Industri Hasil Tembakau Hanya Dijadikan Sapi Perah oleh Pemerintah?

Jumat, 28 Mei 2021 – 17:50 WIB
Tembakau kering yang menjadi bahan baku rokok. Foto/ilustrasi: Ara Antoni/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Soebagyo meminta agar pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan terkait Industri Hasil Tembakau (IHT) mengedepankan keadilan.

Terlebih, selama ini IHT telah menyumbang banyak pendapatan negara lewat cukai.

BACA JUGA: Tarif Cukai Rokok Terus Meroket, Pemerintah Diminta Bentuk Road Map IHT yang Berkeadilan

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) per November 2020 mencapai Rp146 triliun.

"Industri hasil tembakau ini faktanya hanyalah menjadi sapi perah oleh pemerintah dan negara," ucap Firman dalam Webinar Akurat Solusi dengan tema 'Intervensi Rezim Kesehatan dan Ancaman Sektor Pertembakauan', Kamis (27/5).

BACA JUGA: Rayakan 1 Tahun Status Berizin dari OJK, DanaRupiah Banjir Program Berhadiah

Firman mengungkapkan, industri hasil tembakau selalu diklaim sebagai penyebab kematian terbesar menurut hasil riset yang dilakukan oleh kelompok anti tembakau.

Namun di sisi lainnya pemerintah juga menggunakan penerimaan cukai untuk kepentingan kesehatan.

BACA JUGA: Merasa Anak Tak Diakui, Rosmawaty Muncul Mengaku Pernah Menikah dengan Hotma Sitompoel

"Bahkan di dalam kebijakan peraturan menteri (Permen) nomor 7 kami melihat sama sekali tidak ada keberpihakan kepada petaninya. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka tentang IHT ini harus diberikan satu payung hukum perlindungan," tutur Firman.

Di acara yang sama, Ekonom senior Indef Enny Sri Hartati menilai kenaikan cukai tahun ini terlalu eksesif bagi industri pertembakauan.

Akibatnya, justru kenaikan cukai tak berdampak positif sesuai tujuannya.

Hingga saat ini, kata Enny, kenaikan cukai malah menyakiti industri, kemudian dinilai gagal menurunkan prevalensi perokok.

Bappenas mencatat pada 2019, diharapkan prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun sebesar 5,4%, namun yang terjadi mengalami peningkatan menjadi 9,1%.

"Dengan penerapan cukai yang eksesif malah produksi turun, namun prevalensi tetap tak berkurang," katanya dalam kesempatan yang sama.

Enny juga mencatat kenaikan cukai juga merugikan negara. Pasalnya, produksi menurun namun konsumsi tetap meningkat dengan rokok ilegal kini menjadi pilihan di tengah harga rokok yang naik.

Ketika harga rokok legal naik dna daya beli masyarakat menurun, sehingga permintaan rokok ilegal malah meningkat.

Artinya, menurunkan prevalensi tak tercapai, padahal persoalannya bukan terhadap rokok legal.

Menurut Enny kerugian akibat rokok ilegal pada 2020 sebesar Rp4,38 triliun, jika diestimasikan lewat data penindakan DJBC sebesar 5%.

"Itupun yang ditindak, faktanya banyak rokok ilegal yang tidak ditindak," serunya.

Menurutnya, kebijakan cukai yang terlalu eksesif berdampak lebih negatif dan tak sesuai tujuannya untuk itu diharapkan pemerintah harus memberikan instrumen cukai yang lebih sesuai agar tak merugikan negara.(chi/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Benarkah Bernyanyi Bisa Mengontrol Kadar Gula Darah?


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler