Setelah hubungan perdagangan Australia dengan China melemah akibat kenaikan tarif dan sanksi, eksportir Australia mencari pasar alternatif.

Namun, para ahli memperingatkan meskipun Australia terus berupaya mengembangkan hubungan perdagangan yang kuat dengan Indonesia penting, Indonesia tidak dapat menggantikan China.

BACA JUGA: Nelayan Sulawesi Temukan Drone Jatuh di Jalur Maritim Penting Australia, Ada Aroma Tiongkok

Selama tahun 2020, ekspor produk Australia, seperti barley, lobster, wine, kapas, gula, kayu, batu bara dan tembaga ke China terganggu oleh kenaikan tarif dan sanksi lain, seperti penangguhan perdagangan.

Lantas apakah Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia yang kelas menengahnya berkembang dengan cepat, bisa menjadi solusi Australia saat hilangnya pangsa pasar China?

BACA JUGA: Pengamat Nilai Pembubaran FPI Berpotensi Kontraproduktif

Photo: Anggur dan lobster Australia telah ditahan oleh bea cukai China. (Unsplash)

  Indonesia masih belum jadi tujuan ekspor Australia

Indonesia dan Australia telah menandatangani persetujuan baru IA-CEPA (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement), yang mulai berlaku pada 5 Juli lalu, dengan memberikan kesempatan untuk memperbaiki kemitraan dalam bidang perdagangan, ekonomi, pertahanan dan keamanan.

BACA JUGA: COVID-19 Kembali Menyebar di Beijing, China Sebut Sumbernya dari Indonesia

Berdasarkan perjanjian ini, Australia dapat mengakses pasar Indonesia secara lebih luas.

Indonesia menghapus tarif untuk sejumlah produk yang diimpor dari Australia, termasuk daging sapi, gandum, dan produk pertanian lainnya.

Phil Turtle, Presiden Nasional dari organisasi Australia-Indonesia Business Council (AIBC) yang mempromosikan perdagangan dan investasi antara kedua negara, merasa optimis dengan masa depan perdagangan Australia dan Indonesia.

"Hubungan ini belum semaju yang seharusnya, tetapi menurut saya itu merupakan kesempatan besar. Daripada melihatnya secara negatif, saya melihatnya sebagai hal yang positif," ujar Phil. Photo: Phil Turtle, Presiden Nasional organisasi Australia-Indonesia Business Council (kiri) ketika berfoto bersama Menteri Keuangan Australia, Simon Birmingham tahun lalu. (Twitter: @AIBCNational)

 

Namun, menurutnya Indonesia bukan solusi untuk perang dagang Australia dengan China saat ini.

Phil mengatakan selama ini potensi Indonesia sebagai salah satu tujuan ekspor utama dari Australia belum terpenuhi.

"Ketika kedekatan kedua negara dipertimbangkan dan banyaknya persamaan dan hubungan antara keduanya, tingkat perdagangan dan investasi secara bilateral tidak sesuai dengan apa yang diharapkan ... [sehingga] relatif terhadap hubungan perdagangan dengan negara lain," katanya.

Menurut Phil, Australia harus memfokuskan diri pada usaha ekspor ke negara lain, seperti Indonesia, untuk melengkapi hubungan dagang dengan China, tapi bukan berarti menggantikannya.

"Pada umumnya, Indonesia adalah tujuan yang pantas dipertimbangkan untuk membentuk strategi yang luas." Perbedaan Australia dan Indonesia berperan dalam perdagangan Photo: Pemerintah Australia pernah mengatakan perjanjian baru perdagangan dengan Indonesia akan membantu pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19. (Kantor Sekretariat Presiden)

 

Cyrus Scott, Direktur organisasi perdagangan bilateral Sarym, menekankan cara berbisnis di Indonesia berbeda dengan Australia.

"Ketika mengakui kompleksitas Indonesia, [yang berbentuk] kepulauan dengan tujuh belas ribu pulau dan lapisan politik yang tak terhitung jumlahnya, kita kemudian bisa mengerti."

Secara historis, para pemimpin Australia telah menyebutkan perbedaan budaya dan politik sebagai alasan lemahnya kerja sama dengan Indonesia.

Namun menurut Arianto Patunru, Koordinator Keterlibatan Kebijakan di Indonesia Project dari Australian National University, Australia belum memprioritaskan Indonesia sebagai mitra dagang karena kedua negara sangat mirip.

"Indonesia dan Australia lebih banyak persamaannya ketimbang perbedaannya. Misalnya, sama-sama mengekspor komoditas sumber daya alam ke Cina," kata Arianto. Photo: Tahun 2019 lalu ada banyak peserta perempuan asal Indonesia yang mengikuti program pertukaran peternakan ke Australia. (Foto: NTCA)

 

Indonesia dan Australia sama-sama eksportir batu bara, minyak, gas dan mineral.

"Wajar saja kalau keduanya tidak saling memprioritaskan untuk tujuan ekspor," ujar Arianto.

Cyrus juga setuju soal ini dengan mengatakan, "ekspor bahan mentah dan ekspor pertanian akan jadi tantangan".

Misalnya saja, permintaan bijih besi dan batu bara dari Australia sangat rendah, karena dua komoditas ekspor terbesar di Australia ini jumlahnya sudah melimpah di Indonesia.

Dengan kata lain, China tidak dapat digantikan dengan mudah oleh Indonesia sebagai tujuan ekspor Australia untuk dua komoditas tersebut. Sektor pendidikan masih jadi harapan, tapi bukan satu-satunya Photo: Yayasan Monash University Indonesia, akan menjadi kampus pascasarjana intensif penelitian dengan jaringan koneksi industri, menawarkan gelar master dan PhD, serta program eksekutif dan kredensial mikro. (Supplied: monash.edu.au)

 

Walaupun Indonesia bukan solusi untuk perang dagang dengan China, Cyrus menggarisbawahi perlu adanya kesadaran soal potensi perdagangan dengan Indonesia.

"Kita harus mulai dengan apa yang bisa ditawarkan Australia dan melihat kalau ada permintaan untuk hal itu atau kalau permintaan dapat diciptakan," katanya.

Salah satunya adalah bidang pendidikan, yang merupakan salah satu dari lima komoditas ekspor utama Australia.

Permintaan atas pendidikan Australia di luar negeri juga dilaporkan telah meningkat dan akan terus berkembang, termasuk di Indonesia.

"Berdasarkan model lama, anak-anak [Indonesia] dikirim ke Australia untuk belajar, baik di perguruan tinggi maupun SMP dan SMA. Model itu akan berubah juga," kata Cyrus.

Upaya membawa pendidikan Australia masuk Indonesia mulai terlihat, setelah Monash University dan Central Queensland University mendirikan kampusnya di Jakarta Potensi sinergi Indonesia dan Australia yang bisa saling menguntungkan Photo: Sektor pertanian masih jadi andalan Australia yang bisa ditawarkan ke Indonesia. (ABC Rural: Tom Edwards)

 

Sektor pertanian merupakan bidang yang diprediksi akan terus berkembang pesat untuk dieskpor Australia ke Indonesia di masa mendatang, seperti produk biji-bijian, hewan ternak dan gandum.

Phil mengusulkan gandum dari negara bagian Australia Barat dengan ibukota Perth dapat digunakan sebagai bahan baku di Indonesia, kemudian, produsen di Indonesia, seperti Indomie, dapat membuat gandum Australia dengan kemampuan manufaktur di Indonesia.

Hal ini akan membuka kesempatan ekspor yang bermanfaat untuk kedua negara, menurut Phil.

"Bagi saya, potensi yang paling menarik muncul saat kita bekerja sama ... agar memanfaatkan yang terbaik dari kedua negara dan mengekspornya ke rantai pasokan global."

Menurut Arianto Patunru dari Australian National University (ANU), sebaiknya Indonesia dan Australia menemukan komplementaritas di antara dua negara.

"Misalnya, Indonesia menjadi hub untuk ekspor makanan jadi ke Asia Tenggara, dengan bahan baku dari Australia." Photo: Foto: Detik, Ruly Kurniawan

 

Sementara keinginan Indonesia untuk menjadi inovator di pasar kendaraan listrik juga dapat menjadi kesempatan bagi Australia.

"Australia [dapat] menjadi hub untuk otomotif berbasis listrik untuk pasar Pasifik, dengan bahan baku dari Indonesia. Dengan kata lain, modelnya adalah 'powerhouse' atau 'joint hub'," kata Arianto.

Mungkin Indonesia tidak akan membayar produk Australia sebanyak China untuk beberapa barang, tapi Phil mengatakan tetap penting bagi Australia untuk mengeksplorasi lebih banyak kemungkinan hubungan dagang dengan Indonesia.

"Ini akan tergantung pada faktor manusia untuk saling mengenal lebih baik, dan mudah-mudahan seiring waktu membuat peningkatan yang berarti dalam hubungan perdagangan."

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bebas COVID-19 Tak Bertahan Lama, Melbourne Hari Ini Laporkan Kasus Baru

Berita Terkait