jpnn.com, JAKARTA - Menindaklanjuti Memorandum of Cooperation (MoC) yang ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Menteri Lingkungan Hidup Jepang di Tokyo 10 April 2017, Indonesia dan Jepang mulai mewujudkan kerja sama dalam langkah yang konkret.
Pada pertemuan bilateral di Manggala Wanabakti, Jakarta (7/8), Indonesia diwakili oleh KLHK dipimpin Menteri LHK, Siti Nurbaya. Sedangkan pihak Jepang dipimpin oleh Arata Takebe, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Jepang.
BACA JUGA: Pemerintah Pusat dan Daerah Kelola 15 Danau Prioritas
Pokok agenda yang dibahas pada pertemuan bilateral sore itu adalah tentang kerja sama peningkatan mutu air sungai Citarum, penanganan limbah medis, pengelolaan merkuri, serta keja sama menuju Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Plus Three (ASEAN +3) dan G20 tentang penanganan sampah laut.
Sungai Citarum mempunyai Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 6.614 Km2 dan panjang 269 Km. Sebagian besar pasokan air di Bandung dan Jakarta bersumber dari sungai ini. Sungai Citarum juga berperan sebagai irigasi bagi sekitar 300.000 Ha lahan pertanian. Selain itu, sungai ini juga mengasilkan energi listrik sebesar 1,8 MW.
BACA JUGA: 25 Tahun Indonesia-Jepang dalam Perlindungan Lingkungan
Namun, permasalahan yang dihadapi saat ini adalah sungai Citarum menjadi tempat pembuangan limbah. Terdapat sekitar 2.822 unit industri yang didominasi oleh industri tekstil. Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah, terakhir adalah penerbitan Surat Keputusan Nomor: SK.300/Menlhk/Setjen/PKL.l/6/2017 tentang Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) Air Sungai Citarum. SK ini dikeluarkan mengingat beban pencemaran di sungai Citarum ini sudah melebihi daya dukung yang ada.
Telah ditetapkan juga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum pada tanggal 15 Maret 2018. Perpres ini menjadii dasar bagi pemerintah untuk melakukan penataan Sungai Citarum.
BACA JUGA: KPH Pegang Peran Kunci Wujudkan Hutan Lestari
Membatu pemulihan DAS Citarum, pihak Jepang memberikan komitmen dalam tiga kegiatan. Pertama adalah dukungan melalui forum Water Environment Partnership in Asia (WEPA) dengan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) sebagai focal point. Kedua dalah Technical Assistance berupa pilot project untuk pengolahan limbah industri dan pelaksanaan workshop yang melibatkan industri-industri di kawasan Sungai Citarum. Ketiga adalah program Sister City antara Pemerintah Daerah di Indonesia dan Jepang dalam peningkatan kualitas air dan peningkatan kapasitas industri di Bandung.
Selain pencemaran terdapat hal yang lain yaitu sampah, pengolahan sampah menjadi salah satu hal yang penting. Sampah dapat dikembangkan menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Selanjutnya, pihak Jepang akan menyampaikan proposal kegiatan yang lebih detail dan berkoordinasi dengan Indonesia dalam hal ini KLHK.
Kerja sama selanjutnya adalah terkait dengan penanganan limbah medis. Perkiraan timbulan limbah medis dari 2.781 rumah sakit di seluruh Indonesia adalah 300-340 ton/hari. Penumpukan limbah medis yang ada di Indonesia disebabkan oleh jumlah jasa pengolah limbah medis terbatas, dan jumlah rumah sakit yang memiliki insinerator berizin terbatas.
Saat ini, jumlah limbah medis yang dikelola di Indonesia adalah sebesar 207 ton/hari. Angka tersebut terbagi dalam 107 rumah sakit yang diberi izin untuk mengolah limbah medis di seluruh Indonesia dengan kapasitas pengolahan total kurang dari 50 ton/hari. Kemudian hanya terdapat 6 perusahaan jasa pengolah limbah medis di seluruh Indonesia dengan kapasitas pengolahan limbah medis sebesar 157 ton/hari. Berdasarkan data di atas, diperkirakan terdapat kurang lebih 133 ton/hari limbah medis yang tidak terkelola.
Beberapa waktu yang lalu sempat terjadi penumpukan limbah medis yang cukup besar karena pada waktu itu ada pihak jasa pengolah menghentikan kontrak dengan beberapa rumah sakit. Sehingga menimbulkan penumpukan limbah medis sebesar 7.778 ton di kurang lebih 2.600 rumah sakit.
Indonesia mengajukan kerja sama dalam lingkup transfer pengetahuan dalam konteks kebijakan rumah sakit yang fokus pada pelayanan medis dan tidak menghasilkan limbah medis. Transfer pengetahuan kebijakan lain yang juga diperlukan adalah mekanisme pengolahan limbah medis dari rumah sakit ke layanan pemusnahan berdasarkan zona.
Selain dalam hal kebijakan, Indonesia juga mengaharapkan Jepang membantu tentang metode dan teknologi pengelolaan limbah medis non-incinerator. Transfer pengetahuan tentang pemerintah lokal dan keterlibatan sektor swasta dalam kegiatan pengelolaan limbah medis non-bantuan.
Dalam hal penanganan merkuri, pihak jepang mendukung upaya Indonesia dalam mewujudkan Inondesia bebas merkuri 2030. KLHK telah meresmikan Komite Nasional Penelitian dan Pemantauan Merkuri yang akan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan terkait tentang pemberantasan dan penghapusan produksi, distribusi dan penggunaan merkuri. Jepang mendukung pembentukan Komite ini dan akan berkontribusi melalui kerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan (P3KLL) dalam bentuk kegiatan riset.
Sebagai implementasi Konvensi Minamata, Jepang membuat MOYAI Initiative yang terdiri dari beberapa program. Pertama adalah networking, bantuan untuk negara berkembang untuk membentuk jejaring pengelolaan merkuri. Kedua adalah assessment atau bantuan untuk melakukan kajian yang terkait dengan merkuri. Ketiga adalah strengthening atau penguatan, bantuan untuk memperkenalkan teknologi yang mengurangi pemakaian merkuri. Jepang berencana untuk melakukan riset bersama tentang limbah medis atau peralatan medis yang mengandung merkuri. KLHK diminta untuk mengajukan nama atau institusi pelaksana untuk melakukan kerja sama ini. Melalui MOYAI Initiative ini diharapkan dapat membantu Indonesia dalam penanggulangan merkuri.
Indonesia menyambut baik usulan Jepang mengenai kerja sama dalam kerangka ASEAN +3 dan G20 untuk masalah sampah laut, dan Indonesia siap untuk memimpin pengembangan komitmen dan rencana aksi di tingkat regional, dalam rangka memerangi sampah laut dan laut sampah di Asia Tenggara.
Indonesia ingin mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk mengembangkan panduan komprehensif untuk mengukur dan melaksanakan penelitian terhadap dampak sampah laut dan mikroplastik dari semua aspek. Indonesia juga ingin menjalin kerja sama dengan Jepang untuk menjadikan Environmental Management Center (EMC) di P3KLL sebagai pusat penelitian dan pengawasan merkuri di tingkat ASEAN. Sebagai referensi nasional, KLHK mengusulkan revitalisasi EMC karena beberapa alat laboratorium tidak dapat digunakan dan teknologi yang sudah usang.
Selain empat kerja sama di atas, KLHK juga akan bekerja sama pengelolaan danau berkelanjutan serta kerja sama bidang ekowisata dan pemanfaatan taman nasional. Dalam kerja sama pengelolaan danau berkelanjutan, KLHK mengusulkan kerja sama dalam bentuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur.
Usulan kerja sama bidang ekowisata adalah pengelolaan sampah pengunjung di kawasan konservasi. Pembangunan infrastruktur di kawasan target wisata yang memperhatikan material yang ramah lingkungan (green infrastructure), termasuk penyediaan sanitasi dan sumber energi. Peningkatan kapasitas, khususnya dalam interpretasi, promosi, pemasaran dan pengelolaan informasi. Terakhir adalah pemberdayaan masyarakat lokal dalam wisata serta membangun model pengelolaannya. (adv/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tenang..Permen 20/2018 Bukan Untuk Larang Penangkaran Burung
Redaktur : Tim Redaksi