Indonesia Tidak Boleh Gagap Hadapi Radikalisme dan Terorisme

Jumat, 08 Juni 2018 – 00:22 WIB
Sarasehan bertajuk Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan? Yang digelar di Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Kamis (7/6). Foto: Ist for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD secara tegas menolak konsep negara khilafah diterapkan di Indonesia.

Mahfud menyampaikannya saat menjadi pembicara dalam sarasehan bertajuk Antisipasi dan Mencegah Gerakan Terorisme: Apa yang Harus Dilakukan? Yang digelar di Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY), Kamis (7/6).

BACA JUGA: Wakapolri Bantah Klaim Sandi 40 Masjid Terpapar Radikalisme

"Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia," kata Mahfud.

Selain Mahfud MD, sarasehan juga menghadirkan tokoh-tokoh seperti Ketua ICMI DIY Herry Zudianto, Rektor UWMY Edy Suandi, Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Hadi Utomo dan peneliti fundamentalisme agama dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Syafaatun Almirzanah.

BACA JUGA: Polri Cek Kebenaran Informasi Sandiaga soal Masjid Radikal

Acara yang dipandu budayawan ICMI Achmad Charis Zubair itu juga dihadiri Rektor Universitas Sanata Dharma Johanes Eka Priyatma, dan mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Nandang Sutrisna.

Dalam kesempatan itu, Mahfud menceritakan dinamika sejarah yang melibatkan tokoh-tokoh Islam dalam menyusun negara.

BACA JUGA: Wakil Ketua Komisi X Sebut Ide Menristekdikti Serampangan

Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia, kata Mahfud, menyatakan bahwa negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah.

Mahfud juga menegaskan radikalisme adalah gerakan yang berusaha menggantikan tatanan yang sudah ada secara ekstrem.

Menurut Mahfud, memperjuangkan semua ide pembentukan hukum di Indonesia harus diolah dalam proses legislasi.

Dalam proses legislasi itu bertemulah ide kejawen, Jawa, Hindu dan lain-lain sehingga muncul hukum nasional.

"Bernegara itu wajib hukumnya karena untuk melaksanakan perintah agama dengan baik orang harus punya negara. Kalau ingin beribadah dengan baik tapi tidak ada negara, tidak bisa. Sehingga bernegara itu wajib sebagai syarat awal, tapi sistemnya itu tidak diajarkan. Artinya sistemnya beda-beda boleh," kata Mahfud.

Sementara itu, Ketua ICMI DIY Herry Zudianto mengatakan, saat ini Indonesia masih gagap mengambil langkah-langkah antisipasi menghadapi radikalisme.

"Kita punya tanggung jawab ketika bicara radikalisme maupun terorisme," kata mantan wali kota Yogyakarta tersebut.

Rektor UWM Yogyakarta Edy Suandi Hamid berpendapat, antisipasi sebenarnya harus bisa dilakukan sejak dini, baik di lembaga pendidikan formal maupun rumah.

Untuk itu, perlu dibuka ruang dialog bagi mereka yang tengah mencari jati diri.

"Jadi, ketika masuk (lembaga-lembaga pendidikan) langsung kita edukasi, nilai-nilai luhur Indonesia kita masukkan sebelum paham-paham lain masuk ke pola pikir mereka," ujar Edy.

Karena itu, dia merasa ruang-ruang diskusi harus sudah dibuka dari awal dan dari banyak aspek.

Dengan demikian, orang-orang yang tengah mencari jati diri tidak merasakan satu inferioritas dan menafikan siapa saja yang tidak sejalan.

Di sisi lain, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Syafaatun Almirzanah menilai penanggulangan bisa dimulai dengan memahami akar-akar terorisme.

Hal itu dilakukan demi melihat titik-titik radikal yang ada di dalam pola pikir.

Selain itu, dia menilai komunitas Muslim belum banyak memberikan pemahaman tentang bentuk-bentuk jihad belakangan ini.

Artinya, pemahaman bentuk-bentuk jihad yang begitu luas yang dimiliki orang terbilang terbatas.

"Kita harus kembangkan apa yang disebut artistik jihad yang mungkin akan membantu teman-teman memahami kalau ada makna-makna jihad yang lain," kata Syafaatun.

Sementara itu, Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Hadi Utomo menilai pembentukan Densus 88 sudah menunjukkan pentingnya penanganan terorisme. Apalagi, Densus 88 memiliki 25 Kasatgasus yang ada di seluruh Indonesia.

Pembentukan satgas itu sendiri ditentukan kegentingan satu daerah. Artinya, pemisahan satgas di DIY dan Jawa Tengah yang tadinya satu menunjukkan kegentingan terorisme yang ada baik di dua provinsi itu.

"Kami bersyukur walau belum ada nomornya, saat ini sudah ada (draft UU Terorisme). Nanti saat berbuka, doakan, ya, agar segera dapat nomor," seloroh Hadi.

Hadi juga mengungkap kegamangan pihak kepolisian yang menangani kasus terorisme tanpa payung hukum yang jelas.

Hadi juga menceritakan bagaimana polisi menelusuri sikap netizen yang memberikan tanggapan pada penanganan kasus terorisme.

"Kami punya sistem sendiri. Ternyata kalau kami telusuri, kami runut, netizen yang berkomentar negatif terhadap langkah Polri sering merupakan pendukung teroris. Datanya kami punya," kata Hadi. (wan/jos/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Radikalisme Masuk Masjid, OK OCE Obatnya


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler