Indonesia Tak Gentar Hadapi Ancaman Freeport

Selasa, 21 Februari 2017 – 06:35 WIB
Menteri ESDM Ignasius Jonan (dua kanan) dan Wamen Arcandra Tahar. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com -Menteri ESDM, Ignasius Jonan mempersilakan PT Freeport Indonesia (PT FI) melakukan arbitrase. Langkah Freeport tersebut merupakan ancaman, jika negosiasi soal status kerja sama kedua belah pihak menemui jalan buntu.

"Bukan hanya Freeport yang bisa membawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa,” ujar Jonan di gedung DPR, Jakarta, Senin (20/2).

BACA JUGA: Freeport Siap Ajukan Gugatan Arbitrase

Dia menyatakan, upaya arbitrase merupakan hak masing-masing pihak. Namun, dia berharap PT FI sebagai korporasi tentu lebih memilih berbisnis daripada beperkara. ”Saya kira Freeport itu kan badan usaha, maunya berbisnis. Kalau berbisnis pasti ini dirundingkan. Mudah-mudahan mencapai titik temu,” katanya.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, seluruh perusahaan pertambangan di Indonesia memang diwajibkan membangun fasilitas pemurnian alias smelter. Pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) juga diwajibkan melakukan divestasi saham hingga 51 persen. Namun, itu ditolak keras oleh Freeport. ”Semua perjanjian tentu harus mengikuti landasan konstitusi,’’ kata Jonan.

BACA JUGA: Pemkab Mimika dan Freeport akan Undang Pak Jokowi

Sebelumnya, PT FI tetap menginginkan hak-haknya dalam kontrak karya (KK) tidak berubah. Mereka menuntut kepastian tentang perpajakan serta keberlanjutan investasi. CEO Freeport-McMoran Richard C. Adkerson kemarin berbicara kepada pers di Jakarta mengenai KK dan kemungkinan arbritase.

”Hari ini Freeport tidak melakukan arbitrase. Tapi, kami memulai proses untuk melakukan arbitrase. Saya berterima kasih dan memohon maaf karena pembicaraan ini sangat bernuansa hukum yang dalam,” kata Adkerson di Hotel Fairmont, Jakarta, kemarin.

BACA JUGA: GP Ansor Dukung Pemerintah Jalankan Konstitusi

Freeport-McMoran, raksasa pertambangan berbasis di AS, merupakan induk usaha PT FI.

Pemerintah telah mengubah status PT FI dari KK menjadi IUPK sejak 10 Februari 2017. Richard mengungkapkan, Jumat (17/2) pihaknya telah berkirim surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Surat tersebut berisi penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan antara sistem KK dan IUPK.

”Dan di situ (surat) ada waktu 120 hari di mana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan itu. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan-perbedaan tersebut dengan pemerintah, Freeport bisa melaksanakan hak-haknya untuk menyelesaikan dispute itu,’’ ujarnya.

Selain perlakuan perpajakan seperti perubahan bea keluar ekspor konsentrat, masalah lain yang dipermasalahkan Freeport adalah ketidakpastian perpanjangan kontrak sampai 2041.

Richard menambahkan, beleid pemerintah RI yang mewajibkan KK diakhiri agar mendapat izin ekspor merupakan hal yang tidak dapat diterima. Freeport beranggapan bahwa tindakan tersebut merupakan wanprestasi dan pelanggaran KK oleh pemerintah.

Karena PT FI tidak bisa melakukan ekspor tanpa mengakhiri KK, menurut dia, ada konsekuensi yang tidak menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan. Itu termasuk juga penangguhan investasi modal, pengurangan signifikan dalam pembelian barang dan jasa domestik, dan hilangnya pekerjaan bagi para kontraktor dan pekerja. Sebab, PT FI terpaksa menyesuaikan pengeluaran-pengeluaran kegiatan usaha sesuai dengan pembatasan produksi tersebut.

Kepastian hukum dan investasi memang merupakan tuntutan PT FI. Sebab, sejak 12 Januari 2017 situasi makin tak menentu saat berakhirnya pemberian izin ekspor kepada PT FI.

Sejak saat itu, operasional PT FI berkurang 60 persen. Sebab, larangan izin ekspor membuat pasokan PT FI tidak dapat ditampung. Sementara itu, fasilitas pengolahan atau smelter yang terletak di Gresik, Jawa Timur, hanya mampu menyerap 40 persen konsentrat yang dihasilkan.

Hal itulah yang menjadi pemicu tindakan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemangkasan jumlah tenaga kerja menyusul pengurangan produksi. Dengan demikian, PT FI menekankan bahwa rencana PHK tersebut bukan alat yang digunakan PT FI untuk menekan pemerintah Indonesia.

Dia melanjutkan, selama lima tahun terakhir Freeport-McMoran tidak mendapatkan dividen sama sekali. PT FI, lanjut dia, tidak ingin mengurangi belanja modal sebesar USD 1,1 miliar. ”Kami harus mengurangi biaya operasi yang normalnya menghabiskan USD 2 miliar setiap tahun dan kami harus pula mengurangi jumlah karyawan,’’ katanya. (dee/c10/sof/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Seknas Jokowi Sebut Arogansi Freeport sudah Keterlaluan


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler