Indonesia Menghadapi Tantangan Ideologi, PDIP Jangan Puas Menang Pemilu 20 Persen

Jumat, 06 Januari 2023 – 19:57 WIB
DPP PDIP menggelar Focus Group Discussion (FGD) Sesi II dengan sejumlah pemuka pendapat (opinion leader) di kantor pusat partai di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (6/1). Foto: DPP PDIP.

jpnn.com - JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP menghadapi berbagai kondisi yang harus dijawab dengan baik menjelang usianya yang ke-50.

Kondisi itu, antara lain, bagaimana menjaga kepercayaan rakyat, ideologi terwujud dalam tindakan, menjaga Indonesia dari gempuran kepentingan luar, hingga memastikan anak muda tetap mendukung parpol nasionalis itu.

BACA JUGA: PDIP Disebut Tak Seperti Partai Lain yang Rekrut Kader Berbasis Popularitas dan Artis

Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Sesi II yang digelar DPP PDIP dengan sejumlah pemuka pendapat (opinion leader) di kantor pusat partai di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat (6/1).

Opinion leader yang hadir ialah Burhanuddin Muhtadi, M. Qodari, Hendri Satrio, Iwel Sastra, Sirojuddin Abbas, Trias Kuncahyono, Claudius Boekan, Ari Nurcahyo, dan Aiman Witjaksono.

BACA JUGA: Pengamat Nilai PDIP di Usia 50 Tahun Makin Matang dan Solid 

Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto memimpin jajaran partai di dalam pertemuan itu.

Hadir Wasekjen Sadarestuwati, dan sejumlah Ketua DPP PDIP seperti Djarot Saiful Hidayat, Eriko Sotarduga, Sri Rahayu, Wiryanti Sukamdani, Mindo Sianipar, I Made Urip, Rokhmin Dahuri, dan Wakil Bendahara Umum Rudianto Tjen, Wakil Ketua Balitpus PDIP Sonny Keraf.

BACA JUGA: Satgas Cakra Buana Gelar Apel Akbar: Bung Komar: PDIP Berupaya Hat-trick Menang Pemilu

Anggota DPR Deddy Yevri Sitorus, Sekjen dan Ketua DPP TMP Restu Hapsari dan Hanjaya Setiawan menjadi peserta juga, bersama Andreas Hugo Pareira sebagai moderator.

“Kami mencoba melakukan banyak dialog untuk menggunakan teori dalam menilai kondisi objektif dan kemudian mengaitkan dengan cita-cita pendiri bangsa demi mewujudkan cita-cita Indonesia Raya,” kata Hasto Kristiyanto.

M. Qodari mengatakan berdasarkan kemampuan PDIP sebagai sebuah parpol modern yang dikelola profesional, hampir pasti partai itu menang kembali di Pemilu 2024.

Namun, kata Qodari, tantangan PDIP saat ini adalah bagaimana bisa menang dengan raihan suara 30-40 persen.

“PDIP jangan puas dengan angka 20 persen. Harus sasar 30-40 persen," ungkapnya.

Menurut dia, salah satu kuncinya adalah membangun sebuah perasaan di hati rakyat bahwa bila PDIP tak makin kuat, maka eksistensi dirinya serta NKRI akan terancam.

"Sebab, kita memang menghadapi tantangan ideologi. Untuk menjaga republik, Indonesia tetap seperti pada hari ini, maka PDIP harus memastikan punya kekuatan jauh lebih besar menjaga keutuhan bangsa dan negara,” kata Qodari.

Trias Kuncahyono menyatakan hal terutama yang harus dipastikan seluruh jajaran PDIP adalah kepercayaan rakyat. 

Menurutnya, kepercayaan rakyat itu tidak akan jatuh dari langit, tetapi upaya yang profesional partai mewujudkan cita-cita pendirian parpol, yakni kesejahteraan bersama.

Selain itu, PDIP harus memastikan ideologi menjadi pegangan seluruh anggota partai, dan direalisasikan dalam pilihan kebijakan serta tindakan sehari-hari.

“Jadi, kader harus paham ideologi partai dan benar-benar menghidupinya. Kerap Wong Cilik hanya dijadikan tujuan rebutan kekuasaan. Ini tak boleh dilakukan PDIP," katanya.

"Ingat, Wong Cilik belum tentu miskin. Namun, bisa jadi mereka adalah yang tak bisa menyuarakan pendapat, yang terpinggirkan. Ini yang harus disuarakan,” urai Trias.

Sirojuddin Abbas juga menilai PDIP tak boleh menempatkan diri dalam konteks politik nasional saja, namun harus secara global. Sebab, banyak kepentingan bertarung dalam konteks global di Indonesia.

“Ini perlu dicermati agar PDIP dan Indonesia bisa melakukan positioning baik, agar tak mismatch dalam kancah internasional. Kondisi ini sangat critical," jelasnya.

Dia berharap diskusi mengenai model pilihan kebijakan ekonomi, peran negara dan parpol, betul-betul membaca arah global agar tak salah langkah.  "Kalau salah, ekspektasi kita bisa berubah akibat perubahan global,” urai Sirajuddin Abbas.

Dia juga menyinggung soal pentingnya PDIP dan partai nasionalis lainnya tak sekadar berusaha mengakomodasi kelompok agama ke dalam partainya.  Namun, juga memastikan agar terjadi transformasi terhadap kelompok-kelompok itu.

“PDIP tak cukup hanya mengakomodasi kelompok Islam ke dalamnya, tetap8 harus juga melakukan transformasi terhadap kelompok ini, bagaimana keislaman yang dihidupi oleh ideologi PDIP, juga terwujud," ungkapnya.

Dia menambahkan Kalau PDIP lebih dalam masuk ke dalam pembentukan model Islam yang transformatif maka itu sangat relevan.  "Jika tidak, maka pengikisan nilai kenegaraan oleh kelompok tertentu akan sulit teratasi,” beber Abbas.

Burhanuddin Muhtadi berbicara mengenai bagaimana fenomena demokrasi global yang juga terjadi di Indonesia.  Yakni fenomena munculnya personalisasi politik, serta polarisasi dengan menggunakan sentimen sektarian.

Menurut dia, saat ini  kompetisi antarparpol di Indonesia hanya menyisakan isu pluralisme versus islamisme. Isu regionalisme versus sentralisme dan isu antarkelas, cenderung tak hidup.

"Di sinilah bahaya ketika yang tersisa hanya isu sektarianisme. Itulah basisnya kompetisi parpol saat ini. Orang tak bicara soal model pengembangan ekonomi. Tak ada perbedaan parpol dalam isu ekonomi, budaya, dan lain-lain. Hanya ada menyangkut isu agama misalnya,” kata Burhan.

“Kalau tak ada komitmen menjaga pluralisme dan semua parpol larut pada isu sektoral dan sektarian, kita bisa menghadapi kekacauan ke depan,” tambahnya.

Burhanudin juga memberikan gambaran soal pentingnya PDIP merangkul anak muda. Bukan hanya memasuki dunia media sosial yang mereka gandrungi, namun juga terlibat dalam isu-isu kehidupan yang disukai.

“Kami pernah survei, isu dan concern kelompok generasi Z dan milenial beda dengan populasi umum. Ketika ditanya isu apa yang dipikirkan, anak muda sebut pemberantasan korupsi dan lingkungan hidup. Bukan ekonomi yang merupakan jawaban populasi umum," katanya.

Nah, lanjut dia, PDIP harus peduli ini, dan juga pada instrumen apa yang buat anak muda peduli pada politik, yakni media sosial. "Bisnis sudah memperhatikan ini, tetapi dunia politik masih gagap,” beber Burhan.

Ari Nurcahyo menyatakan PDIP harus menjawab temuan survei bahwa pemilihnya mayoritas adalah orang-orang tua. Padahal, di Pemilu 2024 saja, 53 persen pemilih adalah orang muda. “Perlu perhatian PDIP soal generasi muda, generasi Z dan milenial,” kata Ari.

Iwel Sastra, yang merupakan pemerhati marketing politik, mendukung PDIP memastikan ada cara-cara kreatif agar popularitas calon pemimpin partai itu bersifat organik. Sekaligus juga memastikan calon membiasakan kampanye ide, bukan sekedar gimik.

“Kemunculan mereka harus dipastikan tak sekadar gimik atau joget saja, tetapi harus mulai memunculkan pemikirannya. Ini tantangan khususnya di era sosial media ini," ungkapnya.

"PDIP juga harus membangun rasa bangga dan hilangnya rasa takut masyarakat untuk terbuka mendukung PDIP,” kata Iwel.

Claudius Boekan mendorong agar PDIP memikirkan kemenangan 2024 bukan hanya di pileg, namun juga pilpres.

“Sebab, akan sulit memastikan berjalannya ideologi dalam pemerintahan apabila pemilu legislatif menang tetapi pemilu presiden kalah, misalnya,” kata Boekan.

Hendri Satrio melihat PDIP akan selalu disasar. Sebab, siapa;pun yang ingin menguasai Indonesia, maka harus bisa menguasai PDIP.

"Saya sebagai rakyat menitipkan Indonesia ke PDIP karena merupakan tonggak penjaga Indonesia. Saya juga ajak PDIP pada jalan kepatutan dan kewarasan,” kata Hendri. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler