaran APBN 2014 yang mencapai Rp 1.842 triliun, anggota dewan menurut mantan Menteri Pertahanan ini, harusnya mengimplementasikan politik anggaran yang betul-betul berorientasi pada kebutuhan rakyat dengan menghindari pragmatisme politik.

"Bukan justru membagi-bagi uang APBN untuk kepentingan parpol dan dirinya," ujar Mahfud dalam pesan elektroniknya.

BACA JUGA: Wasekjen Demokrat Sarankan Angie Terbuka

Kemudian menyangkut fungsi legislasi DPR, Mahfud mengharapkan kebutuhan dan proses legislasi tidak dilandasi oleh kepentingan pragmatis yang berlangsung secara transaksional.

Guru Besar Hukum Tata Negara ini lalu memberi contoh sejumlah kasus jual-beli pasal dalam proses pembuatan undang-undang.

Ia tidak menutup mata, pada awal reformasi lalu, proses penyusunan undang-undang dibiayai oleh asing.‬‪ Akibatnya, banyak undang-undang bernuansa liberal yang semata-mata memihak kepentingan asing.

Misalnya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), lalu UU Mineral, Energi, dan Batubara (Minerba) dan beberapa UU lain yang semuanya bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 serta prinsip dasar tujuan bernegara.

Selanjutnya dari segi demokrasi substansial, Mahfud menyatakan, hak pengawasan legislatif ditujukan untuk menjaga agar pemerintah (eksekutif) sebagai pihak yang diawasi tidak mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

"DPR hendaknya tidak menjadikan hak pengawasan semata-mata sebagai panggung politik untuk pencitraan diri, kelompok, atau partai," ujarnya.

Hak pengawasan, menurut Mahfud, seyogyanya betul-betul digunakan untuk mengawasi perencanaan anggaran sampai ke tingkat hasil.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yakin Status Tersangka Boediono Tinggal Tunggu Waktu Saja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler